Site icon nuga.co

Lambeusoi, Kini, Bukan Lagi Negeri Di “Naca”

Lambeusoi disebuah siang yang senyap,  pengujung Janurai lalu. Kami datang lagi ke kampung bertuah itu, setelah empat tahun berselang. Kami takziah  hanya  untuk mencari inkarnasi tentang sebuah gampong “metropole,”  yang banyak mengisi lembaran keperihan, duka dan kegembiraan untuk “peziarah” selatan.

Kala kami datang Lambesoi sedang dipayungi  langit  kelabu yang menyiramkan hujan lebat di tanah bertuahnya. Hari itu tak ada “fiesta” ritual “rambate rata.” Tak ada lagi deru “speedboat” mendorong perahu rakit untuk menyebarangkan kendaraan dan penumpang.

Semuanya telah lenyap. Semuanya telah terkapar di bawah jembatan “rangka besi jenis “callender hamilton” jilid dua.   Tak ada lagi celoteh mandor dengan suara “legee…lageee….,  kere…keree… yang riuh menyusun mobil dipelataran rakitnya. “Kami sudah wo bak sot” ke masa sebelum gempa dan gergesai humbalang laut,” kata Nurdin, pemilik warung, yang kini pelanggannya sudah jauh menyusut, yang dulunya selalu melimpah kala perjalanan tertunda.

Kami sengaja takziah di hari itu untuk mengingatkan kembali tentang negeri di “naca” itu yang tercampak ke “pucok” donya usai tsunami. Negeri melata dengan nyanyian “hikayat putroe bungsu”  yang selalu didendang kernet rakit di kepala perahu ketika malam-malam terang bulan.

Lambesoi  yang berjarak 8 kilometer dari pusat kota kecamatan, Lamno, kabupaten Aceh Jaya, setelah membelah dari kabupaten induknya Aceh Barat, sengaja kami kenang untuk mengembalikan memori anak negeri “PMABS” tentang  ritual suci prosesi angkutan penyeberangan.

Ritual “meurakeet.”  Sebuah prosesi, yang dulunya selalu kami tulis dengan  nama  “rambatee rata.” Prosesi “ritual” suara “koor” yang menyentuh awan dengan  dentuman papan “tim”  yang di lepas dengan iringan gelegar suara mandor, satoooo…, duaaa… teegaaa. Dan, “bum.”

Sejenak. Untuk kemudian hening. Klak klik, starter, kenderaan mengaumkan deru mesin peminum bensin itu. Lantas menyeruak teriakan majoooouuuu…, majoooouuu. Atau keree…  kanaaan,  secara terus menerus. Dan di tutup dengan hentakan  suara, stoop……stooooop, dari  seorang “kenek” rakit, sembari menggerakkan kedua tangannya dengan lincah.

Bersamaan dengan suara stoooop ……..   yang  panjang dan melengking  sang kenek, seorang pria berbadan tegap dengan sigap menyorongkan  ganjal kayu ke bawah ban mobil. “Klaar,” desis sang mandor, lelaki paruh baya yang memakai topi “lamhood,” sembari mengeluarkan bungkus rokok Kisaran dari balik jaket belelnya.

Itulah  sekelumit episode  ritual pekerja rakit. Episode rutinitas buruh kasar dalam memandu kenderaan roda empat yang naik turun “pelayangan.”  Itu pula kenikmatan “senggama” perjalanan “spekulatif” khas pantai barat Aceh. Perjalanan yang diganjal oleh waktu ketidak pastian tiba ditempat.

Perjalanan campurbaur antara harapan dan kecemasan. Dan itu juga perjalanan menembus waktu, yang terkadang jadi hiburan, dalam kisah nostalgia sebagaimana selalu didendang dalam bentuk hikayat oleh buruh rakit ketika merobek kekhusukan malam  saat penyeberangan lima belas menit berlangsung.

Lambeusoi adalah potret perjalanan itu. Potret getirnya sebuah “gampong”  yang tumbuh “sungsang” akibat kemiskinan struktural ekonomi daerah. Potret melata yang di”iya”kan secara realitas oleh jejeran belasan rumah lapuk dengan pantat mencecah air di kuala sungai Lambeusoi yang berair “lagang” itu. Potret dari “kemiskinan” turunan  akibat sempitnya pilihan hidup oleh  isolasi kultur dan isolasi “budget”  akibat pilihan salah kaprah pembesaran “kue” tinimbang pemerataan pembangunan khas kebijakan “mafioso”  Berckley  yang menjelmakan koloni  pekerja kasar dengan label buruh “p.u,” huruf kecil dalam tanda dua petik. Sebuah koloni pekerja yang dibungkam status semu dengan “gengsi” pegawai honorer.

Untuk itu, Lambeusoi, jangan dipersonifikasikan sebagai sebuah “gampong” biasa yang tumbuh berdasarkan matematis puak dan kekerabatan. “Kota” rakit ini tumbuh oleh kebutuhan darurat pelintasan darat yang bernama jalan, untuk kemudian bertahan melintasi dekade waktu. Dekade yang  menurunkan generasi pewaris kemiskinan. Tak percaya?

Lihatlah barisan toko kayu, yang jumlahnya masih dalam hitungan jari, dan di dominasi warung kopi setengah kumuh, berbangku kayu dan bermeja panjang dari sisa kayu yang dimakan rayap itu, yang omsetnya fluktuatif berdasarkan grafik alam. Jika hujan dan air sungai melimpah dan puluhan bis, truk dan angkutan pribadi terjebak, omsetnya melambung. Bila cuaca bersahabat dan perjalanan lancar-lancar saja , “lalatpun tak hinggap digelas kopi kami,” ucap lirih  seorang “toke” warung. Sang “toke”pun  hanya menyeringai ketika dari celah dinding tokonya yang bolong mencericit rem Bis “kope” PMTOH mendaki tanjakan papan tim dalam posisinya mencari ruang di rakit kayu yang dua diantara tiga perahunya  bocor. “Uroe nyo hana raseuki,” ujarnya lirih. Hari ini tak   ada rezeki. Ia nanar menghunjamkan pandangannya pada riak air  di permukaaan  Krueng Lambeusoi yang menarikan pantulan cahaya matahari.  Itu, pertanda perjalanan lancar.

Kota “mini” Lambeusoi  janganlah  dimimpikan sebagai sebuah “metropole.” Ia adalah sebuah gampong yang dibentuk oleh ke”dhuafa”an infrastruktur yang bernama jalan raya. Sebuah ke”dhuafa”an pembangunan  pantai Barat Aceh, kala itu, mungkin juga sekarang, yang tetekbengek perencanaannya, pada waktu itu, diboyong ke Jakarta dan diatasnamakan sebagai hak “preoregatif “ pusat.

Lambeusoi, kala itu, mungkin juga sekarang, bisa jadi sebuah contoh kasus dari cepeknya “empang peeng”  pemerintah yang  birokrasinya dikangkangi oleh sebuah sistem perencanaan sentralistis yang tidak mempedulikan wabah kemiskinan infrastruktur berjangkit dimana-mana. Lambuesoi juga bisa dijadikan contoh dari pembiaran meruyaknya borok kesenjangan pembangunan  ekonomi negeri dengan menyulangkan “honor” hidupnya dari rotasi duit upah pekerja rakit.

Lambeusoi di tahun 1974,  tak pelak, kalau kita mau setuju, adalah sebuah gambaran riil dari “kota” yang tumbuh oleh kebangkrutan birokratis anak negeri. Ia juga menjadi saksi kesejarahan dari pengalaman  perjalanan “rambate rata” kubangan lumpur dan lubang-lubang menganga dengan  belasan  “lambeusoi-lambeusoi” lainnya, seperti Kuala Unga, Teunom, Arongan, Suakseumaseh, Kuala Tadu, Lamie dan lainnya  yang berserakan  sepanjang 445 km antara Kutaraja ( nama kota Banda Aceh, waktu itu) dengan Tapaktuan di Aceh “Ketelatan.” Eh … Aceh Selatan. Sebuah perjalanan darat “hella…..hellla rotane” tujuh hari tujuh malam. “Hela, hella rotanne, dari tercampaknya prestise “aneuk jameu,”  dalam kasta “sudra” perkariban puak. Perkariban yang membagi Aceh dalam dua belahan. Seulawah dan   Geureute.

Hari itu 34 tahun telah berlalu. Matahari di penanggalan 27 September 2008 amat menyengat. Suhu 32 derejat celcius muncul dipencatat jam tangan kami.  Nama  Lambeusoi, tempat jeruk bali dan kuini, dulu,  dijual secara obral,  telah dimakan virus “ebola” di “hardisk” memori anak generasinya. Lambeusoi dalam “database” juga telah bermetamorfosa dengan waktu dan teradopsi menjadi ingatan semu sebagai pelintasan bebas rakit, ketika suatu hari, dua puluh delapan  tahun lalu,  sebuah jembatan besi type “hamilton” melintas di kuala sungai  berair payau itu. Lambeusoi “rambate rata” telah terkapar di bawah lempengan baja  lewat  program” peng”enyah”an rakitnya Gubernur Aceh, waktu itu, Ibrahim Hasan. Ia dilupakan. Lambeusoi “lama” telah mati diganyang program pembangunan “sederhana” Ibrahim Hasan, jalan dan air.

Lambeusoi yang “dhuafa” telah raib. Anak Lembah Geureute  yang lahir pasca era rakit tak pernah tahu bagaimana ayah, atau kakeknya, dulu memutuskan untuk berangkat ke Kutaraja mengayuh sepeda “ontel” ketimbang naik bis “kope” yang bisa berhari-hari tercebur ke kubangan jalan.

Mereka hanya tahu jarak tempuh Banda Aceh-Tapaktuan bisa dipatok menjadi tujuh atau delapan jam. Patokan normal sebuah perjalanan berjarak 464 km. Mereka tidak mau tahu yang namanya Kuala Bungkok di kawasan Lamie, Nagan Raya, ketika ayah dan kakeknya terdampar dihutan pacat dan dikerebuti nyamuk. Ataupun ketika berjalan kaki sepanjang 12 kilometer untuk mencari pemukiman di Keude Teunom karena bis ditumpangi patah “as,” atau “hancou klaha.” Mereka pasti tak mau percaya ketika  haus para pemudik harus minum air lumpur yang disaring dengan tapis kelapa untuk kemudian dicampur dengan kopi dan susu cap “nona” supaya warnanya serupa dan tidak menggelitik tengggorkan.

Exit mobile version