Site icon nuga.co

Awas, Alergi Bisa Undang Penyakit Jiwa

Anda sering mengalami gangguan alergi?

Merasa terganggu?

Depresi?

Nah hati-hati. Gejala ini bisa mendatang penyakit jiwa.

Beberapa penelitian mengaitkan alergi dengan depresi dan kemudian menyimpulkannya adanya tekanan kejiwaan disana.

Ujungnya bisa gila.

Penderita alergi dapat memiliki risiko empat kali lebih besar mengembangkan depresi berat, berdasarkan studi terbaru.

Salah satu penelitian menunjukkan bahwa depresi yang tidak disadari dan disertai kecemasan ini sering dipicu oleh pengaruh alergi makanan dan hipersensitifitas makanan.

Sebuah studi menunjukkan bahwa dua puluh persen dari anak-anak yang memiliki orangtua yang menderita depresi, juga akan mengalami depresi.

Jika kedua orangtuanya mengalami depresi, maka risiko akan meningkat menjadi sekitar tujuh puluh lima persen.

Hal ini bisa saja terjadi bila dengan gangguan alergi.

Penderita alergi diturunkan pada anaknya.

Bila depresi ini diturunkan sangat mungkin penurunnya berkaitan dengan diturunkannya gangguan alergi pada anak.

Hal ini terjadi karena bila depresi dan kecemasan tersebut dikaitkan dengan alergi, faktor alergi ini diturunkan terutama bila berwajah sama.

Bila ingin memastikan bahwa gangguan depresi atau kecemasan tersebut berhubungan dengan alergi atau hipersensitifitas makan sebaiknya amati berbagai tanda dan gejala alergi yang ada khususnya gangguan saluran cerna.

Tidak hanya hidung berair dan mata gatal yang memicu depresi tersebut.

Para ilmuwan berpikir, peradangan pada pembuluh darah dan jaringan di tubuh, disebabkan oleh reaksi alergi terhadap serbuk sari, memiliki efek jangka panjang yang berbahaya bagi otak.

Respons inflamasi, hasil dari gejala khas alergi, misalnya bersin, adalah cara tubuh yang mencoba menyingkirkan pemicu alergi, salah satunya serbuk sari.

Namun, menurut sejumlah bukti, paparan berkelanjutan peradangan tingkat rendah selama beberapa bulan, misalnya di musim alergi, memiiliki efek kejiwaan serius di kemudian hari.

Sekitar sepuluh juta orang per tahun di Inggris menderita selama alergi musim semi, yang puncaknya terjadi selama akhir musim semi dan musim panas.

Di negara empat musim, kehadiran musim semi sangat dinantikan setelah cuaca yang tidak bersahabat selama musim dingin.

Namun untuk beberapa orang, musim semi dapat menyebabkan alergi musim semi. Alergi ini biasa disebut hay fever.

Hay fever adalah gangguan sistem kekebalan tubuh yang ditandai dengan respons alergik terhadap serbuk bungan atau lainnya. Disebut juga sebagai rinitis alergi.

Para ilmuwan meneliti apakah peradangan akibat hay fever dapat memicu depresi, gangguan bipolar, dan skizofrenia.

Dalam studi terbaru, para peneliti di National Yang-Ming University of Taiwan meneliti sepuluh ribu remaja yang terserang hay fever dan tiga puluh ribu lainnya yang tidak.

Mereka memantau kedua kelompok tersebut selama hampir satu dekade, dan merekam berapa banyak orang yang didiagnosis gangguan bipolar, periode mania di mana seseorang tampak sangat bersemangat, tidak mampu berkonsentrasi atau tidur, yang diikuti oleh depresi berat.

Hasilnya, dalam Journal of Psychosomatic Research dilaporkan, remaja yang menderita hay fever empat kali lebih mungkin terdiagnosis mengalami bipolar saat dewasa.

Empat tahun sebelumnya, sebuah studi di Denmark, menemukan bahwa orang-orang yang mengidap alergi seperti hay fever memiliki risiko bunuh diri tiga puluh persen lebih tinggi dari mereka yang bebas alergi.

Peneliti dari Aarhus University menemukan jawaban tersebut setelah membandingkan tingkat alergi di antara korban yang melakukan upaya bunuh diri dengan kelompok orang yang sehat.

Namun, bagaimana kondisi seperti pilek dapat menyebabkan penyakit mental?

Meski tidak sepenuhnya yakin, diketahui ketika reaksi alergi, otak mengeluarkan zat yang disebut sitokin pro-inflammatory cytokines.

Zat ini adalah protein yang memicu peradangan dan pelepasan bahan kimia di darah yang membuang benda asing seperti serbuk sari.

Peradangan terjadi untuk memperingatkan sistem kekebalan bahwa tubuh sedang diserang. Biasanya ketika ancaman hilang, jaringan yang meradang akan berangsur sembuh. Namun, masalah timbul ketika peradangan tidak teredam.

Penelitian terbaru di Australia mengatakan, sitokin dapat menyebabkan berkurangnya tingkat serotonin di otak, zat yang menimbulkan kebahagiaan. Dan rendahnya tingkat serotonin tersebut dapat menyebabkan depresi.

Para ilmuwan mengatakan, ini dapat menjadi pentunjuk bagaimana alergi dapat mengarah pada penyakit jiwa.

Exit mobile version