Site icon nuga.co

Jejak Kemiskinan Sisa Arun “Booming” di Batu Phat

ARUN “booming” telah usai. Zaman “bang bechtel” dengan buruh berhelm putih, baju “keepart” abu-abu  dan sepatu both” berladam besi di ujungnya juga telah terbang ke langit kenangan. Tak ada lagi mobil “pickup” yang “driver”nya  memacu bak orang   mabuk pagi. Semuanya telah pergi dan hanya bisa diingat dengan muka masam penduduk menjelang usia manula di Paloh Lada, Batu Phat dan Blang Lancang.

Kini Arun “booming” hanya meninggalkan jejak kemiskian di entitas Batu Phat. Jejak kemiskinan yang juga mengempiskan duit provinsi  dari rezeki bagi hasil yang jadi amanat UUPA dengan presentase 70-30. Uang bagi hasil yang dulunya dianggukkan Jakarta karena mereka tahu gas Arun sudah mongering, tapi menjadi “euphoria” di sebagian lingkungan “aneuk nanggroe” sebagai lambing kemenangan “perjuangan.” Padahal, seperti diungkapkan oleh seorang terpelajar anak Batu Phat, pasal undang-undang itu hanya “tipu aceh” yang dibalikkan Jakarta untuk menutup kepongahan kita di “pasca romatisme prang.”

Arun “booming” telah berlalu. Tak ada lagi kampung jelaga  yang mengusik dana “community development” yang dibagikan bagaikan pesta “sinterclaus”  dari tapak, selangkang dan  pucuk Batu Phat.Tak ada lagi bergema celoteh kampung miskin yang di sekat pagar komplek “real estate”  Arun. Kampung marginal yang “terasing” dan untuk menggapainya  harus menempuh  jalan memutar berkilometer melewati  bentangan “pipa line.”

Kampung-kampung yang pernah di datangi para peneliti  seperti  Dorojatun Kuncoro Yakti, Guru Besar Universitas Indonesia. Peneliti yang menyandang status ekonom yang pernah terhempas sisi kemanusiaannya ketika menyaksikan dua “kasta”  manusia penghuni sebuah   bukit di  dataran rendah  kawasan Batu Phat yang bergesek alur kesenjangan status sosialnya.

Pergesekan  yang menyebabkan kampung, seperti  Ujong Pacu tercerabut  dari tanah pebukitan miliknya dan terlunta-lunta puluhan sebagai  kampung tak ber”kasta” dan menderita penyakit “minderheid complex,” rasa rendah diri penduduknya, selama puluhan tahun.

Dan di kampung itu pula lelaki Banten itu mengeluh tentang peradaban industri yang tidak memberi ruang bagi kemakmuran bersama. Di sana pula ia melakukan otokritik terhadap  teori  “welfare state,” negara kesejahteraan,  yang harus menyerah bila  berhadapan dengan kepentingan oligarki “kepentingan,” di antara tanda dua petik. Negara,  penguasa korup,  raksasa perusahaan  dan elite  negeri yang mengatasnamakan slogan pembesaran kue pembangunan..

Di terik matahari siang yang  bercampur dengan uap limbah pabrik gas dari corong menara  api yang dihembuskan angin pantai Rancung,  itu pula,  lebih dari tiga dekade lalu, ia memastikan sebuah “tesis” bahwa  tidak pernah  ada pertemuan sinergitas kepentingan pertumbuhan bersama antara pemilik modal, negara dan masyarakat pemilik negeri.

Untuk  memastikan  otokritiknya itulah lelaki itu menarikan kepalanya, sembari meluruskan pendangannya untuk  mencari tanah gundukan, tempat ia  berpijak untuk memastikan ucapannya dengan menatap nanar ke kaki bukit,  dan berucap kepada timnya  dengan suara  lirih,” pembangunan yang timpang.”

Dorojatun,  yang ketika itu masih menjadi bagian dari tim Indoconsul, sebuah konsultan milik Soemitro Djojohadikusumo, dan  dikemudian hari  menjadi Menko Ekuin di era Presiden Megawati Soekarnoputri itu,  sedang melakukan penelitian mengenai dampak lingkungan dikaitkan dengan “community development.”

Dorojatun, yang pernah jadi Dubes di Washington dan pernah pula berkiprah di World Bank,   sebenarnya tipikal lelaki santun. Jauh dari sikap meledak-ledak. Pita suaranya halus, nyaring, dan terkadang sulit ditangkap. Ia juga jauh dari kemunafikan retorika. Yang pasti pula ia seorang “sosialis” diantara dua tanda petik.  Tapi dihari itu ia terlihat garang dan tak  bisa menyembunyikan kegundahannya tentang pembangunan yang timpang di kawasan, yang kala itu  sedang mnyandang nama  “zona industri.”

Pembangunan gemerlapnya kaki bukit dengan kampung miskin yang dimarjinalkan, tempat ia berpijak. Memonyongkan mulut, dan menggelengkan kepala ia melepaskan gejolak kejengkelannya lewat  kalimat pendek,” mereka membangun pulau di tengah kemiskinan.”

Ya. Pulau ,“enclave” dikaki bukit,  membuat gundah Dorojatun yang dipanggil akrab Pak Jatun  ”Pulau”  gemerlap dibatasi dengan pagar kampung miskin Batuphat, Paloh Lada dan Ujong Pacu. “Pulau”  pagar kawat berduri yang menenggelamkan  Ujong Pacu ke negeri di diperut bumi,, memojokkan Paloh Lada ke sudut “donya” dan membuat Batuphat terjepit di antara deru nyanyian pabrik yang  tak pernah lelap  selama puluhan tahun.  Sebuah  pembangunan berpendar dollar untuk memakmurkan para ekspatriat  yang  mengunyah “texas chicken” dan membanggakan “burger” berlapis “ham” sebagai menu klas tinggi.

***

Itulah ironi Ujong Pacu, Paloh Lada dan Batuphat. Ironi  negeri penonton  di tanah “neheun” yang  ganti ruginya dibayar dengan rupiah bergepok untuk kemudian dibelanjakan  penduduk bak rezeki menang lotre. Dan  setelah itu mereka menjadi “orang buangan” di tanah “indatu”nya dan kemudian  hanya bisa menatap sendu ke ujung pabrik dengan mata perih dalam kelebat khayal menukik langit.

Lihatlah nasib Ujong Pacu, negeri di perut bumi, yang ketika hendak  “turun” ke pasar  Batuphat harus mengambil jalan  memutar berkilometer, menyusuri “pipa line,” lewat Meurah Meuria dan berpapasan dengan  konsinyir “security” berbaju loreng, dulunya,  atasnama keamanan.  Padahal, sebelum “pulau”  kawat berduri itu hadir, petani Ujong Pacu cukup menuruni lereng  bukit sejauh seribu meter sembari memikul sayuran untuk menukarkan hasil keringatnya itu dengan serenceng duit penyangga hidup.

“Kah lagee nyoe, pakee ban tapeugah.” Sudah begini mau apa kita omongi,” ujar Hasballah, lelaki tua,  ketika kami temui di ujung kampung itu  di Januari ini. Jawaban getir yang  sangat  Aceh. Jawaban kepasrahan dari keperihan derita panjang  karena tersumbatnya protes diam penduduk untuk mendapatkan jalan akses menurun bukit. Protes berbilang tahun yang disumbat oleh jawaban demi kemanan. Jawaban final untuk mengalahkan  kepentingan petani  Ujong Pacu dengan dan atasnama   pembangungan berlabel  proyek vital.

Derita proyek vital inilah  yang mendera perjalanan  Ujong Pacu melintas jalan waktu selama hampir empat dasawarsa dan tak mampu mengikis  lumut kemiskinan di tanah bertuah itu.  Dan ketika kami “takziah,” di hari-hari minggu pertama Januari itu,  tak kelihatan uap kemakmuran  untuk dijadikan kebanggaan sepanjang lintasan dekade ketika   “booming LNG” menjadi tangan “midas” di banyak sudut.

Lihatlah  barisan rumah penduduk  di kiri kanan jalan utama,  masih tersisa rumah panggung setengah doyong.

Tanyakanlah matapencaharian mereka, pasti terdengar jawaban  sebagai petani “blang” yang selama puluhan tahun tak beringsut menjadi makmur. “Petani yang tak pernah mati kelaparan,” ujar Hasballah ketus.   Dan lihat juga  jalan utama, yang  baru diaspal setahun lalu mulai mengelupas dan menyisakan bercak air di atasnya.

Bahkan sengat kemiskinan kian terasa ketika  angka “drop out” anak sekolahan terus membengkak, walaupun Pemkab Aceh Utara mulai melancarkan  program pembangunan kampung terisolir. Dan dengarlah penuturan Hasballah,  tentang  banyak  anak-anak Ujong Pacu memintas jalan menjadi pekerja serabutan tinimbang berlama-lama di bangku sekolah.  ”Mana sanggup kami menyekolahkan anak-anak ke pendidikan  lebih tinggi.”

Itulah Ujong Pacu, kampung di pucuk, yang tak perlu diberitahu  dan tak pernah tahu berapa puluh milyar dollar duit gas sudah diternak dari pabrik di  Blang Lancang.  Mereka juga tak ingin menghitung sudah berapa ribu kali kapal tanker LNG bolak balik  dari Pusan di Korea Selatan dan Osaka di Jepang memunggah  gas alam cair untuk menjalankan pabrik dan menerangi kota-kota di utara benua itu  dengan membayarkan dollar untuk membeli simbol kemakmuran.

Ironis, memang. Ironinya egoisme  pembangunan jalan pintas yang tak pernah  mau tahu dengan hak “wareeh” anak negeri di pucuk. Hak “wareeh” ketika   “blang” dan “umong”nya diaduk-aduk untuk dijadikan sumber duit pembayar utang tanpa ada hitungan-hitungan berapa harus  dikembalikan kepada anak negeri.

Ironi Ujong Pacu, ketika  asap gas dan racun amoniak berkabut diparu-paru mereka selama berpuluh tahun dan memilin perut mereka ketika kabut pagi meninggalkan jelaga hitam, sebagai tanda kemegahan, dengan   daki membekas  di daun pisang.  Asap dan racun yang menyuburkan auman mesin  pabrik LNG di Rancung dan pabrik pupuk di  Kruenggeukuh  dengan buruh berjadwal “shift,” yang tak pernah menganggur.

“Inilah contoh pahit dari sebuah kawasan bernama beken zona industri strategis dan tak mampu menyulangkan kemakmuran bagi lingkungannya,” desah seorang kawan yang pernah menjadi pejabat di PT Arun. Zona kebanggaan di orasi setengah ilmiah untuk kemudian dikotak katik dengan angka berbilang tambah dan bagi, guna mendapatkan  penjumlahan atasnama  “income per capita.” Pendapatan per kepala.

Dan betapa bangganya para  pejabat dari camat hingga gubernur, ketika itu,  bersinyinyir disetiap sambutannya menyebut angka sihir  bernama pendapatan per kapita dalam hapalan luar kepala.

Exit mobile version