Site icon nuga.co

Rawa Tripa III
Riwayatmu “Doloe”

Rawa Tripa, hutan gambut yang dulunya eksotis menunggu punah akibat pembukaan lahan perkebunan. Telah raib dengung uir-uir, hilang bersama siamang, gajah dan harimau. Jelaga hitam dan bau apak menyapa ketika kami menapaki areal di sudut Nagan Raya.

Darmansyah, penulis kami, mencoba membangkitkan kembali ingatan pada kisah rawa yang menjadi kebanggaan anak asoe lhok sepanjang aliran Krueng Tripa. Tulisan panjang ini dimuat dalam beberapa seri, berkisah, tentang rawa dan anak negerinya.

***

Sejarah panjang temuan Rawa Gambut Tripa bersamaan dengan dibukanya lahan sawit milik NV Socfin, di Seumayam dan Seunagan, Kabupaten Nagan Raya, dulunya bagian dari Kabupaten Aceh Barat. Dua afdelling dari onderneming kepunyaan maatschapaij Belgia ini pula, yang diyakini kesahehannya sebagai pembuka tabir awal tentang temuan rawa gambut berpuluh ribu hektar ketika di awal tahun 1920-an. Temuan, yang mereka akui tidak disengaja, ketika mencari lahan untuk penanaman pohon berjenis palm, yang di kemudian harinya dikenal dengan sawit.

NV Socfin memang pionir dalam sejarah persawitan dunia. Matschaapaij yang kemudiannya berganti nama menjadi PT Sofindo, hingga kini pun masih diakui sebagai pemain utama sawit di sepanjang garis khatulistiwa yang beriklim lembab dan tak mengenal musim itu. Pergantian nama dari NV Socfin menjadi PT Socfindo merupakan ritual ketika mabuk nasionalisasi perusahaan perkebunan Belanda di Indonesia, terutama yang berbasis di Sumatera dan Aceh menjadi PNP (Perusahaan Negara Perkebunan) menjadi euforia.

Onderneming Belgia ini luput dari nasonalisasi karena milik partikulir murni dan tak memiliki keterkaitan saham dengan perusahaan Belanda apa pun. Afdeling, atau areal kebun yang biasanya dipimpin seorang administrator dan memiliki satu pabrik Crude Palm Oil (CPO). Seumayam dan Seunagan merupakan dua dari empat kebun sawit serupa milik Socfindo yang ada di Aceh. Dua kebun lainnya ada di Lae Butar, Aceh Singkil dan Sei Liput, Aceh Tamiang, dan holding-nya berkantor pusat di Medan, Sumatera Utara. Semua afdeling itu sampai hari ini masih tetap eksis dan dicatatkan sebagai salah satu kelompok ladang sawit paling produktif di dunia..

Kebun Seumayam dan kebun Seunagan, begitu masyarakat kawasan itu menyebutnya, kini berada persis di ruas jalan Meulaboh – Tapaktuan. Kedua kebun itu dirintis secara serempak pada pertengahan 1920-an, usai perang penaklukan yang berdarah-darah di Aceh.

Bersamaan dengan dirintisnya kedua kebun itu, Belanda juga memulai penataan kehidupan sipil dengan menyerahkan kembali eksistensi pemerintahan gampong ke tangan ulee balang, serta mengangkat residen maupun controllier di Meulaboh sebagai pengawas sekaligus menyiapkan sistem zelfbesturrecht sebagai perangkat aturan untuk memisahkan status tanah ulayat dengan tanah eigendom atau erfacht.

Pilihan lokasi kebun di Seumayam dan Seunagan oleh Socfin, menurut jurnal yang dikeluarkan government kala itu, dimungkinkan telah pulihnya amuk pejuang Aceh, sehingga keamanan untuk investasi sangat dimungkinkan. Selain itu kondisi lahan yang berbentuk dataran dan hutan tegakan di lahan kering memungkinkan pertumbuhan dan produksi sawit bisa maksimal.

Ketika itu crude oil yang dihasilkan kelapa sawit baru saja dikembangkan dan teknologi budidaya dan proses kilangnya juga masih sangat sederhana. Crude sebagai alternatif minyak goreng masih kalah pamor dengan minyak kelapa dan arealnya, terutama di Hindia Belanda dan Malaka juga masih terbatas.

Ketika dilakukan survei lahan dan struktur tanah, dengan mendatangkan ahli botani dari Calcutta, India, secara kebetulan tim menemukan bentangan hutan rawa gambut yang sangat luas di sepanjang aliran Krueng Tripa. Hutan rawa gambut dengan pohon tegakan rapat itu terhampar hingga ke tepi laut. “Kami menemukan hutan rawa gambut berpuluh ribu hektar membentang sepanjang puluhan kilometer dari garis pantai hingga ke pedalaman yang menyimpang kekayaan flora dan fauna sangat kaya,” tulis tim survei dalam salinan laporannya kepada pemerintah Hindia Belanda di Batavia.

Kepada matschaapaij Socfin, yang akan membuka perkebunan besar, tim survei, terutama ahli tanahnya, memberi rekomendasi final untuk memilih lokasi kebun agak ke atas, menjauh dari rawa gambut untuk menghindari keasaman dan kelembaban tanah yang sangat tidak bersahabat dengan tumbuhan yang berakar serabut itu.

Apalagi, seperti isi rekomendasi tim survei kala itu, tanah gambut rawa Tripa terbentuk dari jalinan gambut bagaikan spons yang memiliki ketebalan antara dua hingga tujuh meter dan memerlukan kanal-kanal pengeringan untuk mendukung pertumbuhan tanaman sawit. Rekomendasi ini juga menuliskan dalam resumenya yang sangat rinci bahwa penanaman kelapa sawit di rawa gambut akan menelan biaya sangat mahal, terutama pekerjaan pembersihan lahan, yang kala itu masih dilakukan secara manual oleh para pekerja yang didatangkan dari Jawa dengan sistem koeli kontrak.

Masih dalam catatan yang sama, tim survei menuliskan pula peta geografis dan demografis Tripa, yang dikatakannya tidak terdapat pemukiman penduduk di seputar hutan rawa gambut karena mereka meyakini kawasan itu sebagai tempat hunian hantu dan jin. Keyakinan ini, ternyata bertahan hampir 100 tahun kemudiannya, dan bisa diruntuhkan oleh datangnya “jin” investor dengan gergasi besinya membangun kanal-kanal setelah membakar lahan hutan gambut itu.

Berpuluh tahun kemudian, sebelum “hantu” investor perkebunan datang mengalahkan jin hutan rawa, sebagaimana ditulis dalam catatan ringan Abubakar Oesman, seorang pemerhati lingkungan yang akrab dipanggil Pak OB, hutan gambut Tripa masih terawat kelestariannya dan penduduk memanfaatkannya sebagai sumber nafkah bagi kehidupannya. Pak OB mengatakan, selama ratusan tahun terjalin hubungan timbal balik yang damai antara habitat hutan rawa gambut dengan penduduk. Mereka saling menghidupi sehingga kelestariannya bisa terawat dengan apik. “Di sini terjadi kearifan lokal yang simbiosis, saling menguntungkan,” ujar pensiunan pegawai pertanian itu.

Di sana pula, seperti yang dikisahkan Pak OB yang asal Jeuram, Nagan Raya itu, tak pernah terjadi cekcok dan friksi kepentingan antara habitat dengan penduduk di sekitarnya. Cerita tentang Harimau Sumatera yang menjauh ketika berpapasan dengan manusia. Atau pun kisah orang utan yang menculik pemuda kampung untuk dijadikan “suami” melengkapi kisah-kisah setengah fiktif menjadi legenda yang kadang sulit dipercaya akal sehat.

Hampir satu abad usai Socfin membuka lahan sawit, dan telah puluhan kali pula terjadi peremajaan tanaman di onderneming Belgia itu, serta telah jutaan ton, mungkin, CPO yang sudah di ekspor lewat pelabuhan Belawan di Sumatera Utara ke Calcutta, India. Hutan rawa gambut Tripa hingga tahun 1990-an masih tetap utuh. Rawa gambut itu juga masih belum terusik ketika di pertengahan tahun 1980-an ruas jalan Meulaboh-Tapaktuan sepanjang 225 kilometer digeser dari Kuala Tadu hingga ke Lamie sepanjang 45 kilometer lebih ke atas, yang kemudiannya terkenal dengan jalan Gunung Trans yang melewati Simpang Peut.

Jalan Gunung Trans yang sebelumnya milik HPH PT Dina Maju dengan kontur tanah berbukit, berkelok dan naik turun itu dibangun oleh sebuah kontraktor Jerman, Bilfinger di awal tahun 1980-an dari dana pinjaman tanpa bunga pemerintah Jerman Barat. Ruas jalan Gunung Trans ini selama puluhan tahun menelantarkan jalan lama Lamie-Kuala Bungkok-Rantau Kepala Gajah dan Kuala Tadu, yang di hari-hari ini disebut dengan jalan bawah.

Pemindahan trase jalan yang membelah hutan rawa gambut itu, menurut seorang pemerhati lingkungan kepada kami pengujung Mei 2012 lalu, bukan saja atas pertimbangan labilnya tanah dan erosi Krueng Tripa yang tak terkendali, tetapi juga untuk menghindarkan pemusnahan lahan hutan rawa gambut dari keserakahan manusia. “Ada kesepakatan tidak tertulis ketika itu untuk menyelamatkan hutan rawa gambut beserta habitatnya,” kata pemerhati itu.

Menurutnya, dalam survei yang dibiayai Jerman Barat, sebelum bantuan berbentuk grant itu disetujui, ada permintaan khusus untuk memetakan lokasi lahan rawa gambut lebih akurat. “Kala itu sudah muncul upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan di Rawa Gambut Tripa. Sayang, rencana itu alpa melahirkan kesepakatan tertulis untuk dijadikan acuan kebijakan kehutanan di Indonesia,” ujar pemerhati itu. Dan lahan rawa gambut, satu dekade setelah pemindahan ruas jalan ke Gunung Trans menjadi bancakan.

Hutan Rawa Gambut Tripa, kala masih lestari, menyisakan banyak kenangan di kalangan anak-anak asoe lhok-nya. Ada Soetradji, Giatman atau Basri Emka maupun Firdaus yang bisa merangkai penggalan kisa seru di negeri antah berantah milik hantu dan jin itu.

Kala itu, seperti dikenang Drs Soetardji M, bekas anak kebun Seumayam yang mengakhiri karir birokratnya di Pemerintahan Provinsi Aceh, ketika jalan bawah masih satu-satunya alternatif lintasan di kawasan hutan gambut rawa Tripa. Saat itu hutannya masih eksotis. Pohon tegakannya masih menutup badan jalan, terutama, di lintasan Rantau Kepala Gajah hingga ke Galah Bungkok atawa Kuala Bungkok.

“Saat pakansi, di tahun 1960-an dan 1970-an, saya selalu pulang kampung mengayuh sepeda dan menikmati sensasi hutan perawan Rantau Kepala Gajah dengan tengkuk bergidik.” Sooetardji remaja, bersekolah SMP dan SMA di kota kabupaten, Meulaboh. Dan kenangan perjalanan mudiknya sejak dari Kuala Tadu hingga Lamie dan Alur Bili itu masih meninggalkan kesan paling indah, yang katakan akan dibawanya mati.

Kenangnya, ketika itu harimau masih sering melintas di siang bolong dan siamang sering bikin gaduh sembari beroaak-ooaakkk…. “Kami harus bersiasat dan mempraktekkan ngelmu orang tua bagaimana cara berperilaku menghadapi situasi semacam itu. Benar-benar tak bisa saya lupakan. Sensasional,” kata lelaki 75 tahun pensiunan birokrat, mengingat hari-hari masa lalunya sebagai anak Rawa Tripa.

Bahkan, Giatman, yang lahir sebagai anak generasi ketiga buruh kebun, Seumayam mengingat dengan utuh bagaimana ia pernah bermalam di sebuah jambo di ruas jalan Rantau Kepala Gajah, kawasan rawa gambut, ketika terjebak banjir usai mengantar pengantin ke Meulaboh.

Anak rawa gambut ini, yang keluarganya telah beranak-pinak di gampong Pasie Keubo Dom, dan memiliki areal kebun sawit milik sendiri, masih meriang mengingat masa kecilnya mencari limbek, lele, dan menggetah belibis serta pernah merawat anak orang utan yang ditinggalkan emaknya. “Sensasi yang tak pernah terlupakan. Tapi kini semuanya telah musnah,” kata Giatman.

Baik Giatman maupun Soetardji tak menemukan lagi sensasi harimau dan lele Tripa. Tak ada lagi jalan pasir batu yang berlobang menganga dan menjebak perjalanan mereka hingga berhari-hari. Tak ada lagi tegakan pohon yang memayungi Rantau Kepala Gajah hingga berkilometer. Dan ketika kami lewat di jalan bawah yang sudah beraspal hotmix, telah tumbuh puluhan perkampungan dengan rumah “kotak sabun” bantuan BRR dan NGO seusai tsunami.

Penghancuran rawa gambut Tripa dimulai pertengahan tahun 1980-an ketika sebuah perusahaan milik seorang Aceh di Jakarta, yang semula bergerak di sektor percetakan, mencari lahan di seputar Kuala Batee, kini Kabupaten Aceh Barat Daya, untuk perkebunan sawit. Perusahaan itu, PT Cemerlang Abadi, kemudian mendapatkan hak guna usaha perkebunan di Alue Ie Mirah, persis di batas kebun Socfin di Seumayam, atau di sayap paling selatan rawa gambut Tripa di perbatasan Aceh Selatan, ketika itu. Karena kesulitan pendanaan hak guna usaha ini beralih milik setelah sempat ditelantarkan hampir dua dekade. Itulah awal penggerogotan Rawa Gambut Tripa.

Memasuki tahun 1990-an, bersamaan dengan kebijakan penyaluran kredit investasi sektor perkebunan berbunga rendah bantuan Bank Dunia, lahan hutan rawa gambut Tripa, yang masih seluas 60.000 hektar, menjadi incaran para avonturir agen lahan. Mereka mengkapling-kaplingnya dan mengurus alihfungsinya ke Jakarta tanpa didahului akurasi survei.

Hingga awal tahun sembilanpuluhan, ada lima perusahaan yang mengantongi konsesi hak guna usaha dengan luas lahan konversi bervariasi antara 5.000 hektar hingga 14.000 hektar. Perusahaan itu; PT Gelora Sawita Makmur, PT Kalista Alam, PT Patriot Guna Sakti Abadi, PT Cemerlang Abadi dan PT Agra Para Citra. Perusahaan yang terakhir ini, di tahun 2007 menjual arealnya kepada PT Astra Argo Lestari.

Sejak pengkaplingan itu hutan rawa gambut di Tripa, Kecamatan Darul Makmur, Aceh Barat mengalami penyusutan yang dahsyat. Menurut catatan, menjelang tahun 2000, rawa gambut Tripa hanya tersisa 60 puluh persen. Dalam periode itu laju kerusakan rawa gambut itu sedikit melambat karena tidak kondusifnya keamanan akibat konflik Aceh. Para pemilik HGU menelantarkan kebun-kebun mereka dan menunda membuka lahan baru.

Ketika tsunami menerjang Aceh Desember 2004 hutan rawa gambut Tripa yang setengah hancur masih menjadi benteng untuk meredam humbalang laut itu sehingga dampak kehancurannya tidak begitu parah dirasakan oleh penduduk sekitarnya. Pada waktu itu, rawa gambut di bagian pesisirnya masih memiliki ketinggaian rata-rata tiga meter. “Kini permukaannya sudah sama dengan permukaan laut. Dan berdasarkan penelitian permukaannya setiap tahun turun 5 sentimeter, maka dalam 25 tahun ke depan rawa gambut itu akan tenggelam,” kata Haryanti Nova staf Dishutbun Nagan Raya.

Angka penurunan lahan setinggi 5 centimeter itu tak bisa dicegah karena hancurnya kubah gambut akibat penggalian kanal-kanal pengeringan. Menurut penelitian yang akurasinya sangat tinggi, kubah gambut yang rusak tidak pernah bisa diperbaiki. “Begitu kubah gambut dirusak ia akan melepaskan karbon dan belum ada cara yang bisa memperbaikinya. Kerusakan itu permanen,” tulis brosur yang dikeluarkan Paneco Foundation yang meneliti prospek rawa gambut sebagai rumah karbon terbaik.

Kerusakan rawa gambut Tripa mencapai puncaknya di pengujung tahun 2000-an, usai petaka tsunami dan bersamaan dengan dirajutnya taklimat damai yang membawa suasana kondusif keamanan di Aceh. Sejak itulah, di pertengahan tahun 2005 perlombaan pembukaan lahan dari para pemegang konsesi dengan cara membakar dimulai. Cara yang kemudian diumpat sebagai sangat brutal. “Mereka tak peduli dengan flora dan fauna di sana. Mereka hanya berpikir seluas apa lahan yang bisa dibakar dengan ongkos paling murah. Mereka tidak perlu menerjunkan gergasi kuda beko atau chainsaw dalam melakukan land clearing yang berbiaya mahal,” ujar seorang pejabat di Nagan Raya.

Dan dalam waktu empat tahun terakhir kawasan Tripa ini sudah koyak. “Kalau musim penghujan kampung kami tenggelam. Di kala kemarau kering kerontang. Kehidupan kami sudah di tubir petaka,” keluh Suradi penduduk Desa Sumber Bakti, Kecamatan Tripa Makmur, Kabupaten Nagan Raya. []

Exit mobile version