Site icon nuga.co

Sabang Sebuah Pesona Keindahan Sejati

Sabang  sebah pesona dari keindahan sejati.

Sabang tidak  hanya menawarkan keindahan panorama laut dan hutan lindung, tetapi juga menyuguhkan kilasan sejarah mengenai pulau vulkanik kecil di ujung utara Pulau Sumatera itu sempat menjadi tempat strategis pendudukan Jepang di Indonesia semasa Perang Dunia Kedua.

Sabang pernah dijadikan sebagai pelabuhan militer dan garis pertahanan terdepan pasukan Jepang dalam menghadapi serangan Sekutu.

Tak heran, jika kemudian terdapat banyak peninggalan benteng beserta tempat berlindung atau bunker Jepang yang tersebar di sekeliling garis pantai dan perbukitan.

Benteng itu dibangun sebagai pos pengintai untuk memperkuat pertahanan mereka.

Melalui Sabang pula proses penjajahan Jepang ke wilayah lain Indonesia bermula.

Sejarah mencatat, Sabang pada abad di abad lalu merupakan kota pelabuhan terpenting ketimbang Temasek  atau kini bernama Singapura.

Terletak di lokasi strategis Selat Malaka, Sabang menjadi lokasi ideal bagi lalu lintas bisnis para pedagang dari Eropa, India, Timur Tengah, dan Asia Timur.

Ketika Perang Dunia Kedua meletus, Jepang menjadikan Sabang sebagai pelabuhan militer dan garis pertahanan udara terdepan di Indonesia.

Benteng dan bunker pertahanan itu kini menjadi artefak sejarah dan bisa dikunjungi di kawasan Ujung Kareung, Bukit Sabang, dan sepanjang Pantai Kasih.

Berdasarkan penuturan beberapa warga setempat, benteng pertahanan itu konon terkoneksi satu sama lain dengan penghubung terowongan rahasia, yang kini jejaknya tak lagi terlacak karena sudah terimbun tanah dan usia

Salah satu lokasi benteng Jepang yang keberadaannya belum banyak diketahui publik, terutama wisatawan.

Lokasi benteng yang terletak di kawasan Aneuk Laot itu bahkan cukup sukar dijamah karena tertutup hutan rapat.

Terletak sekitar delapan kilometer dari Danau Aneuk Laot, dari arah Sabang, jalur yang ditempuh mengarah ke timur dan keluar dari jalan utama.

Jalan seukuran badan mobil itu memaksa kendaraan menanjak dengan kemiringan
Untuk sampai ke lokasi, orang perlu berjalan kaki ke dalam hutan dengan mengandalkan jalan setapak yang sudah tertutup belukar. Pohon Jelatang adalah ancaman.

Tumbuhan liar itu bisa membuat kulit gatal dan panas berhari-hari jika orang tak awas dengan keberadaannya. Pohon itu hampir ada di setiap ruas jalan setapak yang dilalui.

Jarak tempuh dari jalan setapak menuju lokasi benteng tak sampai lima menit, tapi cukup membuat peluh keringat mengucur di sekujur badan.

Benteng beserta bunker Jepang di Aneuk Laot sudah tak berbentuk rupa, menyisakan reeuntuhan bangunan dan gorong-gorong yang sebagian tertimbun tanah.

Satu hal yang pasti, benteng pertahanan ini diyakini terkoneksi dengan pos pengintaian di perbukitan Sabang yang terletak di sepanjang kawasan pantai timur.

Di balik reruntuhan benteng masih terdapat meriam-meriam yang menjadi senjata andalan para pasukan Jepang dalam menghadapi serangan Sekutu. Benteng di puncak ketinggian kawasan Aneuk Laot ini dibuat sebagai pos pengintai yang mengarah ke danau di arah barat.

Selain benteng, bunker dan gorong-gorong, terdapat pula kamar-kamar peristirahatan berjejer dalam satu lorong. Suasana ruangan yang gelap itu cukup memberi kesan ngeri dan membuat bulu kuduk merinding.

Kompleks benteng pertahanan Jepang di Aneuk Laot mustahil dipetakan sebelum dipugar secara utuh. Benteng itu kini berdiri di atas lahan satu hektare milik warga setempat.

Bukti kehadiran Jepang di Sabang tak hanya ditandai dengan keberadaan benteng di perbukitan.

Jepang dalam hal ini juga telah meninggalkan tugu yang menjadi monumen penjagalan terhadap para prajurit Belanda dan Sekutu

Tugu penjagalan itu kini berdiri di pekarangan rumah milik warga tidak jauh dari kawasan Aneuk Laot mengarah ke Iboih.

Penjagalan dilakukan secara bertahap dan telah memakan korban ratusan jiwa. Penjagalan terhenti setelah Hiroshima dibom Sekutu dan memaksa pasukan Jepang pulang kembali ke Negeri Matahari Terbit.

Keberadaan benteng Jepang yang terbengkalai itu merupakan bukti bahwa Sabang memiliki segudang nilai sejarah, yang berpotensi menjadi objek wisata alternatif di Pulau Weh.

Sabang tak hanya memiliki keindahan alam wisata, melainkan juga telah menjadi saksi sejarah yang menambah nilai historis daerah.

Sabang memang sebuah pesona.

Dengarlah tutur, Hilbrand  seorang warga New Zealand, yang mengaku senang bisa datang ke Sabang.

Hilbrand tanpa ragu langsung menyebut museum, air terjun, dan keramahan warga kota.

Pengalaman yang serupa juga diungkapkan oleh yachtist asal Australia, Lynita yang menjadi momen pertamanya menginjak kaki di Sabang.

Soal objek wisata favorit, Lynita juga sepahan dengan Hilbrand yang sama-sama menyukai air terjun.

Lynita sendiri akan berada di Sabang selama sepekan. Ia ingin menjelajahi lebih banyak lagi tempat-tempat indah di Pulau Weh ini.

Kami akan berada di sini mungkin selama seminggu setelah festivalnya berakhir, kami berharap bisa mengunjungi lebih banyak tempat, seperti Pulau Rubiah dan melakukan snorkeling bersama keluarga.

Exit mobile version