Site icon nuga.co

Instagram Buruk bagi Kesehatan Jiwa?

Kabar buruk datang untuk para “penggila” Instagram.

Kabar itu berasal dari survei  yang dilakukan oleh The Royal Society for Public Health yang menyimpulkan bahwa Instagram tergolong media sosial yang berdampak buruk untuk kesehatan jiwa

Survey tersebut menitikberatkan pada efek media sosial terhadap citra diri remaja.

Hasilnya menyebutkan bahwa Instagram punya pengaruh besar pada citra remaja mengenai bentuk tubuhnya, waktu tidur, hingga memicu kecemasan sosial atau disebut juga sebagai fear of missing out

Namun selain nilai buruk tersebut, Instagram juga dianggap memberi efek baik.

Kebaikan yang dimaksud adalah soal membantu remaja mengekspresikan diri serta menemukan identitas dirinya.

Survei Status of Mind melibatkan ribuan remaja.

Para responden tersebut diminta untuk menilai media sosial yang mereka gunakan dan efeknya terhadap beberapa isu, antara lain soal kecemasan, kesepian, serta pembentukan komunitas.

Dalam hal ini, YouTube, Twitter, Facebook dan Snapchat mendapatkan nilai yang lebih positif.

“Platform media sosial itu mestinya membantu remaja saling terhubung satu sama lain, tapi juga berpotensi memicu terjadi gangguan atau krisis kejiwaan,” tulis laporan yang dibuat oleh The Royal Society for Public Health itu.

Tidak hanya Instagram yang dicap sebagai pengganggu kejiwaan, Facebook juga dituduh sebagai biang yang membuat para remaja galau.

Namanya remaja, sekali waktu pasti pernah galau.

Ada kalanya juga menumpahkan perasaan di media sosial. Fenomena wajar ini belakangan diduga sengaja disasar oleh Facebook, sang pemilik jejaring sosial terbesar, untuk kepentingan pengiklan.

Dugaan tersebut muncul dari bocoran dokumen internal Facebook di Australia yang isinya dilaporkan oleh media di Benua Kangguru itu.

Dokumen menyebutkan bahwa Facebook menggunakan tool untuk memonitor posting kalangan pengguna mudanya, mulai umur empat belas tahun hingga dua puluhan, saat sedang merasa “stres”, “gelisah”, atau “gagal”.

Dari sini bisa diperoleh sejumlah besar data untuk menganalisis sentimen para pengguna terkait, termasuk kapan saja mereka merasa senang, sedih, dan lain-lain.

“Senin hingga Kamis adalah waktu membangun kepercayaan diri; akhir pekan itu waktunya untuk menyebarkan pencapaian,” sebut penggalan kalimat dalam dokumen bocoran dari sebuah riset tersebut, sebagaimana ditulis laman News.com.au.

Data “sentiment analysis” tadi kemudian bisa digunakan oleh pengiklan untuk menyasar para pengguna muda di Facebook saat mereka sedang galau dan butuh dukungan.

Facebook membantah tudingan pihaknya sengaja mengeksploitasi kegalauan pengguna muda.

Tapi jejaring sosial itu kemudian meminta maaf dan berjanji akan melakukan investigasi terhadap permasalahan terkait, yang diduga melanggar kebijakan Facebook sendiri soal riset pengguna.

Facebook mengakui bahwa riset tersebut benar-benar ada, tapi fungsinya bukan seperti yang dituduhkan.

“Tujuannya untuk membantu para pemasar untuk mengerti cara pengguna mengekspresikan diri di Facebook,” sebut perusahaan pimpinan Mark Zuckerberg ini.

Sebelumnya, lima tahun silam, Facebook pernah menuai kemarahan lantaran “memainkan” perasaan pengguna.

Sebanyak tujuh ratus ribu pengguna dijadikan subjek penelitian tanpa sepengetahuan mereka.

Ketika itu, sebuah algoritma khusus digunakan untuk hanya menampilkan posting bernada positif atau negatif di lini masa pengguna.

Tujuannya untuk mengetahui apakah mood seseorang bisa dipengaruhi, misalnya apakah menjadi makin sedih kalau banyak melihat posting negatif.

Exit mobile version