Site icon nuga.co

Tsunami di Gang Buntu

Ada lima rumah di gang buntu itu. Gang buntu yang saya tak tahu kenapa ia dinamai jalan bukan gang. Sebab, setahu saya jalan model begini lazim di label dengan “gang.”

Anda tahu dengan gang buntu, kan? Ya…. Gang yang mentok ujungnya. Tak ada persambungannya. Persambungan ke jalan lain.

Lebarnya jalan itu, kalau Anda masih berkenan menyebutnya jalan…bukan gang,,,,cuma tiga meteran dengan panjang delapan puluh meter kalau di ukur dari jalan utama, jalan tengku di blang.

Sejak beli tanah, bikin rumah dan jadi penghuninya, seingat saya, gang itu sudah dinamai dengan jalan. Jalan antara.” Jalan antara yang sempit dan buntu.

Anda jangan berprasangka sepele dengan jalan itu ketika saya menuliskannya.

Jalan itu secara news layak untuk ditulis. Karena ia merupakan jalan penting. Jalan penting di gampong saya. Jalan di perbatasan dua gampong.

Perbatasan gampong yang pernah mengundang konflik antar dua gampong. Konflik dalam bentuk dakwa dakwi.

Muasal dakwa-dakwi-nya patok batas. Patok batas yang bisa berbuntut prang. Prang kata-kata. Prang bisa menjadi massal kalau masalahnya di bawaj ke ranah emosi. Masalahnya eksistensi wilayah.

Eksistensi wilayah di gampong saya konflik patok batas jangan disepelekan. Dan patok batas ini menyangkut kepemilikan jalan itu. Jalan perbatasan. Jalan antara.

Anda nggak perlu saya kasih wejangan tentang silang sengkarut watas. Entah itu watas tanah pribadi, watas erte, watas gampong, watas kecamatan, kabupaten, provinsi hingga negara. Ruwetlah.

Seruwet perang rusia versus ukraina. Menyangkut kepemilikan wilayah. Yang dulu juga pernah dialami negara ini tentang kepemilikan timur leste, Rebut irian jaya.

Atau pun klaim sabah-serawak ketika era ganyang malaysia. Sabah-serawak yang diberi nama kalimantan utara. Yang wilayahnya  memang di bagian utara pulau kalimantan.

Di era sekarang kalimantan utara sudah menjelma jadi provinsi. Di garis batas sabah-serawak yang milik federasi malaysia.

Tidak hanya negara punya masalah batas dan klaim tanah ini. Provinsi saya juga pernah mengklaim langkat dan tanah karo miliknya.

Syukurlah ruwetnya watas jalan antara ini hanya melibatkan dua gampong. Di timur ada gampong lamdingin. Baratnya gampong lampulo. Sering disapa dengan lampulo baru.

Lampulo  dan lamdingin di utara kota banda aceh. Yang bisa didatangi dari arah penayong lewat gampong mulia.

Atau pun dari simpang jambo tape melewati jalan syiah kuala terus lurus atau berbelok ke jalan tengku di blang. Yang ada kantor polsek kuta alam-nya.

Sengkarut watas ini tak bisa selesai dengan deuk pakat. Buntu. Sebuntu gang itu sendiri. Naik lagi ketingkat musyawarah kecamatan. Juga buntu, Baru dilevel kota ia clear.

Keputusannya: jalan antara itu milik gampong lam dingin. Milik gampong untuk diproyekkan. Proyek aspal dan bikin parit. Ya … proyek gampong dari dana desa. Oo.. alah. Atau dana otsus. Entahlah….

Di jalan antara itu, ketika di awal sengketa watas, terdapat lima bangunan rumah. Dengan lima keluarga penghuni.

Sisi timurnya  dua rumah. Statusnya gampong lam dingin. Di sisi barat dua rumah masuk lampulo.

Sedang satu rumah lainnya di ujung jalan dalam bentuk tusuk sate menggenapi jumlah lima rumah dihakikahkan ke gampong lamding sebagai kesepakatan.

Karena gang buntu… eheheh… jalan buntu…. kelima pemilik sekaligus keluarga penghuninya menjalin keharmonisan bertetangga yang tidak sebuntu jalannya. Tetangga melebih kebersamaan sebuahi trah.

Tetangga yang tak peduli beda gampong. Yang katepe dan kartu keluarganya juga ikut beda. Beda pula masjid hingga beda meunasah dan kauri maulid.

Yang terkadang beda jumlah rakaat tarawih dan doa qunutnya.

Tetanggaan jalan antara itu sangat heterogen dari akar muasal penghuninya. Heterogen secara horizontal dan tak  pernah jadi vertikal. Horisontalnya bak awan indah di pucuk langit. Damai….

Heterogenitas itu sendiri berpilin dari garis muasal. Ada gayo, jawa, aceh benaran, jamee, leplap dan nagan jeram. Banyaknya garis muasal ini melebihi jumlah rumah yang ada.

Ketetanggaan di jalan antara itu sudah menjebol batas saudara dan bertaut dalam satu kata: keluarga. Keluarga tanpa memerlukan akad atau pun ikrar.

Ketetanggaan inilah yang menjadi warna di pagi itu. Pagi minggu. Hari dua puluh enam penanggalan bulan desember tahun dua ribu empat. Delapan belas tahun lalu.

Delapan belas tahun yang meninggalkan duka tanpa luka. Duka kehilangan keindahan keluarga. Keindahan pagi yang tak pernah mengelupas di pucuk akar serabut kami yang tersisa.

Keindahan milik kamarullah, mahdi abdullah, maimun, herwani dan buk zul. Juga milik si tari, si liza, si opi, si opan, si ayi dan si fikri.

Keindahan ya masa allah sebagai anugerah…..subhanallah…. Anugerah hari-hari yang mereka jalani hingga sekarang dan kedepan.

Keindahan yang menjadi tetak memori kami. Memori kami ketika melangkah masuk usia manula. Memori anak-anak kami yang kini berkutat membangun kehidupan sebagai keluarga.

Juga keindahan yang di bawa buk rosa, buk odah, bundi dan aisyah ke langit surga ketika janji kematian menjemput mereka di gelombang dahsyat gempa megathrust berskala sembilan koma sembilan richter.

Keindahan yang menerbangkan arwah sila tazkia, latifah dan dila kepangkuan illahi dengan janji keindahan surgawi.

Gempa tektonik di pagi minggu itu melongsor perut lautan hindia dan menghadirkan gelombang laut yang kecepatannya bak jet tempur dan meluluhlantakkan keluarga jalan antara.

Ya.. pagi di hari minggu itu, delapan belas tahun lalu. Hari tak pernah terlupakan. Hari ketika kami berada di pojok jalan buntu itu. Gang buntu itu.

Gantu yang penuh dengan koor tak beraturan…Allahu akbar…Allahu akbar….Allah akbar…Allah maha besar….

Lantunan koor ketika bumi di ayak. Koor yang pemujaaan kebesaran tuhan. Koor yang menyatukan kami dengan lamat doa.

Lamat doa yang kami tidak tahu dan tak paham tentang kehendak tuhan ketika pekikan air …air… dan manusia berlarian di mulut gang.  Yang kami tahu, kemudiannya… air dan air itu adalah tsunami.

Tsunami yang membuat kami tercerai berai. Tercerai berai ketika saya menstarter mobil dan mengisi penumpang bernama herwani, bundi, fikri, upi, opan, sika dan taskia.

Mobil panther yang terjebak di mulut jalan antara ketika gelombang itu menerjang yang membuat kami terpisah. Terpisah dan dipisahkan oleh takdir. Takdir kehidupan dan maut.

Takdir ketika saya bisa berkumpul dengan anak dan istri. Takdir yang menyebabkan si opan terdampar di sebuah masjid dan menjadi anak pungut seorang perempuan lembut hati. Yang ia jalani selama tiga bulan.

Takdir juga yang menjadikan si opi diasuh seorang tetangga untuk yang dalam hitungan hari kembali kepelukan sang ayah yang tersangkut di medan pada hari tsunami dalam perjalanan pulangnya dari Jakarta.

Entahlah juga …ketika si bundi, sila dan tazkia menemukan janji kepastiannya untuk “pulang.”

Di hari itu saya tak tahu bagaimana pak kamarullah bergulat menyelamat dua malaikat kecilnya: tari dan liza yang terperangkap di rumahnya.

Saya juga tak tahu bagaimana pak zul berdamai dengan gelombang hingga mengutuhkan jumlah keluarga.

Begitu juga dengan maimun yang selamat untuk kemudiannya datang berbalut kaki dan mendekap opan kepelukannya kembali sebagai obat atas kepergian buk odah, dila dan latifah.

Gempa dan tsunami di hari minggu datang dengan menyisakan banyak tanya. Tanya yang tak seluruhnya bisa dijawab dengan keilmuan. Tanya yang nggak akan terungkap karena ia milik Allah.

Tanya kenapa ia datang di pagi minggu. Di tanggal dua puluh enam desember. Di tahun dua ribu empat. Di aceh yang melebar ke srilangka  hingga teluk siam.

Bukan tanya tentang besaran gempa dan guncangannya. Bukan juga akibat longsoran dasar laut yang menghembuskan gelombang raksasa bernama tsunami. Yang seluruh jawabannya telah menjadi telaah.

Ya… semuanya telah terjadi. Terjadi atas kehendak Nya.

Kehendaknya juga ketika hari-hari ini saya mengenang kembali dila yang datang ke rumah saya membawa piring kecil dengan riang. Keriangannya Langkah oleng bersandal terbalik. Sibuk dengan cah ceh cohnya.

Cah ceh yang dipelototi sang kakak, latifah, dari balik jeruji pagar. Pelotot yang tak menganggu keriangannya

Nah, saya mengenang buk rosa. Buk rosa yang saya nggak tahu berapa nilai ipekanya. Yang menamatkan strata tiga kesarjanaannya di negeri paman sam. Yang anak seorang dosen senior di sebuah kampus prestise.

Yang saya tak tahu juga bagaimana seorang pak mahdi bisa menyuntingnya.

Menyunting buk rosa dari tanah seberang yang kemudiannya menjadi dosen di unsyiah. Buk rosa yang sangat..sangat.. sederhana. Yang menggendong tazkia dan menuntun sila ke pasar peunayong.

Atau pun menggabung dua pekerjaan, mengasuh anak dan mengasuh mahasiswa, dalam sekali ayunan langkah.

Saya tak tahu kegalauan pak mahdi kala kehilangan seorang buk rosa yang berjirat disepetak tanah di halaman rumah tetirahnya. Kegalauan yang hari saya menulis telah berumur delapan belas tahun.

Tak tahu juga apa makna dari ”say hello” dengan sunggingan senyumnya kala menikung di sudut pagar rumah saya  dengan motor hondanya.

Saya tak pantas untuk menuliskannya… maaf…

Maaf juga dengan pak kamarullah dan maimun yang telah membuka lembaran baru kehidupan. Kehidupan yang menjadi milik mereka.

Milik si liza yang di setiap pagi hari kedua puluh enam desember memacu motornya ke lambaro untuk menjenguk pusara massal. Pusara massal yang ia yakini disanalah buk aisyah berjirat.

Si liza yang kini sudah menjadi seorang remaja. Remaja yang belum mendapat jawaban bagaimana pergulatan sang ibu pergi ke……

Juga milik si opan. Yang dihari kepergian buk odah masih balita. Balita yang kini tumbuh menjadi anak muda. Anak muda dengan perasaan campur aduk ketika mengenang hari duka itu.

Hari duka si opi yang telah menjadi seorang dokter. Yang kemudiannya menyunting seorang wanita tambatan hatinya. Si opi yang masih seperti dulu. Hemat bicara dan santum menyapa.

Saya sedikit lebih beruntung dari tiga tetangga saya itu. Masih utuh sebagai keluarga. Hingga mengantarkan si fikri menjadi lelaki penuh. Menjadi seorang ayah.

Sama seperti yang dijalani si ayi anak ibuk zul. Yang kini telah melewati hari-harinya dengan kebahagiaan.

Kebahagiaan kami semua. Kebahagiaan lima keluarga. Lima rumah di gang buntu eeee… jalan buntu. Jalan antara. Jalan yang kini makin memanjang ke kanan dan ke kiri. Menikung rumah tusuk sate.

Memanjang dengan tambahan banyak tetangga yang masih menyisakan suasana ketetanggannya seperti dulu. Seperti masa buk rosa, buk odah dan buk aisyah…….

 

Exit mobile version