Site icon nuga.co

Jadi Turis “Backpacker” Ke Pulau Tidung

Pagi itu, Sabtu pertama di bulan Maret. Angin lembut mengusap kami waktu menaiki kapal kayu ukuran sedang di pelabuhan nelayan yang kumuh, Muara Angke. Hari itu juga kami, menjadi turis “backpacker” berkantong cepek, yang harus menenggelamkan impian naik kapal “pesiar” di Pantai Indah Kapuk, seperti rencana semula, karena tahu ongkos sekali berlayar ke Pulau Tidung, di sabuk selatan dari Kepulauan Seribu bertarif Rp 300-Rp 400 ribu per penumpang.

Hari keberangkatan dari Muara Angke itu, kami baru saja membeli paket “travelounge” seharga Rp 260 ribu plus, yang sudah “including” transportasi, akomodasi dan konsumsi. Paket murah dengan kapal transportasi kayu, penginapan di rumah penduduk dan makanan laut selama dua malam.

Kapal nelayan Muara Angke yang kami tumpangi di Sabtu yang cemerlang itu, sebenarnya, menurut seorang “anak buah kapal” cuma bertarif Rp 33 ribu setiap penumpang. Dan, sebagai turis “backpacker” tak ada rasa sungkan ketika kami tahu “boat” ikan berbau anyir itu berderak ketika dipadati hampir seratus penumpang berdesakan dari “palka” hingga ke ujung buritannya.

Kami tak peduli ketika jurumudi menarik pedal dan kapal beringsut mencericit menuju laut lepas dalam perjalanan selama tiga jam ke Tidung Besar. Kami tak peduli ketika rombongan besar penumpang campur baur itu bercerocos ketika berpapasan dengan kapal “container” mau pun “tanker” yang bagaikan raksasa besarnya.

Yang kami tahu, perjalanan ke Tidung, yang dikatakan sebagai “Bali”nya Kepulauan Seribu cuma satu, ingin “belajar” bagaimana cara men“jual” paket wisata dari yang murah meriah hingga yang berkelas.

Dan kami juga tahu Pulau Tidung yang tidak memiliki keindahan seperseratus dari Iboh, Gapang dan Rubiah di Weh sana yang dianugerah Illahi dengan keindahan petualangan “diving” dan snorkeling” yang memiliki terumbu karang dan ikan-ikan sekelas “napoleon.”

Tidung, setelah kami menginap selama dua malam dan menikmati “homestay” rumah penduduk ber”ac” dan yang menyediakan fasilitas makan ikan bakar serta paketnya laku bak “kacang goreng” kami terkesima. Untuk apa Iboh, Gapang dan Rubiah dengan keindahan tak terpermanai tak mendatangkan rupiah bagi penduduknya.

Sabang dengan terumbu karang dan kehidupan bawah lautnya yang membuat “ngiler” para “dive” dunia memang bukan lawan seimbang bagi Tidung yang lautnya berminyak dan sampah menumpuk di sepanjang pantainya.

Tapi Tidung, dan pulau lainnya di tumpukan Kepulauan Seribu adalah pesona industri kepariwisataan yang pernag habis-habisnya di eksplor pemerintah yang mengikutsertakan penduduknya. Rumah-rumah penduduk yang disewakan selama Sabtu dan Minggu bias mendatang rezeki berlimpah bagi penghuninya, walau pun selama dua malam itu mereka mengungsi ke barak-barak yang di bangun secara bersama.

“Saya berbisik dengan seorang kawan, apakah kita di Sabang mau melakukan ritual macam mereka?” Dengan sekali sambar si kawan mengatakan,”pane na, hana item keu pinah.” Jawaban itu menyebabkan kami terbahak.

Travelounge kami ke Tidung bukan sekadar wisata biasa. Kami ingin tahu teknik pemasaran industry wisata di pulau yang di “iming-imngi” dengan sebutan “Bali”-nya Kepulauan Seribu itu. Kata “Bali” yang sengaja mereka lekatkan untuk menggaet pengunjung sekaligus menebarkan pesona tentang pantai dan laut, yang ternyata ukuran keindahannya masih “cepek” di banding Iboh yang sangat miskin fasilitas dan pemasaran.

Pulau Tidung ketika kami datang memang menawarkan kemudhan fasilitas. Terdiri dari dua pulau, Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil, yang dihubungikan oleh sebuah jembatan kayu, yang oleh penduduk menamakannya sebagai “Jembatan Cinta” yang melengkung di ujung utaranya dan sering dipergunakan sebagai tempat “pertemuan” dan ajang “loncat” indah bagi anak-anak pendatang.

Luas keseluruhan Pulau Tidung hanya 54 hektar. Tak butuh waktu lama untuk mengelilingi pulau ini. Apalagi Anda bisa menyewa sepeda untuk berkeliling pulau. Kalau malas bersepeda naik saja becak yang menggunakan sepeda motor dengan bayaran mulai dari Rp 5.000 saja.

Pulau Tidung mengemas apa saja untuk bias di”jual.” Kuburan di Pulau Tidung Kecil, yang tak jelas sejarahnya, mereka jadikan sebagai “ziarah dengan membuat nama penghuninya sebagai Panglima Hitam. Warga setempat mempercayai Panglima Hitam sebagai orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Tidung.

Tak lengkap rasanya berkunjung ke Pulau Tidung tanpa berolahraga air. Anda bisa bermain-main dengan banana boat, kano, snorkeling, atau bahkan diving. Khusus untuk snorkeling dan diving, Anda perlu menyewa perahu untuk membawa ke titik-titik yang memiliki panorama bawah laut lebih cantik.

Kegiatan menarik lainnya di Pulau Tidung adalah melihat pembuatan manisan rumput laut. Di hari kami berkunjung, Sabtu dan Minggu pekerjanya libur. Jika ingin melihat pembuatan manisan maka datanglah di hari-hari kerja. Di musim tertentu, para penduduk setempat juga membuat manisan ceremai.

Menurut pemandu yang menyertai kami ke Pulau Tidung jadwal kunjungan yang bagus untuk berkunjung adalah di bulan April sampai Oktober. Berkunjung di luar bulan-bulan ini, maka bersiaplah bertemu badai dari angin musim barat. Belum lagi, sampah menumpuk jadi tamu tambahan Pulau Tidung. Saat angin musim barat, sampah-sampah kiriman dari daratan Jakarta ‘nyasar’ bertamu di Pulau Tidung.

“Studi yang menarik bagi kami dalam kunjungan Ke Tidung adalah rumah-rumah penduduk yang berubah menjadi penginapan. Salah satunya adalah rumah Muzahayah. Rumahnya berubah menjadi penginapan ala homestay. “Saya punya dua penginapan. Tapi karena kepenuhan, akhirnya ada tamu yang menginap di rumah saya,” tuturnya.

Ia menuturkan, salah satu warga yang paling awal mendirikan penginapan adalah Bapak Haji Hamid. Awalnya Haji Hamid mendirikan kontrakan dan sering dipakai untuk menginap pegawai pemerintahan yang berkunjung ke Pulau Tidung. “Kalau saya, tadinya ada teman yang ingin menginap karena mau snorkeling bersama,” ceritanya.

Ia mengatakan, setiap akhir pekan, hampir dipastikan penginapan yang dia kelola pasti penuh. Ada sepuluh kamar dan setiap kamar bisa memuat lima orang. Hal itu berarti Muzahayah menerima tamu sebanyak 20 orang setiap akhir pekan. Apalagi posisi penginapannya dekat dengan dermaga.

Sementara itu, Mahmud, warga lain yang juga mengelola penginapan, menuturkan, umumnya penginapan di Pulau Tidung tidak memiliki harga tetap karena melihat kondisi calon tamu yang menginap. Misalnya, di penginapan miliknya, satu kamar seharga Rp 300.000 untuk lima orang.

“Tapi saya pernah kasih harga ke mahasiswa Rp 100.000 untuk berdua, kamar ber-AC. Kasihan, masih mahasiswa, belum punya uang sendiri. Mereka datang untuk penelitian,” tuturnya. Penginapan yang dia kelola berada dekat Jembatan Cinta. Tak heran, penginapannya termasuk yang laris manis di akhir pekan. Apalagi di kamarnya tersedia fasilitas AC. “Dulu sebelum ada pembangkit PLN di sini masih pakai diesel. Sejak PLN masuk, kami bisa pasang AC di setiap kamar,” katanya.

Pulau Tidung memiliki luas 54 hektar. Jumlah penduduk Pulau Tidung mencapai 4.300 jiwa. Saat akhir pekan, jumlah wisatawan 300-400 orang. Namun, saat musim liburan, jumlah wisatawan bisa mencapai lebih dari jumlah penduduk Pulau Tidung itu sendiri.

Exit mobile version