Site icon nuga.co

Es Kacang + Gado-gado = Nusa Indah

Ya. Es kacang, tambah lontong gado-gado, berarti sama dengan “Nusa Indah.” Iya pula, ketika kicauan pertama Yun Mir, dalam “tweet,” di tengah hari, pekan ketiga Mei lalu, mengatakan, asik usai menikmati kuliner khas Tapaktuan yang mengundang selera itu.

“Ada sensasi rasa dari kacang merah plus santan beraroma sirup tanpa pengawet,” ujar Yun memberitahu saya tentang es kacang milik “Nusa Indah,” yang ia tahu kemudian di racik oleh si A On, sang pemilik warung.

Masih dalam suasana yang sama, Yun juga mengungkapkan kalau gado-gado “Nusa Indah” sulit dicari padana rasanya di seantero nusantara.

“Wuah, Pak! Sulit saya memberi tahu rasa apa yang tersimpan dari bumbu kacangnya. Ada pedas, manis dan rasa gurih bawang merah serta gula ijuk yang melingkar di sana. Thank” Pak,” tambahnya tentang kuliner yang sangat pas dengan seleranya itu.

Yun, yang memberitahu saya ini, adalah seorang anak muda asal Parung Kuda, Sukabumi, yang menjadi “back-packer”

Empat hari sebelumnya lelaki yang sedikit eksentrik itu, dengan rambut cepak dan sepatu kets, bertemu di Banda Aceh dengan saya atas rekomendasi seorang teman di Jakarta, dan ingin mencari “suasana” baru menelusuri “gampong-gampong heritage” peninggalan “humbalang” tsunami di pantai barat Aceh.

Yun, memang seorang “avounturir” tulen. Bekerja sebagai “IT” di sebuah perusahaan perminyakan asing, ia berpetualang di masa cutinya menyusuri “heritage” nusantara dan manca negara.

Kali ini Yun menyusuri Aceh dan memilih rute pantai barat untuk kemudian terus ke Medan dan balik ke Jakarta.

Ketika mencari saya, dan kemudian bertemu di Banda Aceh, yang kemudian saya usung ke Panglima Nyak Makam, ia sempat tercengang dengan ramainya isi warung kopi dengan orang “pemalas” dengan mengukir dunia lewat sikap yang “mbong.”

Ia minta rekomendasi saya untuk daftar kuliner “PMABS,” dan “gampong” tsunami yang penduduknya telah punah di pantai barat Aceh sebagai peta jalan pelintasannya.

Khusus untuk kuliner, saya memberi tiga rekomendasi “bintang lima” untuknya Di Meulaboh saya tuliskan ia harus menikmati kepala kakap “asam keung” di Rodya Warung, pas untuk makan tengah hari. Sedang di Blang Pidie ia saya wajibkan menikmati “ mi abuih” Taci Ciak, yang lokasinya persis di depan stasion liar mini bus L-300.

Untuk kuliner di Tapaktuan ia masih bisa mencicipi “mi abuih” dengan versi sedikit berbeda dengan yang di Blang Pidie. Namanya “mi abuih” Mak Ali di Genting, di depan SPBU” Dan yang terpenting ia harus menikmati es kacang dan gado-gado lontong di Warung “Nusa Indah” milik si A On, di jalan Merdeka, persis di depan Stasion PMABS lama.

Bagi Yun, dari peta menu kuliner itu, setelah ia menikmatinya, lelaki Sunda itu memberi tanda dan mengirimkan ke alamat email saya.

Bbintang lima” untuk es kacang, “bintang tiga” untuk gado-gado lontong.” Mi abuih ia apresiasi dengan “cam jempol.” Sedangkan “asam keung” kepala kakap “Rodya’s” di Meulaboh ia contreng dengan tanda bulatan sebagai sulit tertandingi.

Yun banyak mengomentari minuman es kacang “Nusa Indah” sebagai salah satu senasasi rasa ternikmat. Ia menuliskan pesan khusus di “email” kepada saya dengan kalimat,”betul apa yang bapak katakan.”

Yun benar. Es kacang si A On bukan hanya “taste” ternikmat yang menjadi milik Yun. Saya sendiri, sebagai anak “Taluak,” atau nama Tapaktuan untuk “aneuk aso lhok”nya, menempatkan minuman itu sebagai kuliner wajib setiap pulang “kampuang.”

Menurt si A On, es kacang bikinannya terdiri dari kacang merah khusus di datangkan dari Medan. Kacang merah itu, kata A On, termasuk special karena pilihan. “Lembut dan ada aromanya,” kata generasi ketiga dari penjual es kacang itu. Dalam istilah yang sangat Tapaktuan si A On menyebutnya dengan kata “kamek.”

Selain kacangnya yang “kamek” lewat proses rendaman dan rebusan dengan mengganti air berulang-ulang, santannya juga dari kelapa pilihan. “Kalau pakai kelapa non Tapaktuan pasti ambruk nukmatnya.”

Khusus untuk santan ini A On memesannya ke pelanggannya sejak pertama kali kakeknya jualan. Cara menanak santan ini juga pakai kiat khusus. Apinya harus dari kayu bakar. “Nggak boleh api kompor, baik gas atau minyak tanah.”Sirupnya juga bikinan sendiri.

Tentang gado-gado lontong? Ah.. ini yang nggak boleh diungkapkan. Bumbunya diracik dari kacang tanah lokal. “Itu saja bang,” ujar A On tanpa ingin meneruskan prosesnya.

Bagi saya, yang pernah menikmati es kacang dan gado-gado lontong bikinan kakeknya, ibunya dan kini si Aon sendiri, tak perubahan ekstrim yang terasa. Tekstur tampilannya masih sama dengan rasanya yang tetap memikat.

Exit mobile version