Site icon nuga.co

Berani “Persetankan” Gorengan Usai Puasa

Puasa telah usai. Lebaran juga telah berlalu. Lantas Anda kembali ke makanan semula?

Sebut saja gorengan. Ya, gorengan. Dan itu berarti mengonsumsi lemak.

Lemak? Yang pasti kolesterol.

Dan apakah Anda berani mengatakan, persetan dengan gorengan?

Nah, lemak memang perlu, tapi gorengan tidak.

Sebab lemak meski cenderung dihindari, sebenarnya mengandung nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Hanya saja, perlu dikenali apakah lemak tersebut golongan yang baik atau yang jahat untuk tubuh.

Lemak baik seperti pufa atau emak tak jenuh ikatan ganda, atau lemak esensial bisa menjadi lemak jenuh atau safa yang dikenal dengan lemak jahat.

Asupan pufa bisa dibutuhkan tubuh untuk pembentukan sel.

Namun, lemak baik ini bisa menjadi jahat jika cara memasaknya keliru, yakni dipanaskan dengan suhu tinggi.

Maka diperlukan npengetahuan tentang cara masak yang bisa mengurangi komposisi asupan pufa dan menambah asupan safa.

Manfaat pufa hilang saat makanan digoreng. Sebaiknya kukus atau rebus makanan agar tidak menambah komposisi safa dalam makanan.

Hasil survei yang mengambil sampel etnis Minangkabau, Jawa, Sunda, dan Bugis bahwa komposisi asupan lemak dari pola makan mereka sudah seimbang.

Hanya saja, survei yang dilakukan terhadap perempuan di atas 18 tahun ini menunjukkan bahwa asupan pufa masih kurang optimal.

Makanan mengandung lemak esensial yang paling sering dikonsumsi empat etnis ini adalah tempe, tahu, ikan, dan telur. Sedangkan kacang-kacangan serta buah dan sayuran yang mengandung pufa masih minim jumlah konsumsinya.

Kurangnya asupan pufa menggambarkan kurangnya asam lemak esensial. Hal ini merupakan faktor risiko terhadap penyakit kardiovaskular, seperti penyakit jantung koroner, stroke, hiperkolesterol, dan hipertensi.

Berdasarkan statistik, sekitar tujuh belas setengah juta orang per tahun meninggal akibat penyakit yang menyerang jantung dan pembuluh darah.

Organisasi Kesehatan Dunia bahkan menyatakan penyakit kronis seperti penyakit jantung menjadi penyebab utama kematian di dunia.

Tingginya angka statistik tersebut memang ada penyebabnya. Peluang untuk terkena penyakit jantung koroner bisa dari berbagai sudut, baik yang tidak bisa dihindari, seperti faktor genetik, hingga yang faktor risiko yang masih dikendalikan, misalnya merokok dan pola makan.

Apa boleh buat, urusan kesehatan memang selalu bersaing dengan lidah. Makanan tinggi gula, garam, kurang serat, dan lemak jenuh yang berlebihan bisa jadi pintu masuk gangguan jantung dan pembuluh darah.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika terhadap puluhan ribu responden disebutkan, risiko stroke empat puluh empat persen lebih tinggi pada mereka yang hobi menyantap makanan berlemak.

Makanan yang digoreng tak bisa dimungkiri masih menjadi makanan favorit masyarakat di Tanah Air. Karena itu, menurut Fiastuti, peningkatan kesadaran makanan sehat perlu ditingkatkan.

Meningkatkan asupan makanan berserat dan mengurangi makanan yang mengandung minyak dan lemak bisa menjadi satu langkah untuk mendapatkan jantung yang sehat.

Teknologi inovatif itu juga memungkinkan makanan bisa digoreng hingga suhu mencapai dua ratus derajat celsius meski tanpa minyak. Dengan alat ini, kandungan lemak dalam makanan bisa dikurangi hingga delapan p[uluh persen tanpa mengurangi kerenyahan khas gorengan.

Exit mobile version