Site icon nuga.co

Menjenguk Rumah Ritual P. Ramlee

Bangunan itu mengingatkan kami rumah ritual di “gampong” Aceh Ketika kami datang lagi, di pekan ketiga September lalu, rumah ritual masih seperti yang dulu. Sebuah rumah keluarga di “gampong” Aceh. Konstruksi, rumah panggung dengan pelataran di bawahnya. Bertiang kayu sebagai penyangganya, bangunan itu terlihat kukuh. Di depannya, yang menjadi “teras,” khas “rumoh Aceh,” ada jenjang dengan sembilan anak tangga menuju pintu utama, yang rendah. Sehingga, ketika kami menjenguk harus sedikit merunduk.

Dinding dan lantai rumah itu, masih seperti dulunya, ketika ia dibangun, dari papan semantok. Ada paduan yang sangat serasi antara atap daun rumbia yang memayunginya dengan ruang-ruang di dalamnya terasa sejuk Apalgi jendela berdaun kecil yang masih mengundang semilir angin dan cahaya temaram ke dalamnya.

Ya, itulah rumah ritual Teuku Zakaria bin Teuku Nyak Puteh. Rumah ritual yang melahirkan seorang seniman besar, yang kemudiannya, bersalin nama jadi P. Ramlee. P. Ramlee lahir di rumah itu 22 Maret 1929. Dari perkawinan Teuku Nyak Puteh, asal Cunda, Lhokseumawe dengan Che Mah binti Hussein, gadis Melayu dari Kubang Buaya, Butterworth.

Ramlee kecil menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu Kampung Jawa dan kemudian ke Francis Light School. Setelah itu, Ramlee melanjutkan pendidikannya di Penang Free School dan tidak menyelesaikannya karena keburu perang dunia kedua.

Berawal dari bermain ukulele, P. Ramlee kemudian beralih ke alat musik gitar dan biola di bawah bimbingan Kamaruddin, pemimpin brass band di Penang Free School.

Ramlee kemudian bergabung dalam Orkes Teruna Sekampung dan kemudian Sinaran Bintang Sore. Dia pernah menjadi juara lomba nyanyi yang diselenggarakan Radio Pulau Pinang pada tahun 1947 dan terpilih sebagai Bintang Penyanyi Utama Malaya. Dalam lomba tersebut, Ramlee menggunakan huruf “P” untuk Puteh di awal namanya dan sejak saat itu nama P. Ramlee terus melekat hingga akhir hayatnya.

Film pertama yang dibintangi P. Ramlee adalah Chinta produksi tahun 1948 dengan peran sebagai penjahat dan penyanyi latar. P. Ramlee meninggal dunia pada tanggal 29 Mei 1973, saat berusia 44 tahun.

Atas jasanya Yang Dipertuan Agung Malaysia memberikan penghargaan Bintang Kebesaran Darjah Panglima Setia Mahkota pada tahun 1990 dan menambahkan gelar Tan Sri pada nama Ramlee.

Hari itu, untuk kedua kalinya setelah tiga puluh tahun kami kembali ke rumah ritualnya P. Ramlee. Tak ada yang berubah dari “heritage” yang dipelihara oleh otoritas tourism Pulau Pinang itu. Kami sendiri, setelah mengembalikan memori ke tiga puluh tahun lalu, tak menemukan secuil pun perubahaan rumah “sakral” itu.

“Persis seperti dulu,” desis kami ketika berada di kolongnya. Desis kami itu menjadi sebuah tanya bagi serombongan pelancong, yang kemudian memberitahu kami mereka datang dari Batu Phat, Lhok Seumawe.

Salah seorang bertanya tentang desis itu. “Apanya yang tak beruba?” Kami tersenyum dan mengangguk, sembari memanjang kata tentang “heritage” milik peranakan Aceh-Melayu itu. Setelah itu, mereka nyaris nyinyir bertanya. Tentang asal usul P. Ramlee, ayahnya, ibunya, dan kemudian kami tersedak setelah salah seorang memotong dengan tanya menggoda. ”P.Ramlee kan lahir di Cunda!” ujar touris itu mengembang kegembiraan.

Saya terpaksa meluruskan tentang kelahiran dan asal usulnya, laiknya pemandu wisata, dengan mengatakan, ayahnya Aceh, ibunya Melayu Penang, lahir di rumah ini dan meninggal nun di Selangor, Kuala Lumpur, dalam pelukan sang istri Che Saloma.

Memang, rumor yang banyak hinggap di memori orang Aceh, terutama di Lhokseumawe, seniman agung yang mendapat gelar kerajaan sebagai Tan Sri itu lahir di Cunda dari ayah dan ibu Aceh.

Sembari bergurau saya memberitahu dengan sungkan kepada rombongan itu, ”Ini kan rumah kelahirannya. Kok di Cunda.” Ya P. Ramli memang lahir di Pulai Pinang. Dan iya juga, ia memiliki darah Aceh dari ayahnya yang bangsawan itu, bahkan ia memiliki nama bangsawan dengan sebutan “teuku.”

Yang tidak pernah terungkap secara sahih, kenapa P. Ramlee tidak pernah menyemat gelar kebangsawanan itu pada pangkal namanya. Menurut sebuah tulisan di “Utusan Melayu,” semasa P. Ramlee masih hidup, keengganannya berasal dari ketidak “keren”an sebutan itu karena bisa rancu dengan panggilan kebangsawanan di Malaysia yang disebut “tengku.”

Manurut tulisan itu, P. Ramlee tidak mau berbenturan dengan paradok panggilan dengan gelar kebangsawanan di “semenanjung.” Ia tahu persis sebutan “tengku” itu di Aceh berarti ulama. Untuk itu ia menanggalkan nama aslinya Teuku Zakaria dan lebih asyik memakai nama P. Ramlee.

Dan “P” di depan namanya yang “ramlee” itu juga sempat dihebohkan. Secara bergurau ia mengatakan “p” itu adalah putera. Sedangkan di kesempatan lain ia mengatakan, “p” itu adalah “puteh” nama ayahnya, yang sangat ia hormati.

Saya tak peduli dengan polemik nama untuk Ramlee yang P itu. Yang paling penting, untuk kedatangan kali kedua ke rumah ritualnya ini adalah, mengukuhkan ingatan saya tentang kehebatannya berkesenian. Kehebatannya, ketika saya remaja dan anak-anak pernah menghapalkan dendang lagunya “Anak Sazali,” Seniman Bujang Lapok maupun, yang paling “hit” ketika itu “Gelora.”

Saya pernah punya piringan hitam milik P. Ramlee yang diputar dengan “gramophone” yang ujung bagai jarum dan kalau terlalu sering di putar suaranya bisa sember. Untuk bisa mendengar lagu dari gramophone itu, kita harus memutarnya dengan engkol.

Tidak hanya lewat gramophone, ketika mendekati remaja di tahun enam puluhan kami sering menyetel radio transistor mengambil chanel Kuala Lumpur. Bahkan ketika aksi “ganyang Malaysia,” dan adanya larangan untuk menyetel radio dan televisi Malaysia, saya juga secara sembunyi-sembunyi tetap mendengar suara P. Ramlee dan saloma, sang istri lewat radio.

Saya juga pernah punya buku berisi teks lagu P. Ramlee yang seingat saya jumlahnya mencapai 359 buah. Saya tidak tahu apakah seniman bernama asli Teuku Zakaria, yang meninggal di usia 44 tahun, pada 1973 itu memiliki jumlah lagu lebih banyak lagi.

Selain lagunya, kami remaja juga pernah tergila-gila dengan filmnya. Saya ingat betul film “Nujum Pak Belalang” yang kocak dan produksi 1959 dan dimainkan oleh Ramlee. Sampai sekarang saya bisa merunut ceritanya dengan baik.

Saya juga bisa mengingat film “Pendekar Bujang Lapok” yang sangat menyentuh dan bercorak komedi dan saya tonton di bioskop “Olympia” di Medan.

Exit mobile version