close
Nuga Kolom

Lagu Para Penggonggong Kezaliman

Sudah dengar album terbaru Iwan Fals yang diluncurkan Juni 2013 ini? Di album ganda itu, Iwan masih tertawa-tawa sinis menyanyikan lagu “Rekening Gendut”. Gaya penulisan lirik Iwan yang nakal dan menyentil itu diadaptasi oleh beberapa musisi generasi sesudahnya seperti Simponi dan ((Auman)). Mereka ibarat kawanan anjing yang tak henti menggonggong kezaliman.

Akhir tahun 2012 beredar album kompilasi Frekuensi Perangkap Tikus di situs beranijujur.net. Album itu berisi sepuluh band yang masing-masing menyanyikan lagu bertema antikorupsi. Kelompok atau musisi yang terlibat antara lain Risky Summerbee and The Honeythief, Eyefeelsix dibantu Morgue Vanguard, Morfem, dan Navicula.

Satu band lainnya adalah Simponi yang menyumbangkan lagu “Vonis/Verdict”. Simponi baru melepas lagu itu dalam minialbum mereka, Cinta Bumi Manusia, pada Februari 2013. Tak perlu lama-lama album itu dijual seharga Rp 30.000. Sejak awal Agustus, mereka menggratiskan empat lagu di dalamnya untuk diunduh.

M Berkah Gamulya (gitar) menulis lirik lagu itu dan banyak lagu lainnya. Dalam lagu itu, ia mengoceh tentang kerusakan lingkungan yang berhulu dari korupsi: Pengusaha rakus hutan gundul/Bencana datang tak henti/Vonis hakim bisa dibeli/Koruptor dilindungi.

Lewat lagu itu pula, Simponi tampil membawakan lima lagu di Brasil, November lalu. Mereka menempati peringkat kedua dalam International Anti-Corruption Music Competiton. Sebelumnya, mereka mewakili Indonesia di Korea Selatan di ajang Asia Pacific Environmental Youth Forum pada 2011 dan 2012.

Simponi bermarkas di rumah petak di daerah Margonda, Kota Depok, Jawa Barat. Di rumah sewa bertarif Rp 600.000 per bulan itu, Berkah tinggal bersama vokalis band Rendy Ahmad yang pernah main di film Sang Pemimpi sebagai Arai. Selain mereka berdua, Simponi diawaki oleh Andru Steven (drum, perkusi), Rama Prayudha (bas), dan Paul Simatupang (gitar).

Ketajaman lirik Berkah bisa jadi bersumber dari pengalamannya sebagai aktivis di beberapa organisasi sosial dan lingkungan sejak tahun 2000. Band pengusung corak musik pop/rock itu terbentuk pada 28 Oktober 2010 saat hari Sumpah Pemuda.

Ke sekolah
Walau terbilang baru, band ini rajin menggelar tur di belasan kota. Pada Mei silam, misalnya, mereka keliling sebelas kota di Jawa dan Bali untuk mempromosikan singel “Sister in Danger”. Tak cuma berpromosi, mereka juga berdiskusi di sekolah dan kampus. Tur itu dapat sokongan dana dari Komnas Perempuan.

Mereka mengaku sebagai band diskusi. Saat pertama terbentuk, Simponi berkeliling ke 82 sekolah di wilayah Jabodetabek dan Lampung selama 82 hari. Perjalanan itu untuk menyadarkan siswa tentang kerusakan lingkungan yang menyebabkan pemanasan global. Pada 2011, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Indonesia Corruption Watch mengajak mereka keliling tujuh kota di Jawa untuk menyuarakan pemberantasan korupsi.

Sekolah dan kampus adalah panggung mereka karena merasa belum nge-top sehingga perlu membuat pentas sendiri. Sejak 2010, mereka menghitung telah “manggung” di 169 sekolah, kampus, dan pesantren, mulai dari Lampung, beberapa kota di Jawa, hingga Bali. Keseluruhan peserta diskusinya mencapai 18.000 orang.

“Setengahnya saja yang memikirkan pesan yang kami sampaikan sudah cukup bagus, misalnya soal kesetaraan jender. Itu, kan, sulit untuk diubah. Bisa saja mereka mengubah pola pikirnya dalam tiga atau lima tahun kemudian,” kata Berkah.

Dalam diskusi dari lagu “Sister in Danger”, misalnya, Simponi memaparkan bentuk-bentuk kekerasan yang sudah dianggap kebiasaan oleh laki-laki kepada perempuan. Bentuk kekerasan itu, misalnya, menggoda perempuan lewat siulan dan komentar verbal. “Untuk hal yang sederhana seperti itu, masih banyak yang belum tahu,” kata Berkah. Obrolan itu bisa berlanjut lewat akun Twitter @simponii.

Harimau
Pada ranah musik yang lebih keras, band ((Auman)) menyuarakan kelestarian populasi harimau sumatera, yang semakin terdesak oleh industri perkebunan. Band asal Palembang ini merasa berutang pada satwa langka itu karena sudah menjadikannya sebagai identitas band yang diawaki Farid “Rian” Amriansyah (vokal), Aulia Effendy (drum), Zarbin Sulaiman (bas), Erwin Wijaya (gitar), dan Ahmad Ruliansyah (gitar).

Rian menceritakan, mereka harus berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan. Mereka menyisihkan sebagian penjualan album dan pernak-pernik band kepada beberapa lembaga yang bergerak di isu lingkungan, seperti Walhi, WWF, dan Greenpeace. “Kami tak menghitung akumulasi berapa rupiah yang sudah disumbang. Setiap selesai menghitung pendapatan dari jualan album dan pentas, kami langsung setorkan ke lembaga-lembaga itu,” kata dia.

Ide untuk ikut menjaga kelestarian lingkungan diperkuat pengalaman sehari-hari pemain bas mereka, Zarbin. Zarbin, kata Rian, masuk-keluar hutan karena bekerja mendampingi perkebunan rakyat. “Kami jadi tahu bahwa harimau sumatera sangat dihormati leluhur daerah kami dengan berbagai sebutan, seperti datuk, atau nenek. Itu artinya kami harus menjaga harimau dan hutannya,” kata Rian.

Rian menuliskan isu itu dalam lagu “Viva Rimau! Rimau!” yang bercorak punk rock. Di ujung lagu singkat dan padat itu, Rian berorasi, “Harimau adalah spesies kucing besar yang semakin terancam kepunahan. Dari sekitar 3.000 populasinya dari beragam habitatnya di Asia dan Eropa, menyisakan 400-an ekor di Sumatera. Panthera tigris sumatrae yang semakin terkikis.”

Isu lingkungan hidup juga diangkat oleh band grunge asal Bali, Navicula. Mereka pernah berkeliling hutan di Kalimantan. Salah satu hasil perjalanan itu, mereka menjual sabun mandi bermerek NVCL dari bahan bebas minyak sawit, sebagai bentuk penolakan terhadap ekspansi industri perkebunan sawit yang tak ramah hutan.

Seberapa pun bawelnya, mereka sadar bahwa musisi belum tentu bisa membawa perubahan. Lagu protes tentang kesewenang-wenangan kekuasaan sudah sejak dulu dikumandangkan, toh keadaan tak banyak berubah. Kasus pemerkosaan juga tak juga surut, bahkan makin mengerikan. Perusakan hutan masih terjadi di mana-mana.

Rian dan Berkah menyadari hal itu. “Kami menyuarakan soal korupsi dan kekerasan terhadap perempuan sebagai pembuka wawasan. Ini yang bisa kami lakukan daripada diam melihat kebobrokan,” kata Berkah.

Band rock Seringai punya lirik dalam lagu “Serigala Militia” soal hal ini: Buka pikiranmu/luaskan sudut pandang/lelah dengan perlakuan dunia/saat unjuk taring.

dari kompas cetak