Site icon nuga.co

Antibiotik Paling “Cespleng” dari Kecoa?

Calon  antibiotik terbaru, seperti dikemukakan  Profesor Naveed Khad, Head of Biological Science dari Universitas Sunway Malaysia,  kemungkinan berasal dari tubuh kecoa.

Dari kecoa?

“Ya, ujar sang peneliti tentang antibiotok yang berasal dari binatang yang dianggap menjijikkan oleh manusia ini.

Dan  ternyata kecoa  memiliki mekanisme pertahanan tubuh yang ampuh.

Munculnya alternative antibiotic dari tubuh kecoa berasal dari makin tidak ampuh  obat-obatan saat ini  melawan baktteri.

Para ilmuwan terus berupaya mencari antibiotik baru yang dapat mengalahkan bakteri super tersebut.

Naveed Khad berhasil menemukan bahwa sistem saraf pusat kecoa menghasilkan antibiotik dengan daya kerja sangat kuat.

“Kecoa hidup dalam lingkungan yang sangat menjijikkan sepanjang pengetahuan manusia.”

“ Sangat masuk akal jika mereka mempunyai mekanisme pertahanan tubuh yang ampuh terhadap kuman-kuman ganas,” kata Khad

Ia mengatakan, kecoa merupakan salah satu binatang yang sudah ada sejak tiga ratus  juta tahun yang lalu, bertahan hidup melalui berbagai bencana dan paparan radiasi yang kuat, serta lingkungan tempat tinggal yang kotor.

“Kita dapat mempelajari banyak hal dari makhluk ini. Saya percaya mereka pasti mempunyai suatu mekanisme pertahanan tubuh yang ampuh”, kata ilmuwan yang mendapat penghargaan medali emas dari Pakistan Academy of Science ini

Dari hasil penelitiannya diketahui antibiotik yang berasal dari sistem saraf pusat kecoa bisa membunuh bakteri mematikan bagi manusia, seperti Methicillin-resistant Staphylococcus Aureus dan Neuropathogenic E. Coli tanpa melukai sel-sel tubuh manusia.

Khan dan tim telah mengembangkan penelitiannya bahkan ke binatang-binatang yang lebih menakutkan seperti buaya.

Ia meyakini kita harus kembali mempelajari hal-hal yang mendasar untuk menemukan jawaban-jawaban baru terhadap masalah-masalah lama atau bahkan untuk isu-isu yang sedang berkembang.

Perlu ditegaskan, antibiotik adalah obat untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri.

Ketika sudah resisten, maka bakteri penyebab penyakit tak lagi ampuh dilawan menggunakan antibiotik.

Banyak faktor yang menyebabkan resistensi antibiotic karena diresepkan tidak tepat.

Artinya, dokter memberikan resep antibiotik kepada pasien yang sebenarnya tidak membutuhkan antibiotik.

Misalnya, memberikan antibiotik pada anak-anak yang sakit flu dan batuk.

Padahal, kedua penyakit tersebut umumnya disebabkan oleh virus sehingga tak perlu antibiotik.

Selain itu, sejumlah kebiasaan masyarakat di Indonesia meyimpan antibiotik di rumah.

Akibatnya, antibiotik digunakan sesuka hati saat sakit tanpa resep dokter. Antibiotik juga dijual bebas di apotek atau toko obat.

Kebiasaan menggunakan antibiotik secara berlebihan ini lama-kelamaan membuat bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik.

Ketika diresepkan antibiotik oleh dokter, pasien harus mematuhi aturan pakainya. Jika diminta menghabiskan antibiotik selama lima hari, maka minumlah selama lima hari.

Kebanyakan pasien berhenti minum antibiotik ketika sudah merasa sakitnya membaik.

Padahal, saat berhenti minum obat antibiotik, bisa saja masih ada sisa bakteri penyebab penyakit. Bakteri kemudian kembali berkembang biak dan berubah menjadi resisten terhadap antibiotik.

Jika antibiotik tidak dihabiskan, pasien juga tidak bisa kembali menggunaan antibiotik sisa maupun antibiotik yang diresepkan untuk orang lain.

Masalah lainnya, yaitu ketika antibiotik juga digunakan untuk hewan ternak.

Penyuntikan antibiotik pada hewan ternak dilakukan dengan alasan untuk mempercepat pertumbuhan ternak dan mencegah hewan tersebut sakit.

Seharusnya, pemakaian antibiotik hanya untuk mengobati penyakit infeksi bakteri pada hewan di bawah pengawasan dokter hewan.

Pemakaian antibiotik yang berlebihan pada hewan maupun sektor pertanian ini juga bisa menyebabkan terjadinya resistensi antibiotik.

Jika manusia tertular bakteri yang telah resisten, maka infeksi akibat bakteri tersebut tidak bisa dilawan dengan antibiotik.

Exit mobile version