Site icon nuga.co

Kepingan Surga di Ketiak Krueng Raba

KRUENG Raba!!

Tak banyak lagi orang yang tahu tentang sungai kecil  di ketiak Lhoknga itu. Sebuah nama yang menjadi “heritage” dari catatan kolonial. Nama yang menerawangkan kenangan banyak orang tentang lekuk pantai, pasir putih dan gelombang yang menari ditebas angin di telapak kakinya.

Krueng Raba, kini, hanya bisa diingat dengan pertanda bentangan jembatan “callender hamilton”  di pangkal pahanya. Jembatan yang telah bersalin rupa usai diterjang gelombang tsunami. Hari kami melewatinya di Januari  berlangit mendung itu ada reinkarnasi  di kota berjarak 16 kilometer dari Banda Aceh itu.

Hari, ketika kami menghampirinya,  kota “Krueng Raba,” sebagaimana banyak catatan kolonial Belanda menyebut nama Lhoknga itu, telah pulih seribu persen dari duka kematiannya.  Lekuk teluk, ujung tanjung maupun garis pantainya memang telah berubah. Tapi jangan tanyakan tentang keindahannya yang melingkar dari Lhokseudu hingga ke Ujong Pancu. Hanya satu kata untuk menuntaskan kekaguman kita, “subhanallah.”

Kota pantai nan eksotis itu,  di siang hari itu, ketika kami singgah  sedang dijilat matahari terik dan mengibaskan tarian eksotis fatamorgana yang mengicuh tatapan di badan jalannya .

Jilatan matahari, di hari itu, mengundang jelaga  kabut asin yang berlarian bersama   angin liar dan membuat pandangan  kami dipelintasan  jalan licin selebar 30 meter itu menjadi balur, rabun.  Jalan yang air pun tak tumpah karena permukaannya yang rata,  terlihat lengang sehingga  mengundang kembali  kenangan “hitam” kami  atas  kenyerian  atas  hilangnya sebuah generasi “aso lhok”  di tanah sangat bertuah, Krueng Raba itu.

Lhoknga, sebenarnya, bukan sembarang “kota.” Negeri ini pernah menjadi sebuah “zelfbesturder,” berpemerintahan mandiri,   di pasca penaklukan Aceh dengan seorang “controlier”  sebagai penguasanya wilayahnya. Carilah foto-foto dokumentasi KITLV, pusat informasi dan dokumentasi Belanda, dan anda akan menemukan banyak gambar controlier dengan para ulee balang di dalamnya.

Walupun jejak sejarah heritagenya, berupa  tangsi tentara, perkantoran  berarsitek  “sinder” dengan kolom bangunan menyalin rumah  tropis berlangkan  lebar dengan  teras  panggung yang menonjol telah punah, tapi kebanyakan anak “aso lhok” yang masih hidup  bisa mengingat dengan sempurna jalan dan lorong sempit  dengan baris pohon cemara laut di sisi kanan dan kirinya  serta  pusat kota yang menumpuk  menghadap Krueng Raba di belahan selatannya, kini  persis di depan SMA Negeri Lhoknga yang dulunya bekas lapangan bolakaki.

“Saya tak kan pernah melupakan tempat saya bermain dengan sepeda jengki di kawasan penjara dan kantor camat yang bangunannya peninggalan Belanda,” kenang Lailun Kamal, karyawan sebuah koran lokal di Banda Aceh, yang asli  anak Lhoknga dan separuh lebih keluarganya hilang dikubur tsunami..

Di Lhoknga ini pula  ada  lapangan terbang militer dan puluhan benteng pertahanan Jepang di sepanjang bibir pantai. Dan pasca merdeka disini pula ditempatkan bengkel dan pusat artileri republik sebagaimana ditulis almarhum Nukun Sanany,  dalam bukunya “Berjuang Sampai Akhir.” Kini semua itu telah  raib kala  gempa tsunami  menghancurkan negeri itu.

“Di sini juga ada pusat utama pertahanan Jepang berupa kuruk-kuruk di sepanjang pantai dan pusat artileri tentara ketika perang kemerdekaan,” ujar Zainal Arifin, anak Lhoknga yang pernah menjadi operator radio pantai di pasca kemerdekaan,  ketika kami bertemu di usia uzurnya di Medan.

Lhoknga, oleh banyak komunitas, dijadikan sebagai pusat keragaman kegiatan dengan destinasinya yang aduhai. Ada ombak besar untuk ajang “surfing,” padang golf ber”hole” 36 atau “resort” Lampu’uk  berterumbu karang.

Lhoknga adalah pangkal paha dari irisan keindahan pantai barat Aceh. Dan hari itu ia juga menjadi pangkal perjalanan kami di lintasan jalan terbaik yang pernah dibangun di republik ini. Jalan yang jangan dihitung nilai ekonomisnya dengan perkalian arus lalu lintasnya. Tak ditemukan angka keekonomiannya secara provit. Tapi jalan kemanusiaan dengan status hibah senilai US $.282 juta, atau kalau dirupiahkan   Rp 2,6 triliun lebih itu, dengan nilai  tukar atau kurs sekarang, adalah jalan silaturahmi.

“Ini jalan kemanusiaan. Jalan yang tidak punya nilai kalau dihitung dengan harga nyawa dan penderitaan yang pernah dialami penduduk,” kata seorang kawan yang pernah menjadi pejabat puncak di Calang, Aceh Jaya, itu memberi tekanan kata “kemanusiaan.”

Kawan itu benar. Jalan Banda Aceh-Calang sepanjang 150 kilometer  memang jalan kemanusiaan yang lahir dari komitmen US-AID, lembaga bantuan  pemerintah Amerika Serikat, dengan ”label” hibah  program, usai  tsunami dan kesepakatan damai Aceh, yang jumlah seluruhnya mencapai US $ 430 juta.

Jalan ini, seperti seloroh seorang staf USAID kepada kami, usai peresmian pemakaiannya di Teunom beberapa waktu lalu, adalah jalan “California Beach” yang dipindahkan ke Aceh. Jalan pantai barat Amerika Serikat yang bersisian dengan Lautan Pasific yang  kontur dan karakter pantainya hampir sama dengan jalan Banda Aceh- Calang,  di belahan barat Aceh  atau dikenal Lembah Geureute, yang juga  bersisian  dengan  Samudera  Hindia.

“Yang pasti,” kata si bule asal San Fransisco  itu, ” ruas Banda Aceh-Calang, pasti,  sepuluh kali lebih indah dari California Beach.”  Sambil mengacungkan dua jempol tangannya ia mengatakan dengan antusias dan mimik serius,” very… very… nice.  All beutifull.”

Struktur dan pondasi jalannya, secara konsep, setara dengan jalan bebas hambatan, . Walaupun bukan jalan tol,  jalan berbayar,  yang harga per-satuan untuk setiap kilometernya  mencapai Rp 23 miliar, dan merupakan  jalan bebas hambatan termahal  untuk ukuran  Indonesia.

Membelah bukit untuk mewujudkan pembangunan jalan interseksi, dan meniadakan belokan tajam, ruas ini mencapai lebar rata-rata 30 meter. Melintasi 74 desa pantai, sepanjang trase yang dilewatinya, sejak Lhoknga hingga Calang Baru, yang keindahannya tak terpermanai, dibutuhkan pembangunan 27 jembatan  baru dari rangka baja jenis  “callender hamilton,” yang di impor dari Australia.

Semenjak dari Lhoknga kami sudah disuguhi  keindahan  laut, bukit kecil, gunung batu yang menendangkan pantatnya ke samudera  dan yang selalu menyertai perjalanan kami adalah  aroma nyeri tentang  kenangan tentang gempa besar dan tsunami.

Di pangkal perjalanan itu kami terpaksa menyusun ingatan tentang  jembatan Krueng Raba yang telah bersalin letak dan bersalin rupa. Komplek  Kompi-112 di pusar “gampong,”    asrama dan markas Kompi Zeni TNI-AD, di  punggung bukit,  atau pun “kluster” perumahan   eksklusif  PT SAI,  dulunya berkolam renang dan berpagar beton setinggi dua meter,  yang kala itu  tergolong “super mewah” untuk ukuran “gampong” Lhoknga. Semuanya kini tinggal  penggalannya berupa  sebuah tugu kecil  di bukit komplek asrama zeni sebagai pertanda bahwa  maut  pernah menjemput penghuninya.

Beringsut dalam jarak satu kilometer, ada pabrik semen PT. SAI, yang baru saja usai direvitalisasi oleh perusahaan pemiliknya “Lavarge” dari Perancis. Pabrik di ceruk kaki bukit itu, yang gunung di serambi belakangnya sudah dicacah selama  puluhan tahun  untuk bahan baku batu gamping, mengingatkan kita tentang pekatnya sendu kematian ketika mayat bergelantungan di kisi-kisi kerangka bangunannya.

Jangan lupakan kapal ponton dan “tug boat”  yang “mendarat” di jalan raya, bergelimpangan.

Pabrik semen berhalaman depan sebuah gunung karang yang  membentuk tanjung, diapit oleh pantai yang indahnya sulit  mencarikan tandingannya.  Pantai karang yang memanjang  dan membuat lekuk dengan pelabuhan alam milik pabrik  tempat kapal mengisi semen curah dengan sistem angkut ban berjalan di atas rangka baja bersilang.

Pabrik di pinggir jalan negara, km 17 itu, yang hancur total itu, merogoh kocek Lavarge, sebuah perusahaan semen Perancis, hingga ratusan juta dollar Amerika Serikat untuk pembangunannya kembali itu, sampai bisa berproduksi sesuai dengan kapasitas terpasangnya  pertengahan tahun lalu.

Usai lokasi pabrik semen sensasi keindahan berlanjut kependakian  bukit Glee Jeudah hingga bersambung ke Glee Lhok Seudu  dengan melintasi kota kecamatan Leupeung yang sudah tamat riwayatnya dan sisa penduduknya  mencari lokasi  pemukiman baru. .

“Kota” Leupeung, yang dulu terkenal dengan lelaki “jawara”nya, bertempramen keras, dan sering menghardik para sopir yang melarikan bisnya dengan kencang melintas  jalan sempit perkampungan, kini  hanya menyisakan jalan bercabang  tanpa disentuh lintasan baru,  di bekas rawa, yang dulunya jauh di pinggiran desa. Kini sebagian penduduknya yang selamat membentuk sisa komunitas atas nama atas lambang prestesius   anak pribumi, ”aso lhok,”  berpencar di tumit bukit.

“Kampung kami telah ditinggalkan  lintasan jalan utama. Kamipun hidup berpencar membangun asa baru dengan menghimpun sisa  garis turunan,” kata Jalil Hasan, seorang anak turunan berpengaruh di sana.

Dari puncak  Glee Layeun, yang kini gunung  batunya sudah dibelah untuk jalan memotong, terhampar  kampung baru di lembah memanjang, bekas tambak telantar. Kampung baru  dengan 200 buah  rumah petak type 36 meter persegi berbaris dalam empat jajar di bangun oleh sebuah NGO asing yang penyandang dananya sebuah yayasan di Eropa sana,  tetap memakai nama Desa Layeun, walaupun lokasinya sudah berpindah.

Sisa penduduk Desa Layeun itu, kini membuka “gerai” ikan asin sepanjang “glee,” hingga ke kaki “Glee” Paro, melintasi sebuah teluk yang indahnya sulit dilupakan, Lhok Seudu. “Ini sumber hidup baru kami. Ada kemurahan langit untuk rezeki yang diturunkannya,” kata seorang pemilik pondok ikan asin kepada penulis, walaupun sebagian jualan ikan asin bukan produk asli mereka. “Ini dari Langsa,” kata seorang perempuan paruh baya ketika ditanya asal  ikan terinya.

Tak penting benar asal dagangan anak Layeun itu. Yang perlu dicatat, mereka berdagang dengan hati yang sudah terbebas dari derita panjang pasca tsunami. “Kami sudah bisa melupakan kenangan pahit kehilangan segalanya.Kini kami sudah memulai hidup tanpa belas kasihan orang lain,” kata Muhazar yang bertahun-tahun hidup dari “jadup,” jaminan hidup, dari satu NGO ke NGO lainnya.

“Itu masa lalu. Kami hanya bisa mencatatnya  sebagai sejarah hidup,” ujar nelayan yang ketika tsunami menenggelamkan  kampungnya dan membawa tiga anak gadis beserta  istrinya ke “arash,” ia sedang “melaut”  di ujung Pulau Andaman mengumpulkan minyak hiu botol.

Kini Muzahar  telah kawin lagi, punya satu anak perempuan mungil dan tinggal di sebuah rumah “kotak sabun” di  lokasi desa baru, masih dengan nama yang sama, Layeun,  serta tetap menjadi nelayan dengan penghasilan “cukup makan.” Bagi lelaki paruh baya ini hidup adalah ibadah dan tak ada kata berhenti untuk menjalaninya.

Exit mobile version