Site icon nuga.co

Gayo Coffe Itu Tak Butuh Ambtenaar

Kemarin dulu, menjelang siang, seorang kawan mengirim artikel ke saya lewat whatsapp.

Saya melewatkan untuk membacanya. Ini memang kebiasaan jelek saya. Kebiasaan mengabaikan pesan whatsapp karena nggak pernah menganggapnya penting.

Kalau memang penting kenapa tak lewat dering saja. Bisa dering di panggilan halo, facebook atau whatsapp sendiri. Cus kan…!

Esoknya. Pagi tadi, pesan whatsapp itu saya klik.

Muatannya?

Ya.. ampun..tentang kopi.

Tentang jenis. Negara penghasil. Kualitas dan harganya. Serunya ya ampun. Secara spesifik ia menulis bagaimana mengolah kopi di tangan seorang “dukun.”

Masih belum cukup. Saya diajari cara menyeruputnya,

Harus didahulu minum soda.

“Pesong” ini kawan.

“Celaka,” umpat saya. “Tulisan yang begini ngapain lu kirim ke gue.”  Kesahabat yang tak nyandu kopi. Ke sahabat yang kalau nenggak kopi tidur malamnya hancur-hancuran. Bisa absen jogging paginya.

Sahabat yang bisa addicted kalau minum kopi tanpa gula.

Sahabat yang kalau mudik ke negerinya, di “naca” sana hanya minta kopinya sedikit…dan harus digelontorkan susu cap bendera kalau lagi kebelet ke keude kupi.

Sebenarnya ia tak perlu mengirim artikel segila itu. Ia kan tahu. Saya sering cerita tentang keude kupi yang tumbuhnya bang cendawan di kota saya.

“Kota “seribu” keude kupi. Keude kupi yang di satu kesempatan pernah kami datangi ketika ia de-el-ka… ee bukan.. kunker..karena ia pernah  menjadi sesuatu di negeri ini.

Ia tahu juga di negeri udik itu tempat kongkownya harus di keude kupi. Kupi sharing. Bisa di Solong, Taufik, Pade dan entah apalagi yang kalau saya omong berbusa hapalannya.

Kopi yang satu gelasnya cuma enam ribu rupiah.

Bukan seperti harga kopi di starbuck atau kopi kenangan yang nendang harganya lima puluh ribuan.

Umpatan saya tambah panjang lagi karena ia menulis minum kopi itu pakai makrifat. Delapan gelas dalam tempo dua jam. Ah.. itu namanya cilaka dua puluh empat.

Cilaka juga kala ia memberi listing kopi milik dunia. Dari kopi colombia,  panama, costa rica, brazil, abesania hingga yemen.

“Jenisnya banyak,” tulisnya.

Tidak satu. Ada emanuel encro, ada erush wush, dan beberapa lagi. Saya mulai malas lanjut membaca dan menuliskannya. Tapi karena solidaritas saya lanjut ajalah

Sebab kalau ketemu dan dia nanya isi tulisannya saya bisa nggak dibayarkan makan steak.

Tulisannya makin menjadi-jadi. Ia memberitahu kalau kopi panama ada jenis elifa, geisha, dan saya mulai ngantuk ketika menemukan kata geisha di tulisannya. Bahkan si geisha ini pun ada yang dari kebun santa veresa dan esmeralda.

Waduh… jenis kopi macam penghibur di tempat tidur aja. Ada geisha tukang pijat.

Semua arabica. Bukan robusta.

“Ya iyalah,” kata bathin saya. Kan saya tahu kopi itu hanya dua merek besarnya. Arabica dan robusta.

Saya tambah bosan bacanya. Apalagi ia menulis Australia hampir tidak ada yang minum kopi robusta. Banyak negara hanya gemar arabica.

Ditengah segepok info membosankan ada yang juga yang menarik saya simak. Ternyata harga kopi colombia wush wush arabica  lima ratus ribu untuk dua puluh gram

Yang menarik lainnya, tapi membuat saya cemberut, ia minta saya untuk menularkan informasi ini ke gubernur atau bupati di gayo

Ia tahu daerah itu penghasil kopi. Yang jenis arabikanya yahud di dunia.

Yang di bandara Charles de Gaulle, Paris, Perancis, dipajang sebagai pilihan untuk ngopi. Dan sekali teguk, kalau dirupiahkan tiga ratus ribu, Yang hanya secuil. Untuk uap napas saja. Nggak sampai kerongkongan.

Sarannya ini saya lecehkan. Manalah saya dikenal oleh pejabat tingkat gubernur dan bupati. Saya kan pengangguran. “Outsider” Orang sudah offside sejak lama.

Memang saya masih menulis. Tapi nggak dianggap. Kalau pun mereka membaca tulisan saya pasti mereka ngoceh.

“Apalagi yang dimaui si gaek itu.”

Permintaan ini saya balas dengan pesan: mereka sendiri sudah lebih tahu kok.

Sang teman, yang pernah menjabat dan kayanya ya ampun, sering leave international. Ia bisa ke kansas, ke inggris atau kemana saja dengan tiket klas bisnis. Kapan saja ia mau. Bukan kelas “peeng picah”lah

Tapi ada yang ia tidak tahu. Tentang keunikan dataran tinggi gayo. Yang banyak punya varitas kopi arabika Jenis kopi yang ditemukan dalam satu kebunpun umumnya jarang yang single variety.

Seperti jenis timtim yang sekarang disebut varitas gayo one. Ada juga borbor penyederhanaan nama bourbon. Masih ada varietas gayo dua, pe delapan delapan dan gayo tiga

Masih ada longberry atau terkenal dengan hybrido de tymor. Ataupun caturra variety dan yelow caturra pecahan dari jenis timtim,

Hebatnya di gayo ada jenis kopi yemen, abbysinia yang cita rasanya  luar biasa enak.

Jangan lupakan jenis typica yang konon sudah mulai langka di tingkat dunia dan jenis kopi mocha, hanya ada di dua negara. Ethopia dan yaman, yang juga ada di gayo

Yang terakhir ini saya nggak beritahu ke dia. Karena ia menulis lanjut tentang perdagangan kopi dunia yang tak pernah sepi dalam jenis-jenisnya.

Tiap jenis pun masih terbagi ke dalam area penanaman. Beda lahan beda rasa. Beda penanganan beda pula perawatan. Maka petani kopi yang ingin mendapat harga tinggi bisa mengikuti gaya itu.

Jumlah tonase tidak lagi terlalu menentukan jumlah pendapatan. Area tidak harus luas. Yang penting bisa menghasilkan jenis kopi berharga tinggi. Lewat penyelidikan tanah, bibit dan cara memperlakukannya.

Yang sudah telanjur punya lima hektare pun bisa mencoba: ambil setengah hektare saja dulu. Perlakukan secara khusus. Yang punya potensi terbaik. Jadikan yang setengah hektare itu ”pasukan khusus”-nya kopi.

Kini mulai banyak pedagang kopi yang memerlukan kopi khusus seperti itu. Disebut fine coffee. Mereka juga sanggup mencarikan pembina yang tepat. Para pedagang itu memiliki jaringan pembeli di luar negeri. Ada pula konsultan gratis untuk itu.

Maka muncul jargon untuk kopi ”kamu jahat, tapi enak”. “Kopi ini rasanya jahat sekali. Tapi enak sekali. Tapi juga harus diingat jargon lain. Jargon kopi sebagai pesakitan. Kalau kopinya pahit atau manis siapa yang disalahkan?

Bukan gula kan…. hahaha..

Usai mencerna tulisannya itu saya lantas teringat akan Pondok Gajah. Sebuah desa di kecamatan Bandar. Bener Meriah. Pondok Gajah yang dulu punya land transport autority. Dengan angka tujuh-tujuh dibelakangnya.

Perusahaan yang mulanya dipimpin oleh Bachtiar Usman sebagai general manager nya. Yang saya kenal akan orangnya. Tak banyak ngomong. Tapi kerjanya bagus.

Perusahaan yang penggagasnya Prof. Menezz dan Prof. Boss. Yang berasal dari Roterdaam. Negeri Kincir Angin, Belanda sana.

Menezz dan Boss yang ingin menebus dosa karena kakek moyangnya dulu melarang petani gayo mencicipi arabica. Petani gayo hanya boleh menanamnya.

Kalau ingin minum kopi?

Cukup robusta saja.

Sedangkan arabica seluruhnya di kirim ke holland atau dijadikan upeti untuk pembesar di batavia. Pembesar yang bernama gubernur jenderal.

Awalnya, nederland indie membuka puluhan hektare lahan kopi dan dikelola oleh penduduk di dataran tinggi Aceh itu

Kopi jenis arabica sendiri banyak ditanam di daerah Bener Meriah, Takengon, Gayo Lues, dan sekitarnya.

Anda jangan dulu menghujat diskriminasi kopi ini dengan kata “khapee paleh.”

Ujung dari stelsel atau peraturan itu menjadi awal kenikmatan kopi gayo ke dunia. Mendunia lewat penamaan “gayo mountai coffe.”

Ada dua tempat tumbuhnya tanaman arabica diawalnya. Takengon dan bener meriah. Kini hamparan luas perkebunan kopi membentang seluas sembilan puluh lima ribu hektar. Di ketinggian kurang lebih seribu dua ratus meter.

Dengan suhu udara yang rendah, sekitar dua puluh derajat celcius,  daratan tinggi ini cocok sekali untuk menumbuhkan beraneka varietas tananam kopi.

Saya sengaja nggak menulis tentang struktur tanah kenapa arabica itu bisa beranak pinak jenis di gayo. Itu biarlah si Fikar W Eda yang menuliskannya.  Sebab latar belakangnya pertanian dan wartawan sastrawan.

Kalau saya sapa ia pasti reflek membalas: siap… bang.

Maklum, begini begini saya pernah jadi boss-nya.

Penghujung tahun lalu saya datang ke Pondok Gajah. Diajak teman. Teman gayo yang sudah jadi “orang” di Jakarta. Ajakannya saya terima.

“Welcome and anytime”

Ajakannya ini sebagai buhul persahabatan kami karena saya ikut mengantarkannya menjadi sesuatu.

Perjalanan ini kami tempuh dari Kutaraja ke Bireuen lantas mendaki selama dua jam lebih dari Bireun ke Simpang Tiga Rendelong yang berjarak sembilan puluh tiga kilometer.

Rendelong yang ibukota Bener Meriah,

Untuk selanjutnya ke Pondok Gajah. Ke lokasi el-te-a tujuh tujuh. Lewat jalan syiah utama yang bersambung dengan jalan pondok baru. Yang tujuh kilometer. Cuma dua belas menit.

Lokasi el-te-a tujuh tujuh yang sudah bangkrut usai dinamai perusahaan daerah geunap meupakat berantakan. Saya nggak usah ceritalah. Anda klik sendiri mencari gambarnya.

Geunap meupakat yang pernah di pimpin Tarmizi Karim. Tarmizi yang pernah menjadi pejabat gubernur di banyak tempat usai hijrah ke Jakarta selepas menuntas jabatan bupatinya di aceh utara.

Tarmizi yang juga gagal untuk menjadi gubernur definit di Aceh yang kini memilih menjalani hari tua di Jakarta.

Lokasi el-te-a tujuh-tujuh ini, seperti kami dengar dari wang Aman, seorang pemilik warung, akan bersalin rupa untuk sebuah bangunan perguruan tinggi.

Calon perguruan tinggi yang di pinggir jalannya ada warung kopi kak ana. Ada juga café aroko.

Ada juga gudang kopi milik wuih ilang.

Berseberangan dengan lokasinya ada bangunan homestay dan rumah makan Sentosa.

Jalannya tak begitu mulus. Ada lobang dan serakan batu di permukaannya ketika kami datang.

Dulunya, usai diresmikan, yang saya ikut hadir sebagai jurnalis, tiga puluh tahun silam el-te-a tujuh-tujuh ini punya pabrik dan fasilitas pengolahan biji kopi.

Luas lokasinya delapan koma tiga hektar yang kala itu masih berstatus sebagai kabupaten Aceh Tengah.

Dalam catatan saya kemudian, setelah pabrik beroperasi, terjadi perubahan pola penjualan kopi di gayo.

Yang sebelumnya olahan kopi  petani yang sudah berbentuk gabah dijual ke agen pengumpul yang bertingkat-tingkat.

Gara-gara kehadiran el-te-a  para petani  menjual langsung hasil panen ke kolektor yang ditunjuk perusahaan.

Sejak itu harga kopi  pun semakin bagus.

Proyek ini di hentikan setelah sembilan tahun berkiprah

Saya tak pernah tahu penyebabnya. Walau pun sudah mencari tahu ke banyak sumber.

Yang saya tahu, itu pun sasus atau desas desus,  terhubung ke Pak Harto. Yang marah  terhadap kritik Belanda.

Dan  mengeluarkan kebijakan untuk memutuskan semua program hutang yang berhubungan dengan pemerintah Belanda saat itu.

Usai el-te-a bubar  pengelolaannya diambil alih pe-de-ge-em. Perusahaan daerah geunap meupakat dengan komposisi pembagian saham lima puluh persen untuk pemerintah provinsi.

Dua puluh persen untuk kabupaten Aceh Tengah dan dua puluh persen lainnya milik koperasi entan pase dengan anggota enam ratus enam puluh tujuh petani dan memasok biji kopi mereka

Perusahaan ini kemudian bangkrut.

Kalau ini saya tahu. Bangkrut. Salah urus. Membebani keuangan provinsi dani tidak pernah meraih untung. Yang gulung tikar.

Usai bubarnya el-te-a muncul sebuah koperasi. Yang saya nggak tahu namanya. Tapi bisa eksis dengan ribuan anggota dan mencari link hingga ke Vermont. Link dengan fores trade. Organisasi nirlaba. tentang pertanian dan konservasi.

Melalui organisasi nirlaba ini koperasi itu mendapatkan label produk bersertifikat Fairtrade.

Dengan label Fairtrade petani kopi dapat menetapkan harga minimum yang tidak terpengaruh terhadap naik atau turunnya harga di pasaran.

Lewat organisasi ini petani tahu bagaimana  memanen kopi yang telah matang, yang sering disebut dengan gelondong merah, lalu dia menjual gelondong ini kepada pengumpul atau kolektor; kolektor kemudian membawa kopi ini ke koperasi untuk diproses.

Proses dari mulai panen hingga kopi dibawa ke Medan bisa berlangsung sekitar tujuh sampai sepuluh hari.

Di gudang eksportir di Medan biasanya butuh empat belas hari lagi untuk menyiapkan kopi hingga bisa dibawa ke kapal kargo di pelabuhan Belawan.

Mekanisme penjualan seperti ini membuat rantai perdagangan lebih singkat. Dulu petani akan menjual kopi kepada pengumpul kecil, pengumpul sedang, dan pengumpul besar. Harga kopi pun jadi rendah karena banyaknya rantai dagang yang harus dilewati.

Lantas dimana peranan ambtenaar – pemerintah?

Petani tak butuh belas kasihan pemerintah

“Kalau pemerintah tidak mau membantu kami, kami akan tetap berjalan, toh selama inipun kami bekerja tanpa ada bantuan apapun dari pemerintah,” kata om Iwan dengan santai.

Ketika saya datang di pengujung tahun lalu petani kopi gayo mulai panen. Dikerindangan semak kebun  petani memetik biji kopi.

Cuaca sejuk serta kehangatan dan aroma gayo menjadikan nasib petani di bener meriah, samar kilang maupun di simpang balek tak lagi sehitam warna kopi

Exit mobile version