Site icon nuga.co

Mengenang Dodent Meng”global”kan Taman Laut Weh

WAJAHNYA  kusut.  Celana ”blue jean”  merek “wrangler,”  khas penampilannya,  sudah bersalin warna, belel. Lipatan  kakinya “jean,” dihari itu sudah  ditumbuhi terawang, robekan. Hari itu, suatu pagi di awal tahun delapan puluhan,  seperti biasanya ia datang  dengan satu anggukan,  ketika menitipkan tas plastik lusuh,  di sudut kecil  ruang kantor perwakilan sebuah surat kabar terbitan Medan, di kawasan Penayong, Banda Aceh.  Tak ada tegur  sapa panjang. Tak ada juga basa basi keakraban, kecuali sebuah salam ringan yang mengiringi setiap kedatangan dan kepergiannya.

Sosok, yang kemudiannya mendunia di habitat penikmat “scuba diving” dan “snorkeling,”  di hari kedatangannya itu belum menjadi siapa-siapa. Ia hanya seorang lelaki “udik”  dari pojok Desa Garot, nun  di Pidie sana,  yang terdampar sebagai anak muda setengah “gelandangan” ke Sabang, mencari “makan,”  ditengah hiruk pikuknya kehidupan “glamour”nya  “jengek,”  komunitas penyelundup ketengan dengan komoditi sarung pelakat, rokok Dunhill atau pun pecahbelah yang enggan membayar  bea masuk  di pelabuhan Ulee Lheue.

Lelaki itu, sebagaimana anak muda udik lainnya, kala itu,  tak bisa menghindari hingar bingarnya  “jengek,” (jenggo ekonomi) yang gaduh itu. Tapi, itu, tak berlangsung lama. “Tak cocok saja,” menyederhanakan alasannya.

Usai sebagai anak “jengek,”  ia  luntang lantung menyisiri sudut pantai Weh. Dan entah “wangsit” apa  yang singgah,  ia kemudian terdampar di Gapang atau Iboih atau pun Rubiah, yang waktu itu masih pantai antah-berantah,  untuk menjadi “guide” amatiran,  menguntit turis bule yang “tersesat,”   memungut sisa “tetelan” karet  peralatan  selam mereka dan belajar menyelam dari mereka, yang kala itu, jumlahnya  belum genap  hitungan jari.

Butuh bertahun-tahun baginya, lewat jalan  berliku,  untuk bisa sampai ke lingkungan “elite” penyelam dunia. Jalan penuh tantangan yang hanya dibekali semangat “thok.”  Jalan ketekunan  dari kengototannya berkutat di “laboratorium”  taman laut  Gapang, Iboih dan Rubiah  yang berujung pada  pengakuan serta pengukuhannya  sebagai seorang “scuba diving” dengan “brevet” A.

Brevet yang mendudukkannya sebagai instruktur  kelas satu di lingkungan elite  penikmat selam  melalui eksamenisasi  dan testimoni etika  yang membutuhkan   dedikasi tinggi. Testimoni yang tidak hanya dijalani dengan ujian “oral,”  tetapi juga diuji melalui  ketangguhan integritas merawat “coral marina” di teritori kerjanya  selama  bertahun-tahun.

Integritas  yang harus didedikasikan lewat komitmen secara permanen dan tak boleh cacat dalam perjalanan pengabdiananya   sebagai anggota terhormat di  komunitas penyelam.

Bertahun-tahun pula, dimasa awal ketika ia menjatuhkan pilihan di  profesi ini,  lidah coklat, bekas getah “asam sunti”  bawaan hidupnya  sebagai anak  “gampong”  yang  dibasuh dan diluruskan “cengkok”nya agar bisa bercas…cis…cus..  mengucapkan kata coral, marina, diving, snorkeling, fishing  dan sebagainya agar  pas  desisnya tanpa detak  bergetah yang “kelat” berbunyi “tha” ataupun liuk halus “na.”

Cengkok  kata “latin” maupun “England elegant”  yang diejanya  untuk  menyebut dengan lurus nama anakan  terumbu karang di gugusan  atoll dunia, disertai kemampuan menelusuri  masa pembentukan,  pertumbuhan, turunan serta pembiakannya. Begitu juga dengan jenis “fishing” pantai  dengan  habitat rumah karangnya.

Bahunya yang kokoh, tipikal pemuda udik,  dalam satu periode “susah,” bisa kelihatan legam dan di kesempatan lain  menghitam akibat melepuh dijilat matahari ketika bertugas memanggul segepok peralatan renang  para mentornya yang kemudiannya  membalas hasil kerja kerasnya  dengan imbalan dollar recehan. Maklum, ketika itu masih  sebagai junior,  anak “kedi.”

Lelaki  yang tumbuh secara alamiah di lingkungan penyelam itu memang otodidak murni. Sekolah alam memberinya kesempatan untuk mencatat dan memungut banyak istilah di komuni penyelam dunia. Referensi yang ditularkan para “diving” dan “snorkeling”  senior ia “download”  di”hardisk” ingatannya. “Hardisk,”  yang di kemudian harinya,  menjadi sumber presentasinya ketika melewati kerja “magang“ bawah laut, mulai dari Maladewa, Phuket, Langkawi hingga ke  Singapura untuk mendapat gelar “profesor” kecil di lingkungan penikmat “scuba diving.”

“Profesor” dengan ijazah sangat prestiseus  dari almamaternya,  “professional association of diving instructor.”  Almamater yang ruang dan bangku kuliahnya di kedalaman laut dengan guru berasal dari alam.

***

Lelaki itu, Mahyuddin. Orang hanya mengenalnya dengan Dodent, berhuruf “t”  kecil di ujung namanya. Tentang huruf  “t” kecil itu ia selalu membantahnya sebagai “jampi-jampi” dan  punya arti khusus.  “Tidak punya arti apa-apa, selain untuk “keren-kerenan”  pembunuh rasa “minder” seorang anak “udik,”  ucapnya dengan suara lirih.  Anak “udik” yang menggetarkan nyali Sulthan Qabus  dari Oman untuk kemudian mengganjarnya lewat  sebuah piagam beserta trophi  replika kapal “Sinbad,”  tokoh petualang laut  Teluk Arab yang  jenaka dan dihidupkan dalam komik dan kartun produksi “Paramount”  di tahun 1981.

Replika “Sinbad” bagi pengabdian panjangnya  melestarikan terumbu karang.  Piagam, yang selalu dibangga-banggakanya disetiap kesempatan, melebih award dan piagam prestise Kalpataru untuk tokoh pengabdi lingkungan,  yang diterimanya dari presiden  dalam  seremonial yang sangat formal  di istana tahun 2010, beberapa bulan sebelum ia berpulang.

Ketika suatu hari, semasa ia masih hidup, kami bertemu di Gapang dalam suasana sangat cair, menanyakan  arti huruf “t”  kecil diujung namanya.  Dodent  hanya mengibaskan tangan dan menggelengkan kepala, sembari  mengatakan dengan sesungging senyum enteng,” biar saja huruf  “t”itu bertengger tanpa punya arti apa-apa.” Sebuah jawaban lugas dari kepolosannya untuk meniadakan kesalahan persepsi orang tentang   Dodent berhuruf “t.”

Dodent,  yang dalam perjalanan hidupnya yang panjang di lingkungan penyelam, pernah  menyandang predikat “orang kaya,”   karena memiliki “home stay,”  dive shop, perahu “pesiar” berlambung kaca dan  penyewaan peralatan selam paling lengkap di Teupien Seurekui di bawah bendera usaha Rubiah Tirta Diver.

Ia juga mengalirkan  pundi-pundinya  dengan dollar dan rupiah sebagai  instruktur sekaligus  guru teladan bagi banyak murid sepanjang rantai taman laut Gapang, Rubiah dan Iboih. Guru bagi “murid”  yang ingin me”charge” memori tentang  flora dan fauna bawah laut.  Ia bangun semua usaha itu dari nol. Dari recehan dollar  dan rupiah  yang dibayarkan para turis bule dan turis lokal atas jasa “industri” wisatanya.

Lelaki udik ini juga sempat menata jaringan internet dengan membuat “blogh” sendiri yang bisa diakses dari sudut manapun di  bumi ini. Ia menjajakan seluruh potensi Sabang dan menggembar-gemborkan tentang kelengkapan coral, terumbu karang dan rumah ikan beserta jenis fishingnya. Terkadang “blogh”nya  memprovokasi penikmat selam junior dengan “jingle” dan “joke” mengasyikkan dan menyelipkan  tentang istilah terbaru di habitat “diving.”

Tapi jangan ledek lelaki itu dengan panggilan  “orang kaya.” Ekspresinya  langsung berubah. Ia bisa salah tingkah dan lidahnya kelu. “Saya tidak pernah merasa kaya,” katanya suatu kali ketika dalamn  “uniform” selamnya hendak turun ke laut menata pertumbuhan terumbu karang di masa awal pasca gempa dan tsunami. Dikesempatan lain ia pernah menghardik seorang wartawan sebuah koran Jakarta yang bertanya tentang jumlah assetnya. “Jangan ukur kekayaan saya dari harta. Bukan itu tujuan saya,” tegurnya dalam suara tersekat dan bibir bergetar.

Kekayaan yang selalu dibanggakan Dodent adalah keberhasilannya menggerakkan  “community based tourism.” Keberhasilan mendatangkan kepedulian orang terhadap kecintaan mereka terhadap pelestaraian kehidupan biota karang. Sebuah obsesi yang ia petik hasilnya setelah sempat lunglai  ditahun delapan puluhan ketika karang Gapang, Rubiah dan Iboih dipreteli  dengan dinamit hingga bercerai berai dan ikan-ikannya diperdagangkan lewat penangkapan memakai bius  untuk mengisi akuarium “pedofil”  kaya mulai di Bangkok, Kuala Lumpur hingga  Singapura.

Exit mobile version