Site icon nuga.co

Alta Zaini…

Saya mengenalnya dari jarak antara. Tidak jauh. Tapi juga tidak dekat. Jarak jenis begini dalam pertemanan sering di harfiahkan sebagai sepelemparan. Sejauh lemparan…

Dari jarak sepelemparan ini saya mengenalnya sebagai lelaki berperawakan gempal. Berparas kukuh dan dikenal pemberani dan pintar bicara.

Suaranya serak, Gak basah. Bahasanya agitatif dan lugas. Saya sempat kagum padanya. Kagum distrata gumam. Bukan dalam bentuk hambo pujian.

Ia setahu saya bukan sekadar penerobos di banyak hadangan. Tapi juga punya bakat terpendam: petualang. Hidupnya subur-subur saja. Terutama usai humbalang laut di dua puluh tahun silam.

Menurut esai pendek seorang junior saya kemarin ia tak tahan kalau melihat taktik kesenjangan di strata sosial bawah yang berbelit-belit. Baginya saatnya kesenjangan itu disudahi lewat kepedulian

Bukan dengan jargon. Bukan dengan kebijakan sporadis. Itu yang bisa saya tangkap dari tulisan satu setengah folio yang penuh contrengan tentang kiprahnya.

Namanya: alta zaini. Atawa terkenal dengan alta atau pun bang alta. Posisinya di klas bawah ukuran struktur pemerintahan. Keuchik. Kepala desa.

Banyak catatan yang ditulis media mainstream dan medsos tentang jalan hidupnya hingga pagi tadi. Tapi gak ada catatan tanggal lahir dan liku maupun keloknya. Hanya puja puji.

Saya setuju aja atas puja dan puji ini. Gak ada yang salah dalam persangkaan.

Berdasarkan penanggalan kalender sampai di hari selasa kemarin ia sudah menginjak usia enam puluh dua tahun.  Dengan penanggalan usia itu ia sudah berada di trek  seorang manula.

Namun,  dari sikap, penampilan dan gesturnya gak ditemukan heng hong ketuaan. Dari tangkapan kamera aromanya masih “baby face.”

Terakhir saya ketemu dengannya beberapa tahun lalu. Gak ingat persisnya. Tapi yang bisa saya ingat kala itu ia menekuni profesi baru sebagai pengaduk plus toke “kuah belangong” di keude kupi taufik

Keude kupi yang sekali hap.. dari rumah tinggal saya. Jalan tengku di blang. Gak jauh dari tusuk sate jalan malahayati. Persisnya sehamparan dengan polsek kuta alam.

Kala itu saya sempat menyuap kuah belangong racikannya. Kuah belangong dari alta yang baru saja menyelesaikan periode pertama sebagai keuchik. Kepala gampong.

Saya gak terkejut ia bisa menjadi toke kuah belangong. Ashbabnya ia bisa jadi apa saja. Itu ciri orang humble.

Alta, untuk selanjutnya saya menyapa nama itu  di tulisan ini,  di sebuah hari pernah saya goda sebagai petempur terbuka. Petempur jalan kehidupan.

Godaan itu datang ketika saya dan dia duduk di sebuah gerimis pagi. Gerimis yang menyebabkan saya dan dia terjebak dalam percakapan tanpa script.

Percakapan seperti sopir dan penumpang di jalan berlubang yang pedal remnya menghentak-hentak  dan setirnya bak baling-baling.

Saya mengatakan ia bukan petempur biasa tapi  memiliki hitung-hitungan nekat.

Di sebuah hari lainnya saya pernah mendengar ocehan seorang temannya, tentang jalan progresif yang ia pilih dimanapun tempat pijakannya. Ia penumpas ketidak setaraan

“Alta itu cerdik,” kata si teman. Ia selalu mampu menemukan kiblat perjuangan baru sesuai dengan kebutuhan medan. Keyakinanya pada prinsip sangat teguh bak terjangan badai.

Ini ia buktikan ketika terpilih sebanyak dua kali jadi keuchik yang diselingi sebuah interval waktu. Seperti yang dialami oleh donald trump sebagai presiden di negara blau sana.

Tapi ia bukan donald trump yang grafis emosinya turun naik. Yang ancaman dan gertaknya bak “atjeh moorden.’ Yang taris ia lontarkan daftarnya bikin kasak kusuk negeri di donya ini.

Alta yang saya kenal adalah seorang “meu-aceh” gampong. Ia bukan tipikal “atjeh muge” Bukan juga toke bangku yang sering menguapkan aroma mbong dalam desah nafasnya di ujung haba.

Alta juga merupakan seorang yang hidup dalam pilinan pertemanan. Tidak dalam pilinan perkauman. Yang pilinan perkauman di negeri ini sering merusak tatanan.

Seusai duka humbalang laut banyak orang tak mampu bangkit bersama duka. Tidak dengn alta. Ia bisa menohok walaupun kehilangan keluarga. Ia gak pernah membawa sesal.

Itu dari penampakan. Saya gak tahu dari serambi batinnya. Gak mau masuk daerah privelese itu. Ini etik. Seperti kode etik dalam jurnalistik. Gak harus menulis yang baik atau yang buruk saja.

Harus imbang… harus punya data… harus disertai ini dan itu…. Maaf saya gak meneruskan harus ini itu di tulisan ini.

Dari banyak tanya yang saya miliki jawabnya, alta sepenuhnya hidup dalam pertaruh. Ia tak  tak tahan melihat jalan berliku mengatasi berbagai masalah. Ia mungkin pria yang tak sabar.

Baginya gerak cepat tak bisa di tawar dalam memutus  segala yang ruwet. Ia sadar donya gak harus dihadapkan dengan rajang permusuhan.

Saya tahu selama ia menjadi keucik yang saya sendiri sebagai warganya alta berdiri di sisi nyak-nyak ceh ani. Bukan di sisi ulee balang cik pante.

Sikap ini sering menjadi jalan terjal yang harus di daki dengan tumit dan lutut secara merangkak. Gak mudah mewujudkannya. Dan ia gak mau mengumbar permusuhan

Katanya kepada saya kala mengurus kartu keluarga cara ini adalah front yang harus dibangun. Harus ada gerakan rakyat untuk bersikap seragam untuk menerima perubahan.dalam hidup bersama dan saling hormat.

Tak perlu saling menohok karena itu membuat semuanya masuk perangkap bagi mudah campur tangan orang-orang yang gak menhendaki kemajuan.

Itulah Alta yang tak ingin negeri ini hanya berbalut dengan kemiskinan. Dan ia ingin mengubahnya dari sumur yang ada dasar. Bukan sumur tanpa dasar

Ya alta dengan banyak ide. Alta yang letih ketika hari-hari terakhirnya seperti nelangsa. Seperti diungkapkan oleh temannya seorang jurnalis: nasir nurdin di sebuah esai pendeknya.

Esai pendek yang saya muat secara utuh di tulisan ini. Pemuatan tanpa kutipan. Karena saya takut bias. Bias karena jarak saya dengannya sepelemparan bukan sehamparan.

Inilah tulisan nasir nurdin itu:

NAMANYA Alta Zaini. Tetapi orang-orang sering memanggilnya Alta atau Keuchik Alta karena dia sudah pernah satu periode penuh (2008-2013) menjabat Keuchik/Kepala Desa Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh.

Kini dia masih Keuchik Lampulo setelah terpilih lagi pada 2021 lalu. Namun belum tahu sampai kapan.

Alta juga dikenal dengan panggilan Kak Alta karena dia pelatih paskibraka. Banyak juga yang memanggilnya ABG karena pernah memimpin organisasi relawan komunikasi RAPI Kota Banda Aceh. ABG itu sendiri bagian dari nama udara (callsign) RAPI, yaitu JZ01ABG.

Usia Alta Zaini sekarang sekitar 62 tahun. Perkiraan itu jika mengacu pada usianya ketika terpilih lagi sebagai Keuchik Lampulo pada 2021, waktu itu 58 tahun.

Meski sudah kepala enam, dia masih terlihat energik, humoris, dan parlente, walau beberapa giginya sudah tanggal sehingga ada yang mengolok-oloknya dengan panggilan ompong. Dia tak peduli karena menurutnya nggak penting gigi, yang penting lidah. Nggak jelas kenapa Alta lebih mementingkan lidah dari gigi, hahahahah.

Menjelang buka puasa, 29 Ramadhan 1446 H atau 29 Maret 2025 saya berselancar di beberapa grup WhatsApp.

Saya berhenti pada postingan video Alta Zaini di grup Silaturahmi Banda Aceh.

Video berdurasi 3 menit 9 detik itu berisi ungkapan perasaan Alta tentang kegelisahan, kekecewaan, kemarahan, dan narasi lain yang berbalut kesedihan.

Dia terlihat sangat sentimentil. Nggak tahu siapa juru kamera kegalauaannya. Tetapi bisa saya pastikan sang juru kamera ikut terbawa suasana. Janga-jangan yang merekam istrinya, yang akrab kami panggil Bunda.

Jika menyimak narasinya di video itu, Keuchik Alta seperti sedang memarahi diri sendiri karena telah menjadi bagian orang yang gagal mengimplementasikan hakikat puasa.

Dia mengaku malu harus ikut buka puasa bersama secara bermewah-mewah sementara di sisi lain banyak orang yang tak pernah merasakan kenyang.

Menurut Alta, dia gagal memahami kelaparan dan ketiadaan mereka (si miskin) karena dia dan juga kita hanya berpura-pura menjadi mereka. Mereka tetap lapar, mereka tetap kalah, mereka tak pernah menang.

Saya tak tahu kemana arah kritikan dan kegelisahan Alta itu dimuarakan. Yang saya tahu Alta adalah bagian dari kota ini. Kota Banda Aceh yang kini dipimpin Illiza Sa’aduddin Djamal dan Afdhal Khalilullah. Banda Aceh yang mengusung visi ‘Kota Kolaborasi’.

Sambil menunggu waktu buka puasa, saya tanggapi video Alta dengan sedikit komentar. Begini komentar saya:

“Di kota kolaborasi semuanya bisa terjadi. Yg menderita berkolaborasi sesama mereka, yang kekenyangan juga sesama mereka. Gak usah sedih Pak Keuchik.”

Menjelang suara sirine, masih sempat saya lanjutkan sedikit lagi, “kolaborasi itu kompromis Pak Keuchik, saling menjaga dan melindungi. Kekuasaan itu terlalu mahal.”

Setelah membatalkan puasa dan ketika dalam perjalanan ke meunasah untuk shalat magrib, pikiran saya secara spontan meragukan apa yang dinarasikan Alta Zaini tentang banyaknya orang miskin dan kita gagal menjadi mereka.

Pikiran saya berontak, apalagi kalau yang dipaparkan Alta berangkat dari studi kasus di Kota Banda Aceh. Sungguh tak mungkin itu.

Kalau memang Banda Aceh banyak si miskin, si duafa, atau orang yang tak pernah menang, mustahil pemimpinnya tega berkolaborasi mengusulkan kendaraan dinas jabatan seharga Rp 3 miliar. Artinya mereka juga gagal memenej rasa.

Bukan soal boleh atau tidak boleh, tetapi, sekali lagi soal rasa yang bisa merasakan rasa mereka. Gitu maksudnya

Dan saya menutup tulisan ini dengan katupan dua tangan di dada untuk mengantar kepulangannya ke hadirat Ilahi. Ke negeri langit… ke negeri yang kelak timbangannya ………

Exit mobile version