Site icon nuga.co

Atsiri Tapak Naga

“Aetheriche Olien Fabric.” Itu yang bisa diingat Kakek Suman, sembari mengeja nama pabrik, yang,dulu  moyangnya pernah, memegang “andil”   atau saham. Ia setengah terpekik ketika menemukan informasi baru tentang  sebuah tahun,  “anno” 1928,   dan  kata “Tapa’toean” dengan ejaan lama. Ia  terbata-bata menggali memorinya dan kemudian menjalarkan temuan  kata perkata serta baris perbaris tulisan  itu secara sempurna.

Tulisan yang  utuhnya “Aetheriche Olien Fabrik , Tapa’toean, anno 1928,”  dan pernah terpampang di palang papan, di bawah atap teras  pabrik yang  berlokasi di  Jalan Tuan Tapa itu, dan menurutnya  hingga di ujung tahun enam puluhan masih tersisa secara sempurna.

Selebihnya, ia tak memiliki kenangan  apa-apa untuk diingat selain di pabrik itu, dulunya,  pernah dijadikan sebagai  gudang pala milik Si Limpo, seorang Cina yang terusir di prahara “enampuluhan.”   Bahkan Basri Emka, seorang pengamat “heritage” dan  sejarah Tapaktuan, hanya bisa menginformasikan, di gudang pabrik itu pernah disimpan mobil “touring” milik Haji Binu Amad, orang kaya di Tapaktuan.

Jejak pabrik minyak atsiri itu memang telah mengelupas di memori “tetangga”nya  ketika kami datang untuk mencari tahu di hari musim penghujan April lalu. Bahkan “Tek” Upik, yang rumah rukonya dipisahkan oleh sebuah gang kecil dengan lokasi pabrik, juga tak bisa menapakkan ingatannya untuk menelusuri keberadaan pabrik itu.

“Tek Upik, 74 tahun, hanya bisa mengatakan, “Pabrik itu sangat modern dan dimiliki oleh warga dengan membeli andel.” Kalimatnya itu pun merupakan kutipan dari ucapan “Uci”nya yang senang bercerita tentang kejayaan pabrik yang sering didatangi  oleh “Tuan” Belanda dari Koetaradja. “Mereka gagah-gagah. Berbaju jas putih dan topi lamhood. Katanya datang menginspeksi pabrik.”

Pabrik minyak atsiri di Tapaktuan itu, yang pernah tercatat sebagai penyulingan nilam, pala dan cengkeh di zamannya, memang sudah lama raib. Tak ada pertanda yang bisa membawa kami ke kisah sukses pabrik minyak atsiri yang pernah mendunia itu ketika datang menjenguk bekas tapak lokasi ia berdiri.

Hari itu, kami datang dengan dua  lembar “copy”an “de Telegraff” dan “Java Bode” yang memberitakan telah diresmikannya “Aetheriche Olien Fabric” di sebuah kota kecil bernama “Tapa’toean,” yang  bertahun 1928,  di kolom kecil rubrik ekonominya. Selebihnya tak ada rincian tentang kapasitas dan konstruksi pabrik penyulingan, yang ditutup dengan perkataan di  Java Bode  “coekoep bagoes.”

Pabrik atsiri ini, menurut Daniel Aziz, seorang tetua di Tapaktuan, yang hari kami datang untuk sebuah klarifikasi, memang masih bisa mengingat  cerita dari ayahnya, walau pun banyak yang complang,  tentang  pabrik modern yang pernah ada di zamannya itu. “Rancang bangunnya di rekayasa di Paris dan kualitas minyak hasil sulingannya terbaik dari yang pernah ada di dunia,” kata Daniel memperlihat foto pabrik dan selembar saham milik kakeknya.

Kakek Daniel memang bisa memiliki cerita banyak tentang pabrik atsiri itu. Selain ia orang kaya di sana, ia juga pemilik saham  atau “andel” terbesar, sekaligus pemasok bahan baku pabrik, pala, fully dan nilam  dari petak kebunnya yang bertebaran seputar Tapaktuan.

Pabrik itu, di zamannya, memang  dimiliki oleh publik lewat penjualan saham oleh Netherland s Indische Landook Acheh  Maatschappij atau lebih dikenal dengan NILAM, sebuah perusahaan eksportir rempah-rempah milik Hindia Belanda di Aceh. Dan dari NILAM inilah tanaman semak itu menjadi popular. Pada masa pendudukan Belanda itu, perusahaan inilah yang diberi lisensi sebagai pemegang perdagangan monopoli rempah, seperti pala, nilam dan cengkeh di Aceh.

Sebagai pemegang  lisensi dagang, menurut Daniel, NILAM  juga yang mendatangkan ketel-ketel uap setelah direkayasa “teknologi”nya oleh sebuah Firm Dagang  di Rotterdam yang mengimpor produknya. Rekayasa itu mengikut sertakan dua orang insinyur dari Perancis yang mewakili sebuah perusahaan parfum yang mempergunakan bahan baku minyak nilam sebagai salah satu campuran produknya.

Daniel memang tak bisa berpanjang kisah tentang aktifitas pabrik. “Saya hanya menerima informasi estafet di generasi ketiga,” katanya sedikit terbahak. Kalau saya teruskan nanti bisa ngrarang.

Memang tinggal secuil orang yang tersisa dan bisa mengingat dengan lancar “Aetheriche Olien Fabric” di Tapaktuan. Seorang lainnya, Mak Siman, hanya bisa menambahkan dari cerita “Angku”nya, pabrik itu dijalankan dengan kayu bakar. “Habis batang laban di sekitar sini di tebang untuk pengapian  pabrik,” kata Mak Samin mengingat cerita kakeknya, yang bekerja sebagai buruh di pabrik minyak atsiri itu.

Untuk kebutuhan bahan baku pabrik, seperti pala dan nilam banyak di datangkan dari Meukek, Kluet atau Labuhan Haji. Bahkan juga ada yang didatangkan dari Teunom, tapi khusus  nilam. Waktu itu para petani sangat makmur. Belanda juga membatasi penanaman nilam dengan menghitung dengan cermat ladang-ladang yang dibuka. “Mereka mngendalikan suplai bahan baku, produksi pabrik dan tidak mau hutan di babat dan bahan baku berlebih sehingga merusak struktur harga dan pasar,” kata Mak Siman dengan cerdas menirukan ucapan sang Angku.

Ketika kami datang menjenguk  tapak bangunan pabrik atisiri itu, ternyata ia telah bersalin rupa dengan sebuah rumah petak permanen. Bangunan megah, pabrik minyak atisiri, yang dicatatkan sebagai “destiling,” atau penyulingan, paling megah di awal abad lalu itu  oleh para importir minyak pala dan minyak nilam di Roterdam dan Los Angeles itu, memang telah memuai.

Tak jauh dari tapak pabrik, memang masih tersisa jejak bak air berukuran 10 kali enam meter  dengan pipa besi yang menjulur di selangkangnya.  Sedangkan ketel uapnya, yang dulu tegak di pantat pabrik sudah lama dilego sebagai besi bekas. Bahkan tanah pabrik kini juga sudah faraidh entaj oleh keturunan siapa.

Kematian pabrik ber “anno 1928” bukan karena bangkrut. Tapi ditelantarkan setelah jepang masuk dan perdagangan atsiri terjengkang oleh ekonomi yang kacau. “Minayk atsiri itu kan untuk kebutuhan obat dan parfum. Jepang tak punya kepentingan dengan produk itu,” kata Nyak Min seorang anak muda pengamat sejarah atsiri di Banda Aceh.

Di zaman pendudukan Jepang atsiri memang tidak laku. Tapi ketika barter, di tahun lima puluhan produk ini berkibar lagi. Tapi, ketika itu pedagang hanya mengumpulkan bahan bakunya untuk diekspor ke Singapura. Pala, fuli dan nilam dalam bentuk bahan baku disuling di Perancis dan Singapura.

Baru di penghujung tahun lima puluhan, ketika importir dari Medan mengetahui teknologi penyulingannya banyak pedagang di Tapaktuan membangun pabrik ukuran sedang. Terkenal waktu itu pabrik DHS, singkatan dari Dulah Hisin di Desa Air Beurudang  dan Mak Ali di Desa Batu Itam, yang agak besar menyuling minyak atsiri nilam, pala dan cengkeh.

Ketika harga bangkrut di awal tahun tujupuluhan pabrik ini juga terjengkang. Penyebabnya, terjadi over suplai dan mutu yang awut-awutan. Dan pada masa itu pula sudah masuh Atjeh Kongsi  dan Rempah Sari dua pemain lain membeli bahan baku thok. Pabrik DHS dan Mak Ali kehabisan bahan baku dan tutup.

Baru di penghujung tahun tujuhpuluhan penyulingan atsiri bangkit lagi lewat PT Karimun, Medan, yang membangun sebuah pabrik destilasi paling modern yang digerakkan dengan tenaga listrik hasil rekayasa Australia. Pabrik ini hadir karena Pemerintah Aceh ketika itu mengeluarkan kebijakan larangan ekspor bahan mentah keluar Aceh.

Pabrik ini terbilang besar dan dinamai dengan PT Aceh Destilling  Industries atau PT ADI berlokasi di Tapaktuan. PT ADI tidak hanya mengolah pala dan nilam produksi local, tapi juga mendatangkannya dari Sidikalang dan Nias.

Kebijakan ini sempat menghebohkan dan menenggelamkan petani kedasar kemiskinan karena pala, cengkeh dan nilam sulit dipasarkan. Untuk mengantisipasi ini Pemda Aceh menyepakati pendirian sebuah perusahaan yang menampung produksi nilam dan pala petani dengan PT PIM. Basis produksinya berada di Teunom dengan nama PT Gecis Nusantara.

Perusahaan ini sempat kehabisan modal karena penumpukan produksi. “Para importir di Amerika dan Europa memboikotnya. Mereka hanya ingin berhubungan dengan eksportir lama semacam PT Karimun. Akhirnya PT Gecis bubar dan produksinya dibeli Karimun yang mengkespornya kepada konsumen Amerika dan Europa.

Usai kebijakan salah kaprah itu, Pemerintah Aceh kembali melepaskan perdagangan ke pasar bebas. Gonjang ganjing harga terus terjadi. Petani juga silih berganti menggantang harapan, hingga tahun-tahun terakhir produksi atsiri itu tak pernah “booming” lagi seperti di akhir tahun enam puluhan.

Itulah jejak atsiri yang membuat petani bisa kaya mendadak dan terpelanting ke dasar kemiskinan akibat tergoda harga seketika. Padahal, tata niaga atsiri sudah dipatok dalam produksi terbatas dan kebutuhan terbatas pula. Apalagi, para importir di luar negeri memiliki stok untuk sepuluh tahun. Kebutuhan pasarnya juga terbatas dan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi global.

Exit mobile version