Site icon nuga.co

Mari Kenali Berita Hoax di Media Sosial

Berita hoax makin mengemuka bersamaan dengan makin berseliwerannya dan membuat pengguna media sosial resan gelisah untuk membedakannya dengan berita benaran.

Menurut para pakar komunikasi,  berita hoax yang bermuara dari situs palsu sebenarnya bisa dilacak. Karena seperti halnya situs penipuan, keduanya sama-sama menutupi identitas pemilik situs seperti kontak dan alamat dengan motif ekonomi.

Ada empat langkah sederhana yang bisa diterapkan.  Dan faktor identitas sebuah situs jadi rujukan utama untuk mengenali penipuan dan berita bohong di internet.

Yang pertama cek domainnya. Mereka yang pakai domain .id cenderung lebih aman.

Alasan domain .id cenderung lebih aman ketika identitas pemilik situs dipegang, Kita bisa mengecek kebenaran konten dengan menghubungi sang empunya situs.

Kendati demikian, tak ada  menjamin seratus persen penggunaan domain .id selalu lebih aman.

Salah satu sebabnya sejak situs blogspot beralih domain ke .co.id, kasus penipuan bermigrasi ke sana.

Dengan mengkloning sebuah situs terpercaya sebagai latar, penipu bisa meyakinkan korbannya untuk meraup keuntungan.

Memeriksa kontak situs merupakan cara termudah kedua yang bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat.

Dalam sebuah situs terverifikasi, jenis kontak berupa email, alamat kantor, hingga nomor telepon biasa tercantum.

Singkat kata, situs yang menutupi identitasnya, apa pun kontennya, patut dicurigai sebagai situs berita palsu atau situs penipuan.

Kalau tidak ada kontaknya yang mau bertanggung jawab siapa?

Cara mengindentifikasi sebuah situs bisa lebih jelas lagi dengan mengecek di situs whois.

Layanan whois akan menjabarkan secara rinci semua informasi mengenai pembuatan situs.

Dari hasil penelusuran cnnindonesia.com di whois, situs postmetro.co, yang kerap dicurigai menyebarkan berita palsu, tak menampilkan identitas apa pun mengenai situsnya mulai dari nama pemilik situs maupun organisasi yang menaunginya.

Kalau tidak ada niat sesuatu, buat apa ditutupin lah.

Cara terakhir yaitu menggunakan layanan web referensi yang berlaku sebagai pihak ketiga penilai kredibilitas suatu website.

Metode  ini cenderung lebih praktis membedah konten situs

Perdebatan  tentang tata cara mengenali situs “palsu” ini  mengemuka bersamaan makin maraknya  berita hoax yang meresahkan.

Sebut saja judul berita yang  kerap dipakai sebagai jendela untuk mengintip keseluruhan tulisan.

Namun tak jarang hal itu dimanfaatkan para penyebar berita palsu dengan mendistorsi judul yang provokatif meski sama sekali tak relevan dengan isi berita.

Disarankan pembaca untuk mengecek sumber berita lain agar informasi yang diterima bukan hasil rekayasa.

Dianjurkan pula pembaca untuk tidak menelan mentah-mentah ucapan seorang narasumber yang dikutip oleh situs berita.

Kolumnis Hannah Jane Parkinson di The Guardian pada pertengahan bulan lalu mengkritik Facebook dan Twitter yang cenderung menghindar dari tanggung jawab sebagai medium informasi yang berpengaruh kepada khalayaknya.

Ia menilai media sosial seperti keduanya lamban dan cenderung abai terhadap persoalan yang muncul akibat minimnya pencegahan berita palsu.

Seperti yang diketahui, CEO Facebook Mark Zuckerberg bersikeras dalam beberapa kesempatan bahwa peredaran berita palsu yang hanya satu persen dari seluruh konten di jejaring sosial itu tak mungkin berdampak ke masyarakat.

“Secara pribadi, saya rasa dugaan bahwa berita palsu -yang jumlahnya sedikit sekali- mempengaruhi hasil pemilu itu cukup gila,” ucap

Kekhawatiran penyebaran berita palsu tak lagi jadi persoalan AS, namun juga di seluruh dunia. Uni Eropa pun baru-baru ini mendesak perusahaan raksasa teknologi macam Facebook, Twitter, dan Google, untuk mempercepat mencari solusi atas permasalahan ini.

Twitter dan media sosial lainnya bukan tanpa usaha. Twitter misalnya telah merilis fitur untuk ‘membungkam’ tweet dari akun-akun yang tidak diinginkan. Meski ditujukan untuk mencegah aksi perisakan, fitur ini dapat dimanfaatkan untuk menangkal agresivitas akun penebar informasi palsu.

Hal serupa juga telah dilakukan media sosial lain. Instagram punya fitur pembungkam akun-akun tertentu yang mirip dengan Twiitter tadi.

Sedangkan, Facebook masih berupaya keras memperbaiki algoritma mereka agar dapat membedakan mana berita palsu dan mana yang asli.

 

Exit mobile version