Site icon nuga.co

Catatan Unik Seorang Pecandu Kopi

Kopi itu adalah sensasi “taste” yang menjadi “candu” dan membuat banyak orang “mabuk” dengan testur kelat, pahit dan “sejuta” kenikmatan lain yang dimilikinya.

Paling tidak, itulah yang digambarkan oleh seorang penulis asal Inggris, Christopher Fry, yang pernah menghebohkan setelah menulis kebiasaan “bodoh” komunitasnya memperlakukan kopi sebagai salah satu nikmat “surgawi” dunia “taste.”

“Kopi di Inggris hanyalah susu dipanggang.” Begitu Fry menyebar fitnah tentang perlakukan orang Inggris terhadap kopi.

Rangkaian kata tersebut dilontarkan Fry sebagai sindiran terhadap kebiasaan menikmati kopi orang Inggris yang dianggap sangat lemah.

Surat kabar terkenal dan populer di Inggris, terbitan London,”The Telegraph,” dal;am sebuah tulisannya mengiyakan pernyataan Fry dengan mengungkapkan orang Inggris memang sangat menyukai kopi, namun, delapan puluh persen di antaranya tidak memesan kopi yang sebenarnya.

“Mereka takut dihakimi oleh pengunjung lain di kedai kopi jika bicara banyak dengan tekstur kenikmatan kopi,” tulis “The Telegraph.”

Bagi pencinta minuman dengan kafein tinggi tersebut, memesan kopi yang sarat gula, sirup, atau krim seperti cappuccino adalah hal memalukan.

Menurut penelitian terbaru, 52 persen responden mengaku malu memesan cappuccino jika rekan mereka memilih kopi yang lebih kuat, seperti double espresso.

Sebaliknya, lima puluh lima persen responden juga mengaku kerap mencemooh orang yang memesan kopi bergula.

Sekitar lima puluh dua persen responden juga mengatakan bahwa mereka akan menilai rendah orang yang memesan kopi dengan campuran sangat banyak.

Hasil penelitian ini menimbulkan ironi di tengah masyarakat. Pasalnya, dari keseluruhan responden, sebenarnya hanya dua puluh lima persen yang benar-benar menyukai kopi kuat.

“Sepertinya ada keangkuhan dalam meminum kopi di Inggris.”

“ Orang mengaku mereka merasa tidak nyaman memesan pesanan yang rumit karena takut seseorang akan menilai mereka berdasarkan pesanan itu. Sementara itu, orang lain juga merasa menyedihkan jika meminta kopi yang lemah atau bahkan bebas kafein,” ujar kepala penelitian, Luis Nino.

Dalam kurun dua puluh tahun terakhir, revolusi kopi ibarat hantaman badai.

Sebuah keluarga ada yang sangat mengandalkan setoples kopi untuk mendapatkan asupan kafein.
Latte, kopi putih, kopi espresso dari biji arabika, apapun kopi yang Anda minum, industri kopi telah membuat banyak orang ketagihan.

Namun, apa rasanya menjalani hidup tanpa kopi?

Seorang penulis keuangan yang tinggal di London, yang masih berusia muda, Amy Andrew, ditantang untuk menjalani hari-hari selama seminggu tanpa kopi.

Amy menjelaskan tentang motivasinya untuk bebas dari espresso. Dia juga menuliskan aktivitasnya selama tujuh hari tanpa pergi ke kedai kopi.

Mengikuti tantangan tanpa kopi tampaknya cukup sederhana, kata Amy. Dia menyambut percobaan tersebut.

Berharap dia bisa mendapatkan hidup baru yang bersih. Sedikit latar belakang tentang kebiasaan mengonsumsi minuman hangat Amy.

“Saya suka kopi, semakin kuat kopi itu, maka semakin baik. Saya minum double espresso ketika bangun, sebelum menuju ke pusat kebugaran. Kopi hitam kuat ketika masuk kantor, lalu pada pertengahan pagi.

Waktu yang lain adalah sekitar pukul tiga sore untuk membuat saya tetap segar di sore hari.”

Amy bilang, dia tidak membutuhkan kopi, tapi hanya menikmati minum kopi. “Jadi saya tidak khawatir untuk tidak minum kopi selama tujuh hari.”

Hari pertama
“Hari ini dimulai dengan buruk. Saya biasanya bangun dan langsung minum espresso. Pergi ke gym tanpa kopi adalah perjuangan, mungkin ini hanya secara psikologis, tapi tetap merupakan perjuangan. Saya merasa sulit fokus selama sesi latihan dengan pelatih pribadi saya. Dia harus mengulang kalimat beberapa kali, membuat saya sedikit marah.”

“Di tempat kerja, waktu seperti bergerak sangat lama. Saya lelah dan sakit kepala parah. Tiba-tiba, satu minggu rasanya begitu lama.”

Hari kedua
Hari berikutnya di gym tanpa tendangan kafein. Saya mulai menerima betapa saya sangat mengandalkan kopi. Saya merasa lesu di kantor. Melakukan tugas sehari-hari tampaknya butuh waktu lama. Tampaknya saya tidak bisa membuat otak saya bekerja.

Hari ketiga
Hari berikutnya, ada rapat di pagi hari. Gym bukan lagi masalah. Begitu mendarah dagingnya kopi, saya memesan dan minum kopi Arabian Java tidak ingat bahwa itu tidak diperbolehkan. Rasanya kasar jika kopi ini tidak dihabiskan. Perasaan puas diam-diam hadir. Meski curang, saya terbantu melewati sisa hari tanpa perlu kopi lagi.

Hari keempat
Hari berikutnya tidak sesulit hari pertama. Saya merasa lebih mudah dari yang saya pikirkan sebelumnya untuk mengubah rutinitas.

Minum kopi rasanya lebih seperti kebiasaan. Mendikte hari-hari saya dengan sesuatu yang saya pikir saya butuhkan.

Hari kelima
Kembali berjuang lagi. Saya keluar dengan teman-teman dan minum beberapa gelas anggur di sore hari.

Biasanya saya menyegarkan diri dengan secangkir kopi hitam kuat. Saya merasa lebih sulit untuk membuat otak bekerja. Tanpa kafein, bersosialisasi di malam hari, dan bangun pagi untuk pergi ke gym terasa lebih melelahkan dari biasanya. Tapi saya pikir, saya hanya butuh satu (cangkir kopi) untuk bekerja.

Hari keenam
Akhir pekan tidak terlalu jadi masalah karena saya tidak minum kopi sebanyak biasanya. Mungkin satu cangkir saya di pagi hari.

Di sini saya akui tergelincir untuk kedua kalinya. Saya memesan espresso setelah Sabtu malam mabuk di restoran dengan teman-teman.

Keputusan: “Saya tidak perlu kopi, tapi saya menyukainya.”

“Saya ingin katakan, saya mengurangi kopi setelah tantangan ini. Melihat ke belakang, sebagian besar dampak mengurangi kafein adalah psikologis. Minum kopi adalah kebiasaan, dan saya terobsesi ketika menjalani hari tanpa kopi, bukannya mengalami efek samping terhadap fisik yang nyata.

dikutip dan ditulis kembali dari the telegraph dan cnn

Exit mobile version