Site icon nuga.co

Gapang-Rubiah, Eksotisme Rantai Surga

GAPANG di ujung  dhuha,  pertengahan Desember  lalu.

Hari itu,  ketika kami tetirah, pusaran angin liar sedang  menggelitik  curah hujan hingga  menabrak dinding penginapan dan menyiram teras depannya menjadi genangan.

Di laut, arah Pulau Rubiah,  gelombang berjingkrak liar  bagai “transedental” menarikan gerak simetris berbanjar bak tarian seudati.

Berlari, beriringan,  manampar  tubir karang dan menggemuruhkan ombak bagaikan tambur ditalu untuk kemudian   menyerakkan  jejak buih  hingga menjilat  garis pantai.

Barisan pohon ketapang, sepanjang tumit “gampong” turis itu, ikut meringis ketika di tendang taifun kecil, membuat  dahannya  gemetar,  dan  pucuknya  mengusap atap “home stay,” tempat kami berlindung,  hingga mengeluarkan bunyi kraakkh… kruuukkh yang sesekali berderak dan kali lainnya bergemeretak.

Serombongan turis lokal, yang setengah jam lalu masih asyik bermain dengan riak ombak di bibir pantai, dan baru saja menyelesaikan penawaran jasa  penyeberangan, perahu berkaca di lambungnya,  ke taman laut pulau Rubiah, terpaksa menunda jadwal keberangkatan sembari  berteduh di selangkang pondok pantai yang atapnya sudah tercabik.

“Biasa, bang,” ucap Amen, pemandu wisata, dengan suara sayup ditelan deru angin dan hempasan ombak. Ucapan yang dilontarkan  tanpa ada yang bertanya.

Amen sepertinya ingin menghibur kekecewaan kami. Sebab, lima belas menit sebelumnya, langit masih cerah, angin  bertiup sepoi dan laut tenang bak permadani yang  menjalarkan riaknya  hingga ke Teluk Sabang,

Cuaca Gapang, dengan ombak laut yang  menukikkan  angin  beliung dan hujan lebat, seperti  di hari itu,  memang biasa datang dan pergi tanpa memberi salam awal dan, biasanya lunglai dalam hitungan jam.

Dari sebuah kursi  disudut panggung “home stay,” seorang lelaki kurus berwajah bule menyambar ucapan Armen, “memang sulit di forcast.” Si bule, yang wisatawan itu,  mengucapkannya dengan nada datar, cuek,  tanpa mengguratkan, sebersit pun, nada kecewa walau pun dimejanya  sudah “standby” setumpuk peralatan selam.

Wisatawan, yang kemudiannya kami tahu dari pemilik “home stay,” berasal dari Belanda, dan sudah bisa merangkai kata dalam bahasa Indonesia secara gado-gado, meliukkan lidah Roterdaam-nya yang elegan, seakan mengiyakan keluhan si anak muda, pemandu wisata, Amen.

Mengiyakan keluhan tentang hujan lebat  berumur ringkas, si bule  itu menatap nanar ke lepas pantai seakan sedang ekstase.

Ekstase  ragawinya guna mencatatkan rencana   lintas  “avanturir”nya, petualangannya, di seputar Weh.

Petualangan  van Boer, nama sang turis,  seorang operator senior di bandara Schipool, Netherland, yang tak pernah alpa menyisihkan gumpalan  guldennya bertamu ke Gapang, Rubiah dan Iboih , serta menuliskan penggalan pengalaman di  pulau itu  dalam ”blog”nya.

Bahkan si bule yang oleh komunitasnya sesama “diving” dan “snorkeling” dihardik dengan nama panggilan si “pungo” itu termasuk turis asing yang paling  rajin berkicau  di akun  twitternya kepada para pencinta Weh di seantero Europe lewat kalimat “hura” yang heboh “pajan lom piyoh” ke Sabang.

Kalimat ini ketika kami membuka akunnya makin diramaikan lagi dengan seruan,  “ayo ramaikan Weh,  kapan bisa datang lagi, dan kembali datang lagi.”

Bahkan lelaki jangkung yang  masih melajang itu tak segan-segan  menuliskan sebuah “introducing” di “blog”nya dalam bentuk essay tentang Weh yang dikutipnya dari Wikipedia dan memberitahu setiap ada temuan terumbu  karang baru atau jenis ikan  langka sekaligus titik lokasi dan rumah karangnya.

Ia juga mencatatkan dirinya sebagai penikmat nomor satu taman laut Rubiah dengan kalimat kacau, “Ik number one aneuk Gapang.”

Entah apa maksudnya kalimatnya, yang pasti si bule tak pernah alpa  melewatkan jadwal liburan tahunannya diseputar Gapang, Rubiah dan Iboih hingga bisa mengeja bahasa  Aceh dan Indonesia  secara campur aduk. Untuk itu pula ia bisa hafal tingkah cuaca tanpa harus mengerinyitkan kening.

Ik haben cuaca Gapang,” ujarnya mempertegas kemampuannya membaca cuaca di pulau “vrij haven” itu.

“Jangan pernah merisaukan  cuaca di sini walaupun sulit untuk di”forcast,” kapan hujan, angin kencang  serta gelombang tinggi yang berjingkrak”.

Cuaca Gapang,  menurut  sang bule, khas sketsa alam Weh yang terbuka menerima putaran arus  laut Andaman di ujung Rondo, jingkrak tarian angin Phuket dari Teluk Siam, uap air Langkawi  yang mengapung di langit  Selat Malaka dan arak-arakan awan hujan Pulau Aceh yang tak pernah memberi  salam kedatangan untuk melintasi

Balohan di belahan barat pulau, menyusuri  bukit Sabang  dan  menyapu daratan  Iboih di utara. Cuaca khas,  dari rengek hujan renyai ditengah terik matahari siang hingga gumpalan awan hitam yang beringsut untuk mengecoh ramalan cuaca  tanpa pernah menumpahkan gerimis sedikitpun.

Gapang, di lekuk pinggang Weh,  berjarak 7 kilometer lewat  jalan memintas dari Teluk Sabang, dipertautkan secara emosional dengan Rubiah di ketiak  kanannya, untuk kemudian  menyambung  ke  ujung tanjung sebagai  langkah  melingkar  menggapai Iboih.

Tiga lokasi ini membentuk rantai  “surga”  bagi penikmat “diving” dan “snorkeling” tingkat dunia. Surga  tumbuhan coral  sebuah  pulau atol yang proses terbentuknya mengalami pengangkatan dari permukaan laut.

Tak salah bila jejak atol vulkanik batuan “tuf marina” yang terdapat sepanjang pantai Weh, hingga pada ketinggian 40 meter, menyebabkan coralnya menghunjam ke laut lepas dan menjadikan kehidupan bawah air antara Gapang, Rubiah Iboih hingga ke Rondo tak  bisa ditandingi keindahannya.

Keindahan sebuah resort terumbu  karang dengan tanaman  lautnya yang dibentuk oleh alam  dan dilestarikan menjadi sebuah kawasan  seluas dua ribu enam ratus  hektar dengan label “special nature reserve.”

Label yang dipatenkan  bagi para pencinta dasar laut untuk menghamburkan gairah birahinya bersama octopus, stringley, angel fish, gigantics dams maupun lion fish. Label  makhluk karang yang dihafal monokelaturnya oleh para penyelam dunia sebagai daftar panjang  disetiap “book diary” mereka.

Monokelatur yang tak pernah menjadi catatan kaki, sekalipun,  di habitat birokrasi  otoritas Sabang karena mereka keasyikan sendiri  menjual mimpi gosong tentang “buffer stock zone, refennery, memorandum of under standing” dan entah apa lagi, yang  “fiesta” telah berakhir.

“Fiesta”  dari mimpi yang diterbangkan ke langit khayal dan  hingga kini lengket sebagai retorika tentang  keunggulan  Sabang sebagai tombak cerita perdagangan Selat Malaka.

Tombak perdagangan ketika kemampuannya sampai pada batas mengimpor mobil rongsokan yang tergeletak jadi “bangkai” diselangkang kebun kelapa di Kota Atas.

Kehebatan yang hanya bisa ditumpahkan dalam  “website” menyesatkan dan kalau pun di klik  isinya  hanya  kumpulan cerita angan-angan tentang  dana proyek  yang bisa diolah untuk bancakan..

Exit mobile version