Site icon nuga.co

Sisa Irisan Nyilu di Hari Humbalang

Sembilan tahun humbalang itu telah berlalu. Ketika tanggal Desember itu datang lagi, di pagi Kamis tahun 2013, ada denyut nyilu yang datang seperti mengiris memori kami kala matahari dhuha merangkak lembut di sepenggalah langit timur. Ada irisan yang menyayat di pinggir emosi kami kala “koor” lazad zikir saling berkejaran dari tiga “toa” masjid, yang letaknya tak berapa jauh dari rumah tinggal kami.

Hari itu, Kamis, 26 Desember, bukan lagi di pagi Minggu. Kamis yang berjarak sembilan tahun dari hari kelabu itu. Lafad zikir, dengan menyebut “asma” Allah, membuat serak memori kami bergidik menjadi untaian. Kenangan tentang gergasi laut yang memakan tanah daratan dan menyapu seluruh isinya.

Lafad zikir itu, terasa membentuk garis panjang dari kisah nyeri ketika humbalang laut bergigi gergasi memakan anak “aso lhok”nya hingga ber”jirat” di laut lepas, atau berkubur di kuburan massal setelah dishalatkan oleh malaikat dengan kafan milik Tuhan.

Dari masjid yang sama, tentu saja “toa” berbeda, di hari Minggu, 26 Desember 2006, sembilan tahun lalu, juga ada zikir galau yang diretorikkan lewat nada kecemasan dari lantun tak beraturan, yang sesekali meneriakkan pekik berulang, Allah….. Allahu Akbar…, dan di ujungnya muncul teriak, air laut naik, air lau naik .. untuk kemudiannya senyap.

Sebuah kesenyapan yang nyaris sempurna, karena dalam hitungan detik semuanya telah pergi. Semuanya telah berpulang. Semuanya telah musnah. Dan semuanya kembali ke asalnya. “Wo-bak-sot.”

Pagi itu, sembilan tahun lalu, di sebuah jalan kecil, Jalan Antara, di ujung Gampong Lampulo, berbatasan dengan Gampong Lamdingin, di hari pengujung Desember, tak satu pun dari lima keluarga penghuninya merentang tanda tentang datangnya gempa besar dan humbalang laut bernama tsunami, yang kemudiannya memisahkan kami antara kehidupan dan kematian.

Hari itu, seperti yang kami ingat, adalah Minggu bermalasan dari penghuni Jalan Antara. Kami ingat benar ketika gempa datang dan kami berhamburan keluar. Ada lelaki bernama Maimun, Kamarullah dan Zulkifli Amin. Seorang lagi, Mahdi, sedang berada di Medan, “stop over,” kepulangannya dari Jakarta.

Ada para istri. Rosa, Aisyah, Buk Zul, Her, dan ….. Ada juga anak-anak kami, untuk menyebutnya Fiki, Opan, Opi, Tari, Tarti dan balita lainnya.

Seperti juga dengan keluarga di sudut jalan-jalan dan lorong-lorong lain, semuanya berkumpul ketika gempa mengayak. Ada lafad La-ilaha-ilallah di kerumunan kecil itu. Berulang-ulang, penuh kegelisahan dan secara tersirat memunculkan ke khawatiran.

Ketika gempa datang lagi, dan datang lagi, serta di sudut kampung lain orang pada berlarian mencari selamat, kami di datangi seorang tukang becak dengan suara terengah mengatakan,” lari air laut naik.”

Ya, kami bersiap lari. Tapi semuanya terlambat. Gelombang itu datang tanpa menebar tabik salam. Semua kami di gulung, hanyut dan ketika hari-hari yang hilang, dan kami berupaya mencari tahu tentang Rosa, Aisyah, Buk Zul, Maimun dan Opan, Opi dan lainnya, lebih dari setengah komnitas kecil Jalan Antara itu telah berpulang.

Tak ada lagi Rosa, seorang dosen di MIPA Unsyiah yang sangat cemerlang sebagai ilmuwan, istri yang takzim untuk suaminya dan ibu yang teramat sempurna unutuk anak-anaknya. Tak ada Aisyah, seorang sederhana, wanita berpendidikan seadanya tapi sangat berperasaan, yang ketika teriakan kata, “lari” di pagi itu berupaya pergi dengan motor Honda. Dan dikemudiannya hilang entah kemana hingga mayatnya tak ditemukan.

Jangan tanya tentang si Bundi, Sita maupun Ina yang lucu, imut dan menghuni atmosfir kegembiraan hari-hari kami komunitas keluarga terbatas di lorong itu.. Semuanya sudah kembali ke “arash” sebagai malaikat kecil. Malaikat yang membawa kegembiraan dan menebar semangat tentang kebersamaan.

Dan tak banyak di antara “malaikat” kecil, istri-istri dari keluarga di lorong kami yang ditemui mayatnya. Keluarga yang kemudiannya, setelah hari tsunami usai dan kami kembali lagi ke komunitas kecil itu menjadi complang karena status “duda” yang disandang para suami dan janda oleh para istri.

Dan ketika hari-hari kami kembali untuk menata hidup, tak ada lagi sorak “malaikat” kecil Sita, Bundi dan Ina. Yang ada hanya kesenyapan dan rasa kehilangan yang panjang. Sebua melodrama dari jalan hidup komunitas kecil kami.

Dan ketika tahun kesembilan dari hari tragedi itu berulang memang ada penghuni baru dari balita kecil hasil kehidupan baru dari duda-duda yang ditinggal istri. Tapi sorak dan cericit serta ucapan telo dari balita yang datang setelah tsunami itu membuat hati kenangan kami bertambah sentimental.
***
Hari itu, Sabtu pertama Pebruari 2006. Kami kembali dari pengungsian. Selama lebih dari satu bulan kami hengkang ke Medan. Sepekan usai tsunami, kami, istri dan anak, memutuskan untuk “pergi” setelah selama lima hari “numpang” di rumah saudara. Pengungsian ke Medan kami sepakati untuk memulihkan kesadaran sembari menjemput asa untuk mendapatkan pikiran jernih tentang kelanjutan kehidupan.

Ketika di hari gempa dan humbalang laut itu datang, kami digulung, hanyut dan terdampar sejauh lebih dari dua kilometer di perbatasan Lampriek dengan Gampong Mulia. Kami selamat dan dikumpulkan atas kehendak Allah. Kami keluar dari puing-puing bangunan yang berserakan dan gelimpangan mayat dengan perasaan “heng,” seperti juga dialami oleh seluruh keluarga yang selamat.

Hari itu, kami terlunta-lunta di jalanan Teuku Hasan Dek. Terkejut dengan gempa susulan dan teriakan air naik lagi, benar-benar membunuh seluruh kewarawasan kami. Menjelang maghrib baru kami didatangi kesadaran untuk mencari tempat tinggal. Itu pun karena diingatkan oleh tetangga untuk menginap saja di rumah mertuanya.

Dan hari itu pula kami memulai kehidupan sebagai “nomaden.” Berpindah dari satu tumpangan ke tumpangan lain. Berpindah pula dari satu pilihan hidup ke pilihan hidup yang lain. Benar-benar “heng.” Benar-benar rontoknya memori dari akal sehat.

Memori yang dulunya berhimpitan menjadi rasionalitas. Dan ternyata, setelah ia berantakan, tidak mudah untuk menjemputnya kembali. Tidak mudah pula untuk merangkainya lagi setelah hari-hari berlalu dan kehidupan normal menjadi lebih terjal.

Pilihan untuk memulai hidup baru datang bersamaan dengan kesadaran keinginan untuk “pulang.” Kami harus memulai.

Di akhir Mei, lima bulan setelah gempa dan tsunami datang, kami memulai kehidupan baru setelah rumah keluarga usai di renovasi. Rumah keluarga yang satu sendok pun tak tersisa ketika hari kami “pulang.”

Tembok yang jebol. Pintu yang terbang dan lantai yang melengkung. Toh, kami harus memulai. Itu pilihan tunggal di tengah galau yang panjang untuk mengakhiri masa nomaden.

Kami memang “surprise” melewatinya. Melewatkan hari-hari yang mengingatkan suasana sepi tanpa pernah dirundung oleh ketakutan “rohani.” Kami berhasil melewati itu. Melewati suasana yang berubah ketika komunitas kami menyusut dalam hitungan jari.

Kini semuanya memang sudah berubah. Suasana ketika hari berjalan, bulan berganti dan tahun bersalin. Suasana ketika kami menemukan hari “tragedi” telah berumur sembilan tahu. Suasana yang belum seluruhnya pulih ketika tetangga seperkampungan telah hilang lebih dua pertiganya.

Bahkan, kala wakti berjalan masih ada tanya tentang si pulan dan si pulin yang hari itu kami tahu telah hilang bersama humbalang laut itu.

Cobalah runut nama-nama yang pernah singgah di memori kita, yang setelah sembilan tahun baru kita tahu dia ikut menjadi bagian dari humbalang itu.

Dan dihari ini pula, sembilan tahun kemudian, kami tidak tertarik dengan kenduri yang bagaikan pesta, atau tausyiah yang mencerca tentang tingkah kita. Kami, mungkin juga kawan-kawan yang mengalami betapa tsunami itu telah membentuk kesadaran baru, juga tak ingin ada retorika “heroik” tentang kebanggaan atas surprise melewati masa sulit itu.

Bagi kami sebuah renungan kecil tentang hakekat kehidupan sudah cukup. Renungan dari keterbatasan anak manusia untuk melawan kehendak’Nya.

Exit mobile version