Site icon nuga.co

Geureute Tak Pernah Jadi Serpihan

“Geureute tak pernah jadi serpihan,” begitu pesan pendek  yang merambat  di hari ke tujuh usai gempa besar disertai tsunami delapan tahun   yang mengayak dan menjungkirbalikkan kampung-kampung di pesisir Aceh. Pesan  melegakan yang datang ke tempat pengungsian kami di Medan untuk memastikan kabar burung tentang telah runtuh dan terjungkalnya jalan di pinggang Geureute itu ke pelukan samudera.

Sebuah kabar yang sebelumnya, entah darimana datangnya, menyebar bak virus ”sampar” menyambar komunitas barat-selatan tentang telah mampusnya sebuah sensasi perjalanan di lekukan laut Lhoong hingga ke Daya itu. Kabar yang mencemaskan anak-anak Lembah Geureute  tentang hilangnya sepotong kenangan yang berlabuh hampir disemua memori peziarah yang pernah datang, menikmati dan bersenda gurau dengan tepian langitnya sepanjang hari.

Hari kami mendapat pesan pendek itu, tulalit telepon genggam di Banda Aceh sudah menyingkir dan berganti dengan rekaman jawaban, “mohon hubungi kembali nomor yang anda  tuju.”  Jawaban itu-itu saja karena padatnya lalulintas percakapan yang menyebabkan server milik para operator  seluler menendang jika melebihi kapasitas.

Di sela tulalit itu rekaman pesan pendek dan percakapan tentang kabar survive-nya ruas jalan Geureute, yang tak jadi mati itu,  menyebar sama cepatnya dengan pesan liar tentang cerita bohong kematiannya.

Bagi kami anak-anak barat-selatan, sensasi Geureute bukan hanya pesona keindahan dengan jalan menelikung, berbelok dan membuat detak jantung berdegum di sepanjang tapak dan dinding batu cadasnya. Geureute juga peruntungan galau dari sebuah kecemasan karena lintasannya hanya disangga jalinan bebatuan yang di selangkangnya bolong berpuluh meter.

Seorang konsultan jalan yang datang ke selangkang gunung itu membisikkan kepada kami, “jalan yang anda lalui berada di panggung tak berpenyangga.”  Tak ada yang bisa memastikan kapan ia berderai. Ruas jalan di pinggang Geureute memang sebuah pesona dari sensasi gunung batu, tebing curam dan jalan sempit dengan keindahan yang sulit tertandingi.

Datanglah ke puncaknya  ketika semburat jingga menyapu kaki langit barat, nun di ufuk tak bertepi sana. Ikuti jejak riak cahayanya di telapak alun  gelombang hingga ke kaki bukitnya yang kemudian berhimpun di sekeliling  tubir pantai  Pulau Keluang,  yang ketika gempa  dan humbalang laut menendang daratannya,  delapan tahun lalu, pulau kecil di tubir nanggroe indatu Keluang itu terbelah dua.

Tak ada  seorang pun, sejak ia terbelah,  yang menorehkan catatan tentang pulau kecil itu menjadi  pecah  yang memiriskan sisa anak-anak gampong Keluang mengingat  betapa dahsyatnya ayak bumi di goncang dan gergasi laut membawa  jenazah  kakek-nenek, ayah-ibu, anak saudaranya berkubur di samudera   tanpa pernah mengafankan jenazahnya.

Keluang adalah pesona dari Geureute yang magis. Pesona dari gunung yang telah gosong telapaknya dimakan gelombang selama ribuan tahun. Gunung yang hanya disangga oleh jalinan batu cadas yang kadang kala bergetar ketika ombak besar menerjang pantatnya. Dan membuat tengkuk penziarah bergidik.

Geureute  sendiri memang pesona yang tak pernah habis untuk diocehkan. Gunung batu, yang ketika negeri ini diayak gempa 9 skala richter delapan tahun lalu, semua orang berdebar menanti nasibnya. Rubuh. Terjungkal ke laut dalam. Atau tak pernah lagi menjadi tempat lintasan.

Ketika forecast itu musnah di telan kenyataan. Geureute tak pernah rubuh, tak berderai di pelukan laut, dan masih tetap menjadi lintasan anak-anak negeri lembahnya di barat-selatan sana. Geureute juga masih tetap menjadi nyanyian yang mendayu di telinga dari syair yang meugampong.

Geureute adalah lintasan sepanjang delapan kilometer di pinggang gunung berbatu cadas yang sering bukan ulah memacetkan perjalanan karena longsor. Lintasan ini di bangun oleh Belanda sebagai “jalan perang” usai penaklukan Lhoong yange berdarah-darah.

Menurut catatan sahih yang ditemukan dalam catatan di KITLV, pusat dokumentasi Belanda, jalan di pinggang Geureute ini dibangun oleh para pekerja rodi,  pekerja setengah paksa,  yang tak sanggup membayar belasting, pajak badan, bersama dengan ratusan Cina yang didatangkan dari Kwantung yang digilir menurut shift secara tiga bulanan.

Lintasan ini dikerjakan dengan manual. Peralatan yang digunakan tembilang, kapak pungo, cangkul maupun sodokan. Dan menurut A Kwek, seorang Cina tua yang tinggal di Jalan Jambi, Penayong, kakeknya dulu adalah termasuk salah seorang pekerja membangun lintasan Geureute.

Menurut A Kwek, yang kami temui disebuah warung kopi tempat warga turunan itu biasa ngumpul di pagi hari, di belakang pasar sayur Penayong, sang kakek mengisahkan pedihnya pembangunan jalan itu.

Tidak bisa dihitung berapa puluh orang yang kecebur ke laut dan mayatnya dibiarkan pernah dikuburkan dengan fardhu kifayah. Dan berapa ratus orang yang tertimbun longsor yang kemudian mati dan bertanah jirat di kakinya. Sang kakek, seperti kata A Kwek,  bisa survive dan menjadi toke kelontong setelah menetap di Kebun Mulia usai hijrah dari rumah reot di “nehuen” hutan bakau Ulee Lheue.

Geureute memang dilema sebuah lintasan ketika rehabilitasi dan rekonstruksi usai tsunami diputuskan lima tahun lalu. Ada dua pilihan ketika itu mengemuka. Pindah trase atau mempertahankan dengan lebar jalan masih seperti dulu. Oleh USAID, penyandang dana hibah,  memilih tetap trase lama walau pun “hantu” longsor akan datang silih berganti.

“Alasan konsultan bule penyandang dana itu, sayang kalau sensasi Geureute itu tamat hanya  pertimbangan keamanan semata. Mereka berkeyakinan, kalau pun ada trase alternatif nantinya, lintasan ini akan tetap bisa dinikmati keindahannya sepanjang ia tidak amblas,” tutur seorang pejabat yang mengutip isi  keputusan konsultan dan dia sendiri ikut dalam tim negosiasi perencanaan sejak awal untuk mendapatkan bantuan berbentuk hibah itu.

Itulah kisah dari sepenggal eksistensi Geureute. Dan pekan lalu, ketika di sebuah ambang sore   kami mendakinya dari arah Lamno sepulang mudik, kami memutuskan untuk menikmati anugerah Illahi  itu hingga tutup maghrib di puncaknya.

Telah lama kami tak peduli dengan geureute pass-nya, sejak gempa dan tsunami memusnahkan bangunan jambo-jambo yang berdiri dikecuraman tebing gunungnya dan disangga kayu yang berpijak di celah bebatuan. Kini jambo-jambo itu  telah tegak kembali. Mengundang pejalan untuk melepas penat. Dan menjadi  tempat  rehat minum kupi pancung. Geureute Pass juga mengundang turis lokal  untuk berkhidmat menikmati keindahan panoramanya.

Di ambang senja itu cuaca cerah. Di kaki langit ada awan tipis yang berbanjar menabir cahaya jingga, yang kemudian menyumbratkan warna kuning yang menarikan  gerak simetris tarian  seudati di seputar Pulau Keluang. Cahaya yang membasuh hutan kecil di pulau tak berpenghuni itu dengan cahaya keemasan.

Senja di Geureute adalah senja keindahan, Di dekade lalu ketika menyinggahi Geureute Pass biasanya kami melepaskan hajat ritual dengan mendaki tangga semen untuk sampai ke bekas bivak yang dibangun Belanda persis di bahu bukit. Tak banyak  orang yang tahu lokasi dan sejarah bivak  yang diawal merdeka masih terpelihara dan menjadi persinggahan Wapres Mohammad Hatta ketika berkunjung ke Aceh di tahun 1956.

Gubernur Hasymi juga menjadikannya sebagai tempat persinggahan favourit kalan perjalanan dinas ke barat-selatan sebagai melanjut tradisi gubernur dan residen Belanda di zaman penjajahan.

Pelataran bivak itu, hingga kini masih utuh. Tapi bangunannya telah raib. Dan dari sana keindahan Geureute yang tak terpermanai itu bisa menjadi “obat” penenang para penikmat alam. Senja telah usai. Di Bakda maghrib itu kami turun arah ke Lhoong yang langit di tepian samudareanya masih menyemburkan warna kuning yang temaram karena malam menjelang. []

 

Exit mobile version