Site icon nuga.co

“Apit Awe”Wareh Sejarah

Rumah kecil itu dibelokan sebelum tanjakan mendatar.

Di lintasan Banda Aceh-Tapaktuan. Persisnya di kilometer empat  belas dari arah Tapaktuan.

Di situ saya selalu menghentikan laju kenderaan.

Menepi.

Setiap melintas

Sejenak..

Bisa pagi, siang, sore dan ditengah malam yang pekat sekali pun.

Di situ saya memuaskan dahaga menatapnya. Menatap rumah berdinding papan. Di kerendahan jalan raya menuju tempat pemandian Tuwi Lhok.

Rumah itu berdampingan dengan tiga rumah lainnya.  Desa Lhok Pawoh. Kecamatan Sawang. Desa yang subhanallah indahnya. Desa yang selalu menjadi inspirasi puisi dan cerita pendek  pemilik rumah itu.

Desa yang bersambung ke kawasan wisata Ie Dingin. Yang pantainya berpasir putih memanjang dengan lekuk laut dan tanjung di ujung barat dan timurnya.

Saya tahu ia dilahirkan di rumah itu dan juga baru tahu, kemudiannya, dia berpulang disitu.

Berpulang dikerentaan hari tuanya, Digerogoti penyakit lambung, liver dan entah apa lagi yang ia sembunyikan ketika memutuskan untuk pulang.

Pulang dikesepiannya usai berkelana entah kemana. Berkelana dengan kisah sedih, gembira yang bercampur aduk dengan derita.

Berkelana sebagai seorang yang hanya menggenggam ijazah sekolah menengah pertama usai gagal sebagai siswa sekolah peternakan. Usai juga menjadi seorang tukang dobi sebagai warisan pekerjaan ayahnya.

Tukang dobi yang ia jalani dengan menyisihkan waktunya untuk menulis di banyak media. di usia belianya.

Tukang dobi si penulis puisi dan cerita pendek. Yang banyak sentimentilnya. Ia juga menulis apa saja yang mengantarkannya sebagai wartawan lokal tanpa kartu pers dan sering dibawa pejabat keliling kabupaten.

Otak saya terkatup setiap menatap rumah papan itu. Membuat denyut jantung saya selalu berdegup. Berlari bersama bulir-bulir memori yang meleleh membasahi tatahan kolom “apit awe” yang menjadi miliknya bertahun-tahun.

Yang akhirnya abadi usai menghilang di sebuah media lokal prestise.  “Apit Awe” yang ia tulis setiap hari terbit media itu dari perenungan sepinya.  Perenungan  dari perjalanannya yang panjang. Panjang …sekali.

Berbulan-bulan. Bertahun-tahun. Dan berpuluh tahun.

Yang kemudian ia buraikan menjadi kolom miliknya. Milik Hasyim Kaliane Sing. Hasyim KS.

Hasyim yang kerempeng. Berambut kriting. Berwajah tirus sentimentil. Berkulit hitam khas ras Tamil karena ayahnya memang seorang Tamil.

Hasyim yang rumahnya dibelokan jalan menuju pendakian itu.

Saya tersedak ketika gerimis kecil mengalir dipelupuk mata. Ada ayakan gempa di bibir saya bersama sedan senggukan,

Usai melepaskan dahaga menatap rumah kecil dikerindangan pepohonan itu. saya menginjak pedal gas dengan mendesahkan kalimat.

“Damailah selalu wahai Bang Hasyim. Dikau telah memberi lebih dari yang saya butuhkan,” bisik bathin saya

Bisik bathin tentang apa yang pernah ia berikan untuk saya. Dan entah untuk siapa lainnya. Semuanya. Semuanya …. Melebihi apa yang saya dan mereka inginkan.

Hasyim KS memang pesona tipikal penulis. Sentimentil. Dan itu dipengaruhi oleh perjalanan hidupnya,.

Perjalanan hidup keluarga besarnya yang sangat-sangat sederhana. Sesederhana ketika ia dilahirkan sebagai anak sulung dari rahim Saniah delapan puluh dua tahun lalu di gampong Lhok Pawohi

Ketika usia 15 tahun mulai mencoba menulis dl Majalah anak-anak ‘Teruna”/ “Kunang-kunang” pimpinan Haksan Wirasutisna, diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta.

Setelah dewasa terseret jadi wartawan membantu Harian “Indonesia Raya” dan Majalah ‘Tempo”.

Bersama beberapa seniman sastra Aceh dia membentuk LEMPA (Lembaga Penulis Aceh). Ikut rombongan ke Pertemuan Sastrawan Nusantara “Dialog Utara V” di Alor Setar. Kedah, Malaysia (1991).

Terakhir aktif :
• Duduk di Komite Sastra Dewan Kesenian Aceh (DKA 1995-2000).  Anggota Seksi Kebudayaan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Banda Aceh.

dan Semenjak 1990 bekerja dl Surat Kabar “Serambi Indonesia” Banda Aceh sebagai Redaktur Budaya.

Akhir tahun 1995 bersama penyair Taufik Ismail dan L.K Ara menyiapkan antologi Sastrawan Aceh dan Nusantara yang diberi nama “Seulawah”.

Puisinya terdapat pula dalam antoloji “nafas tanah rencong”, “banda aceh”, “sosok”, “lagu kelu” ,dll.Sosoknya dalam rekaman teman-teman dapat ditemukan dalam buku “serdadu tua nguyen polan (aliansi sastrawan aceh – dewan kesenian aceh,2006)

Exit mobile version