Site icon nuga.co

Gempa Pidie Jaya Enam Kali Bom Hirosima

Pakar gempa UGM Gayatri Indah Marliyani menilai goncangan gempa Aceh karena di wilayah dekat pusat gempa tersusun dari batuan yang tidak kompak.

Ia menjelaskan gelombang gempa merambat lebih cepat pada batuan kompak dan melambat ketika melewati batuan yang lepas-lepas.

“Ketika melewati daerah dengan batuan yang lepas-lepas, amplitudo gelombang gempa akan membesar untuk bisa merambatkan energi yang sama, sehingga getaran yang dirasakan pada daerah ini lebih kuat dan getaran ini juga bisa menimbulkan longsoran,” ujar Gayatri

Seperti yang diketahui, gempa bumi berkekuatan enam koma lima skala richter mengguncang wilayah Pidie Jaya, Aceh pada Rabu subuh WIB.

Ia mengungkapkan gempa bumi yang terjadi di Pidie merupakan dampak dari aktivitas sesar aktif di wilayah tersebut. Pergerakan sesar aktif yang terjadi bersifat mendatar dan dekstral.

Sesar aktif yang bergerak di Pidie Jaya ini, tutur dia, merupakan cabang dari sesar Sumatera di bagian utara.

Sesar ini berorientasi barat laut-tenggara. Gempa ini terjadi karena pengaruh dari pergerakan sesar yang sudah ada tapi belum terpetakan sebelumnya.

Menurut dia, pergerakan sesar yang bersifat mendatar dan terjadi di kedalaman yang dangkal, membuat gempa tidak berpotensi menimbulkan tsunami.

Namun, gempa ini bersifat merusak karena kedalamannya yang dangkal dan terjadi di kawasan pemukiman padat penduduk.

Meskipun demikian, ia meminta masyarakat untuk tetap waspada dan mengantisipasi kejadian gempa susulan.

“Walapun gempa susulan yang terjadi memiliki kekuatan yang lebih kecil dan akan terus menurun tetapi tetap harus memeriksa kondisi bangunan karena jika bangunan sudah rusak atau retak parah, getaran gempa yang kecil pun mampu merubuhkan bangunan,” ucap Gayatri.

Ia juga menekankan pentingnya upaya mitigasi bencana gempa.

Salah satunya memetakan jalur sesar atau patahan aktif di seluruh kawasan Indonesia, terutama di kawasan padat penduduk atau perkotaan.

Indikasi sesar aktif adalah adanya kegempaan di daerah sesar tersebut.

“Ketika sesar bergerak dan menimbulkan gempa, sesar ini akan cenderung bergerak lagi di masa yang akan datang,” kata dia.

Sementara itu, perekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Widjo  menyebut gempa di Pidie Jaya setara dengan empat hingga enam kali kekuatan bom Hiroshimo, yang menimpa Jepang pada Perang Dunia Kedua.

Gempa dangkal dekat bibir pantai tapi secara magnitude tidak sampai sebabkan tsunami. Kekuatannya setara empat  hingga enam kali bom Hiroshima, karenanya bisa ratusan bangunan rusak.

Widjo menyebut aktivitas sesar mendatar Samalanga-Sipopok Fault itu berada di jalur sesar yang mengarah ke barat daya-timur laut.

Menurut dia, aktivitas sesar itu bisa memberi dampak kerusakan yang sama parahnya dengan sesar yang bergerak naik-turun karena cukup dangkal kedalamannya.

Meski demikian, kata dia, aktivitas sesar mendatar di dalam laut tidak memicu tsunami, berbeda dengan sesar yang bergerak naik-turun atau subduksi.

“Mekanisme aktivitas sesar bisa mendatar atau naik-turun lebih karena dipengaruhi kondisi seting tektonik yang usianya bisa ratusan hingga jutaan tahun,” ujar dia.

Widjo mengatakan aktivitas sesar mendatar tercatat dua kali dalam sejarah gempa berkekuatan 7 SR, namun belum ditemukan catatan kerusakan yang ditumbalkannya.

“Gempa Pidie Jaya ini jadi test case juga untuk kesiapan early warning system dan sistem manajemen bencana yang sudah ada. Apakah semua itu sudah berjalan baik?” ujar Widjo.

Widjo menjelaskan bahwa pada dasarnya bukan gempa yang ‘membunuh’. Korban berguguran justru karena tertimpa bangunan atau lainnya.

Oleh karena itu, peta detail mikrozonasi daerah vital, permukiman, dan daerah industri sangat diperlukan dan harus dipatuhi.

“Dari sana standar bangunan tahan gempa harus ada di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Jadi perlu ada audit soal manajemen dan mitigasi bencana ini, apakah semuanya sudah dijalankan sesuai dengan hasil rekomendasi peneliti dan ahli,” kata Widjo.

Selain itu , Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan permasalahan bersama yang harus menjadi perhatian saat ini adalah sikap abai terhadap aspek risiko bencana.

Tapi orang-orang kemudian menjadi gaduh ketika bencana melanda.

“Perhatikan benar zona merah rawan bencana, penataan ruang dan peta rawan bencana serta regulasinya. Sosialisasi sudah banyak tapi implementasi tidak dilakukan,” kata Sutopo.

Berdasarkan “seismic hazard” yang ada daerah Pidie Jaya, Aceh, diketahui lokasi tersebut berada di sesar aktif yang kini kemudian justru menjadi zona pemukiman yang berkembang pesat.

“Peta dasar “seismic hazard” tadi ya harusnya diikuti, jangan malah dibuka perijinan di sana. Tapi kalau terlanjur pemukiman berdiri ya buat lah bangunan yang ‘ramah’ bencana,” kata Sutopo.

Senada dengan Sutopo, Kepala Basarnas F Henry Bambang Soelistyo mengatakan mitigasi harus dijalankan sesuai dengan potensi seismic hazard yang ada. Di pun mengimbau pihak Pemda perlu memberi bimbingan agar masyarakat mampu memiliki rumah tahan gempa.

“Soal mitigasi kami siap melatih masyarakat dan melakukan tanggap bencana meski itu butuh waktu tidak sebetar karena jumlah masyarakat yang ada di daerah rawan terkena bencana sangat besar,” ujar Soelistyo.

Hingga berita ini diturunkan, jumlah korban tewas gempa Aceh menembus angka seratus  orang.

Catatan sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana, jumlah korban tewas adalah seratus dua orang.

Jumlah korban tewas ini ada kemungkinan bertambah karena evakuasi masih terus dilakukan.

Ada kemungkinan akan bertambah karena tim SAR gabungan masih terus melakukan pencarian korban.

Sebagai kawasan paling parah yang diterjang gempa, Kabupaten Pidie Jaya menjadi daerah yang warganya meninggal

Exit mobile version