Site icon nuga.co

Weld Quay, Belajar ke Penang Menata Destinasi

Weld Quay. Hari itu, Kamis, pekan ketiga September. Angin lembab yang mengibas nakal menampar wajah kami dan menebarkan uap asin yang datang dari laut dangkalnya.

Weld Quay di barat pelabuhan itu, ketika kami datang tertata rapi dengan rumah papan, berderet, dan dihubungi oleh jembatan dengan fasilitas “high class” kalau ukuran kita di sini.

Mengingat Weld Quay, saya teringat Pusong di Lhok Seumawe. P{usong dengan rumah berjembatan kayu yang saling bersambung, tapi kumuh dan nelangsa. Tidak dengan Weld Quay, yang tertata dan mengesankan “kemewahan” dan menjadi jembatan dari sejarah pecinaan di Pulau Pinang di awal kedatangan “pelarian” Kwantung untuk melepaskan himpitan kesengsaraan di Cina sana.

Hari itu kami terik matahari menyipitkan tatapan kami di Weld Quay. Kawasan di bagian barat pelabuhan utama itu, dan masih merupakan bagian dari Weld Quay secara keseluruhan, memang menggoda pengunjung. Menggoda keingintahuan tentang cerita yang selalu dikisahkan para kek, hokian dan mancu tentang sejarah awal mereka bermukim di Pulau Pinang.

Weld Quay “kecil,” begitu orang Penang menamakan rumah-rumah panggung di atas air itu, untuk membedakannya dengan Weld Quay pelabuhan besar Penang modern dengan tumpukan peti kemas dan kapal-kapal container ribuah “piece.”

Dulunya, selama ratusan tahun Weld Quay “kecil” adalah perkampungan nelayan dengan hunian klan-klan induk para cina pelarian. Kini desa terapung itu sudah menyalin rupa menjadi destinasi wisata usai bangkrut akibat tangkapan ikan makin menjauh dan tidak “ekonomis” lagi mengangkat derajat kehidupan penhuninya.

Semula, setelah ikan-ikan menjauh dan tidak lagi menjadi peruntungan penghuninya, mereka ingin berbondong-bondong pindah ke daratan. Tapi otoritas Pulau Pinang membujuk penghuninya untuk tidak hengkang. Mereka diberi subsidi untuk terus bertahan dan perkampungan di permak tanpa mengubah wajah aslinya dengan anggaran pemerintah.

Pulau Pinang mengeluarkan dana promosi yang besar untuk mendatangkan turis ke Weld Quay. Hasilnya menakjubkan. Kehidupan penduduk terangkat lewat industry wisata yang dikemas secara apik.

Bahkan, secara sitematis otoritas Pulau Pinang memberi kredit bagi penduduk untuk membuka usaha souvenir agar keinginan eksodus mereka kandas. Hari kami datang ke perkampungan terapung itu, Weld Quay, telah eksis dengan “home” industrinya.

Di sana kita bisa mendapatkan papan nama, sirup jeli, gantungan kunci bahkan ada tenun khas cina yang harganya tergantung kualitas yang ingin dijadikan soveunir keluarga.

Pemukim awal Weld Quay, yang seperti dituturkan Chuan Lee, salah seorang warga di sana, ketika kami singgah istirahat di pelataran kedainya yang menjual minuman dingin, adalah himpunan dari sembilan klan pionir cina yang terusir dari Kwantung, akibat tekanan kehidupan para “warlord” kerajaan yang memajaki mereka dan menyebabkan berurat akarnya kemiskinan yang menyebabkan mereka lari mencari kehidupan baru.

Ketika itu, kata Lee, menurut cerita kakeknya, pelarian Kuantung migrasi lewat laut dengan membayar ratusan yuan kepada kapal-kapal kayu agar bisa sampai ke selatan. Mereka tidak tahu selatan itu di mana. Pokoknya bisa sampai di pelabuhan-pelabuhan bagian selatan negeri mereka.

Tak jarang pelarian ini harus berkubur lautan Cina Selatan yang ganas. Persis seperti kasus pelarian dari Afghanistan atau Rohingya sekarang.

Menurut Lee pula, sebagian dari kakek moyang didatangkan oleh partikelir pemilik perkebunan, seperti Deli Maatschapaij untuk menjadi buruh di onderneming Deli dan Malaya. Bahkan sebagian lainnya di datangkan untuk pekerja kasar membangun infrastruktur di Hindia Belanda.

Kami teringat kedatangan cina-cina di Banda Aceh yang didatangkan Belanda untuk dipekerjakan membangun jalan-jalan usai perang penaklukan dan mereka awalnya bermukim di tanah-tanah rawa milik Teuku Nek, Sagoe XII di pinggiran Pantai cermin Ulee Lheue.

Mendengar cerita Lee, sambil minum the dingin di pelataran rumahnya yang menjadi warung kecil, di atas jembatan penghubung, Chow, teman yang menggamit saya untuk berkunjung ke Weld Quay mengangguk.

“Hanya ada jalan satu-satunya bagi moyang kami menghindari panglima perang dan penjaja rente Lari dari sana,” kata Chow, sang teman kultural kami, yang awal kedatangan moyangnya juga bagian dari Weld Quay sebelum pindah lewat kerja keras ayahnya untuk menjadi penghuni elit di sebuah sudut Gergtown dengan berdagang rempah, dan kini memiliki perusahaan informasi teknologi yang memasarkan produknya hingga melintas batas negara.

Weld Quay, yang kami singgahi sebagai destinasi wisata, adalah perkampungan nelayan yang telah terdegradasi, dan diselamatkan oleh “kreatifitas” otorita “tourism” Pulau Pinang menjadi sebuah kawasan yang sangat menarik.

Weld Quay, desa nelayan yang telah bersalin rupa menjadi destinasi heritage, memang berada dalam cakupan pelabuhan Pulau Pinang. Dalam tulisan ini, kami ingin mengingat, Weld Quay yang kami tulis adalah “desa” nelayan itu.

Ini dimaksudkan untuk tidak membaurkannya dengan pelabuhan besar Pulau Pinang dengan nama yang sama. Dan Weld Quay, ketika kami bertanya kepada Chow ia langsung mengangguk dan menggamit kami.

Sebagai bagian dari jejak sejarah keberadaannya sebagai warga Pulau Pinang, Chow sangat mencintai kawasan itu. Ia selalu membawa setiap temannya ke sana dan dengan riang menceritakan penggalan kisah yang tidak selalu utuh tentang Weld Quay awalnya.

Karena Weld Quay adalah sejarah moyangnya, saking antusiasnya, Chow minta kami untuk menulis destinasi paling tua itu bila usai berkunjung ke sana. Tak peduli lewat media mana. “Tulis saja sesuka hati mu,” ujar berseloroh.

Bagi kami berkunjung ke Weld Quay tidak hanya sekadar wisata atau mendengarkankan sejarah eksistensinya dari Lee maupun Chow. Weld Quay bagi kami adalah sebuah konsistensi kebijakan otoritas birokrasi Pulau Pinang yang mengubahnya dengan cerdik dari desa nelayan yang bangkrut menjadi kawasan wisata paling diminati.

Weld Quay, kampung terapung itu memang menjadi sangat terkenal di hari-hari kami datang. Hari itu, panasnya minta ampun Saya dan Chow menghabiskan hampir tiga jam di sana dengan berpindah-pindah dari satu pelataran ke pelataran lain.

Di sana kami menikmati menikmati jus jeruk dan makanan “seafood” cumi-cumi “kanton.” Menurut, Chow makanan di Weld Quay masih sangat orisinil. Mereka masih mempertahankan bumbu-bumbu nenek moyangnya.

Dan ketika kami kagok memindahkan sepotong cumi-cumi dengan tumisan rajangan cabe muda dan bawang Chow mencolek. “Nikmati saja. Tak ada minyak babi. Mereka tahu yang datang kemari kebanyakan turis melayu,” ujarnya tersenyum.

“Nggak usah khawatir. Halal,”kata Chow yang juga seorang mualaf dan beristrikan seorang melayu asal mandailing dengan boru lubis. Ya tak ada yang dikhawatirkanm di Weld Quay, perkampungan di dudut kecil di pelabuhan Pulau Pinang, yang kini berubah menjadi destinasi wisata mencengangkan lewat penataannya yang manipulatif.

Secara alami memang tak ada yang istimewa di Weld Quay. Yang ada hanya kecerdikan otoritas Pulau Pinang yang mengubah infrastruktut “kampong” nelayan yang bangkrut itu menjadi daya tarik lewat intuisi bagaimana seharusnya menjual sebuah kawasan dengan konsistensi tinggi.

Exit mobile version