Site icon nuga.co

“Sie Reuboh” Lemak Tat Sie

reuboh, daging rebus, bukan sekadar daging direbus. Ia adalah kuliner kehormatan Aceh Rayeuk (Aceh Besar). Kuliner warisan turun temurun dan menjadi “buah bibir” di momen meugang yang menjadikannya  santapan “sakral” sepanjang ramadhan di komunitas perkampungan Aceh Besar, mulai dari Leung Bata hingga Montasik, Sibreh sampai ke udik Indrapuri, Seulimeum dan Lamteuba di tumit Seulawah sana.

Sie reuboh memang bukan sekadar daging rebus. Berawal dari seonggok daging berikut gapah  yang bongkahnya bisa setengah kilo lantas dibasuh bersih,  dibumbui garam, cabe merah, cabe kering, cabe rawit, kunyit kemudian direbus hingga mendidih di belanga tanah tanpa disiram air.

Khusus untuk gilingan ketiga jenis cabe, rawit, merah dan cabe jangan dihaluskan. Biarkan ia dalam keadaan kasar sehingga bijinya akan lengket di permukaan daging nantinya.

Setelah air rebusan yang keluar dari daging dan gapah mengering, biarkan ia selama satu malam dalam belanga. Keesokan harinya ketika dipanaskan kembali dan gapah yang membalut daging meleleh siramkan cuka nipah bersama air dan biarkan sampai mengering hingga dagingnya empuk. Ingat, harus cuka nipah.

Sampai tahapan ini satu fase masakan  kuliner sie reuboh bisa dianggap selesai dan bisa dijadikan santapan  dengan cara disayat sebagai  lauk. Di tahapan ini pula sie reuboh bisa akrab dengan waktu dan bertahan hingga berbulan-bulan. Cara menyantapnya tak berubah dipanaskan dengan api yang tak terlalu besar, dan tip lainnya  tetap dalam belanga tanah.

Proses sie reuboh sebagai kuliner kehormatan Aceh Rayeuk belum seluruhnya berhenti sampai di sini. Daging rebus  itu bisa diolah menjadi banyak turunan. Mulai dari sie goreng istilahnya yang mirip rendang, dimasak lemak,  dibuat kuah asam keung khas Aceh dan bisa juga dijadikan semacam abon. Karena terus dibalut gapah tentu  ia menjadi lemak tat.

Sie reuboh  menguapkan wangi cuka yang keras dan menggoda. Wangian cuka ini menjalarkan bersama rasa pedas bercampur asam hingga ke langit-langit mulut ketika dimakan.  Wangi cuka nipah inilah yang mendominir taste daging rebus sehingga setiap penikmatnya selalu menyudahi makannya dengan sepotong kalimat pendek, ”mangat tat. (enak sekali)”.

Di tahun-tahun terakhir ini sie reuboh sebagai  menu kuliner warungan makin terdegradsi. Makin sulit ditemui. Ia kalah pamor dengan “ayam tangkap” misalnya.

Kuliner yang mengundang kolesterol itu, karena dibalut gapah, hanya  mengendap sebagai masakan rumahan di kala meugang menjelang  puasa dan tersaji  secara menu budaya sewaktu kenduri maulid.

Satu dekade lalu sie reuboh masih mudah ditemui di rumah makan Aceh Spesifik di Jalan Bakongan, belakang Masjid Raya Baiturahman, Banda Aceh, dalam bentuk rendang dan asam keung. Setelah warung makan itu tutup dan salah satu cabangnya pindah ke Jalan Teuku Hasan Dek, Beurawe,  dan lainnya ke Lambaro sie reuboh sempat menghilang dari menu utamanya.

Ketika kami berburu  sie reuboh ke seputar warung nasi di kawasan Aceh Besar, seorang kawan, Teuku Darwin, mantan Kakanwil Depkumham Aceh membisikkan cari saja ke Lambaro. Dan kami menemukannya di Rumah Makan Delima Baru persis  di belokan sebelum penjernihan air PDAM  di kilometer 7 Jalan Banda Aceh-Medan kalau dari arah Pasar Lambaro.

Kalau dari Banda Aceh kita harus memutar dulu lewat PDAM.  Warung milik Bang Agam itu  baru dua tahun ini pindah dari samping Gedung Dekranas Aceh Besar. Di warung Delima baru  hanya tersedia satu jenis turunan sie reuboh yang dimasak lemak.

“Biasanya kami hanya melayani pesanan. Baik dari pembeli lokal mau pun dari luar kota.  Mereka sering menjadikannya sebagai penganan untuk dibawa ke Jakarta atau ke Medan. Kalau khusus menu yang dihidangkan jarang yang minta. Memang ada satu dua pengunjung yang mananyakan,” kata pemilik warung.

Menurutnya, selain penikmatnya terbatas memasaknya juga memerlukan penanganan yang khusus. Daging yang dibeli juga harus  dalam porsi sedang atau besar karena ia direbus dalam bentuk bongkahan. Bukan ketengan yang diiris-iris, kata Bang Agam. “Kami menyediakannya setiap hari menjadi menu tetap.”

Hari kami datang, pemilik Rumah Makan Delima menyajikan sie reuboh dalam dua versi. Satu porsi dalam bentuk gule lemak, dan porsi lainnya  jenis asam keung.  Tak jauh dari meja kami duduk, seorang pengunjung mengerdipkan mata dan menorehkan senyum ketika kami memesan kuliner “sakral” itu.

Ketika sang tamu berpapasan usai menyantap makan adat itu, ia menyapa dengan suara halus “lemaknya itu Pak.”

Untuk menebus kedua porsi turunan sie reuboh itu kami harus merogoh kocek Rp 100 ribu. “Mahal?” Nggaklah, ujar teman yang kami ajak berburu sie reuboh.  Kan “mangat tat… tat…” []

 

Exit mobile version