Site icon nuga.co

PP Migas dan Pertanahan Aceh Macet

“Utang” Jakarta terhadap Aceh bukan hanya penyelesaian polemik lambang daerah dan bendera, tapi masih ada yang lebih krusial. Yaitu peraturan pemerintah tentang pengalihan urusan pertanahan dan pengaturan tentang perizinan serta pembagian hasil minyak dan gas bumi sebagai turunan dari undang-undang Pemerintahan Aceh.

Dua peraturan peraturan pemerintah itu jauh lebih penting dan berdampak besar bagi otonomi Aceh ketimbang pertikaian masalah bendera dan lambang daerah yang bersifat simbolis serta temporer.

Khusus terhadap rancangan peraturan pemerintahan tentang pengalihan urusan pertanahan dan perizinan tambang minyak dan gas bumi, belum ada kesepakatan final yang rinci.

Masalah pertanahan, menurut sebuah sumber, akan diselesaikan secepatnya dengan menghilangkan tumpang tindih kewenangan nantinya mengenai kawasan Leuseur maupun kehutanan.

Dia mengatakan, draft rancangan peraturan pemerintah mengenai masalah urusan pertanahan masih menempatkan kewenangan pusat terhadap hal-hal yang spesifik. Untuk itu dibutuhkan sinkronisasi antara berbagai departemen.

Khusus tentang Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi Aceh, menurut Mendagri Gamawan Fauzi, semakin menemui titik terang. Pembahasan hanya tinggal menetapkan pembagian persentase kewenangan dan bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi Aceh dari pengelolaan migas pada lepas pantas di atas 12 mil laut.

“Ini kan misalnya, masalah migas lewat (lepas pantai) 12 mil. Soal itu kita bersama-sama sudah sepakati. Sekarang yang jadi masalah, prosentasenya berapa. Apakah 70 persen untuk pemerintah pusat dan 30 persen untuk pemerintah Aceh, ataukah 80 pusat 20 Aceh,” ujar Gamawan.

Ia mengatakan, keputusan soal persentase itu menjadi wewenang Kementerian Keuangan.

“Kan tunggu keputusan Kemenkeu. Jadi harus di kementerian sendiri, keputusan harus berapa persen,” katanya.

Disampaikannya, pembahasan oleh Tim Bersama Pemerintah Pusat dan Aceh soal RPP Migas sudah selesai. Menurutnya, kedua belah pihak pun masih menunggu keputusan Kemenkeu soal angka tersebut.

Hal senada dikatakan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Kemendagri, Djohermansyah Djohan. Ia mengatakan, pemerintah pusat dan Aceh sepakat untuk mengelola migas pada laut di lepas pantas atas batas 12 mil secara bersamaan.

Pada batas itu, menurutnya, prosentasi bagi hasil adalah 70 persen untuk pemerintah Aceh dan 30 persen pusat. Ia mengatakan, yang belum disepakati adalah prosentasi bagi hasil pengelolaan migas di atas 12 mil lepas pantas.

“Yang di atas 12 mil bagaimana itu nanti bagi hasilnya. Kalau misalnya diterima 12 mil itu pengelolaan bersama, tapi pembagiannya seperti apa kan itu belum ada aturan mainnya. Itu apakah pusat 70, Aceh 30, atau 50 – 50 atau sebaliknya,” jelas birokrat yang akrab disapa Djo itu.

Dia menyampaikan, karena belum tuntasnya pembahasan RPP Migas, tim memutuskan memperpanjang waktu pembahasan hingga 16 November mendatang. Menurutnya, perpanjangan waktu tidak terlalu lama, karena hanya tinggal satu hal krusial yang perlu dibahas dan ditetapkan.

Mengenai masalah peraturan daerah tentang lambang dan bendera, antara Jakarta dengan Aceh masih belum ada kesepahaman final. Pembicaraan masih terus dilanjutkan dan kedua pihak juga sepakat untuk “colling down” hingga Nopember mendatang untuk menemukan solusi.

Friksi lambang dan bendera ini yang telah berlangsung hampir setahun, sulit untuk ditemukan kesamaan pandang karena terdapat jurang yang tak bisa dihubungkan. Pemerintahan pusat tak berani menyetujui atau membatalkan karena akan menimbulkaqn gejolak di masing-masing pihak.

Kalau dibatalkan akan menjadi isu bagi Aceh untuk memantik emosional dan egoism daerah. Kalau disetujui, pemerintah pusat akan menuai hujatan dari para politisi nasionalis yang sejak awal curiga terhadap manuver Aceh yang tetap menyimpan impian “merdeka.”

Pilihannya “simalakama.” Sulit.

Exit mobile version