Site icon nuga.co

Bumi Makin Terang, dan Apa Dampaknya

Bumi makin terang.

Ya, itulah kesimpulan para ilmuwan terhadap cahaya yang menyelimuti Bumi selama tshun-tshun terakhir ini.

Seperti juga observasi satelit yang dilakukan peneliti selama Oktober lima tahun berturut-turut menunjukkan saat malam hari, wilayah Bumi yang terang kian meluas.

Terangnya dunia pada malam hari ini menunjukkan dunia makin diterangi dengan lampu.

Pengamatan satelit menunjukkan pertumbuhan terang dunia pada malam hari meningkat dua persen dalam setahun selama lima tahun terakhir

Terangnya dunia itu memang menunjukkan tren positif, paling tidak listrik kini makin meluas di berbagai belahan dunia.

Area pedalaman kini telah terjangkau listrik dan bisa bercahaya pada malam hari. Dengan demikian, berarti penggunaan listrik kini makin meningkat.

Namun, dikutip The Guardian, beberapa hari lalu, terangnya dunia itu menyimpan sisi negatif, yakni meningkatnya polusi cahaya dan mengacaukan ekosistem dunia.

“Sejujurnya, saya sudah berpikir dan berasumsi dengan adanya lampu LED, kita mengatasi kesulitan besar. Ada banyak kesadaran soal polusi udara, tapi ini sangat mengecewakan,” kata penulis utama studi, Christopher Kyba.

Peneliti studi pengamatan ini mengatakan, meluasnya cahaya lampu di Bumi berdampak signifikan pada kehidupan biologis.

Studi yang diterbitkan di jurnal Science Advances menunjukkan, lonjakan cahaya tersebut membuat tidur manusia terganggu dan akhirnya memengaruhi kesehatan orang.

Meluasnya cahaya lampu di Bumi juga mengganggu migrasi dan reproduksi burung, ikan, amfibi, serangga dan kelelawar.

Bagi tanaman, polusi cahaya lampu yang meluas itu akan membuat periode pertumbuhan menjadi tak normal. Sisi negatif lainnya, manusia menjadi susah melihat penampakan bintang dan Bima Sakti, akibat polusi cahaya.

“Banyak orang menggunakan cahaya pada malam hari tanpa benar-benar memikirkan dampaknya. Bukan hanya dampak pada biaya ekonomi tapi juga harga yang harus dibayar dalam perspektif lingkungan dan ekologis,” jelas penulis studi lainnya, Franz Holker dari Institut ekologi air tawar dan perikanan darat Leibniz, Jerman.

Peneliti studi tersebut menyarankan warga agar menghindari penggunaan lampu yang mencolok, yakni lampu berwarna kuning dan LED putih. Selain itu, pengguna disarankan efisien menggunakan lampu misalnya untuk lokasi parkir dan jalan kota.

Peneliti juga merekomendasikan warga untuk menggunakan lampu jarak dekat, lampu redup yang dipandang lebih memberikan visibilitas lebih baik dari lampu terang yang menyebar di mana-mana

Kassus ini oleh para peneliti disebut sebagai “hilangnya malam”.

Mereka juga berkata bahwa di beberapa negara, hal ini memiliki konsekuensi negatif untuk semua makhluk hidup.

Temuan yang juga  dipublikasikan dalam jurnal Science Advance ini juga mencatatkan perubahan kecerahan dari waktu ke waktu sangat bervariasi menurut negaranya.

Misalnya saja beberapa “negara terang”, seperti Amerika Serikat dan Spanyol, tidak terlihat perubahan.

Sementara itu, sebagian besar negara di Amerika Selatan, Afrika, dan Asia tumbuh lebih cerah. Ada pula negara yang mengalami penurunan kecerahan seperti Yaman dan Suriah yang saat ini menghadapi perang.

Cahaya terang sepanjang malam memang terlihat sangat indah, tetapi ada konsekuensi yang tidak diinginkan bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Pada tahun lalu,  American Medical Association secara resmi mengakui dampak berbahaya dari desain buruk pencahanyaan LED intensitas tinggi.

Mereka menyarankan untuk “meminimalkan dan mengendalikan pencahayaan biru lingkungan dengan menggunakan sinar biru terendah yang mungkin untuk mengurangi silau. Melatonin, zat yang merangsang tidur, sangat sensitif terhadap cahaya biru.”

Tak hanya itu, sebuah studi yang baru-baru ini dipublikasikan dalam jurnal Nature juga mengungkapkan bahwa cahaya buatan merupakan ancaman bagi penyerbukan tanaman.

Hal ini dikhawatirkan akan mengurangi aktivitas penyerbukan oleh serangga nokturnal (aktif di malam hari).

Ditambah lagi, penelitian di Inggris mengungkapkan bahwa pepohonan di daerah yang lebih terang menumbuhkan tunas mereka seminggu lebih awal dibanding daerah yang gelap.

Terakhir, penelitian yang diterbitkan awal tahun ini menemukan bahwa instalasi cahaya perkotaan telah mengubah perilaku burung yang bermigrasi secara nokturnal.

Sayangnya, karena sensor satelit tidak “melihat” cahaya biru yang dapat dilihat manusia, peningkatan kecerahan yang dialami sebenarnya jauh lebih besar daripada yang dapat diukur oleh para peneliti.

“Manusia memaksakan rezim cahaya abnormal pada diri kita sendiri,” ucap Profesor Kevin Gaston dari University of Exeter dikutip dari BBC.

“Anda sekarang berjuang untuk menemukan daerah di bagian Eropa manapun yang memiliki langit malam alami, tanpa langit yang kita semua kenal,” sambungnya.

Dia juga menambahkan bahwa dia penasaran dengan terus meningkatnya polusi cahaya.

“Biasanya, ketika kita memikirkan bagaimana manusia mengacaukan lingkungan, itu adalah hal yang mahal untuk diperbaiki atau dikembalikan,” ungkapnya.

“Untuk cahaya, yang perlu dilakukan hanya mengarahkannya ke tempat yang perlu kita terangi, dan tidak membuangnya ke tempat yang lain,” tutupnya.

Exit mobile version