Site icon nuga.co

Pencipta Spongebob, Hillenburg Tutup Usia

Pencipta salah satu serial animasi paling sukses di dunia, Spongebob Squarepants, Stephen Hillenburg, dikabarkan tutup usia

Kantor berita   AFP menyebut Stephen meninggal setelah berjuang melawan penyakit amyotrophic lateral sclerosis atau dikenal dengan ALS

Sekitar setahun lalu, Stephen memang sudah mengumumkan kondisi kesehatannya ini.

Pada sembilan tahun lalu, Stephen bersama dengan Nickelodeon merilis Spongebob Squarepants yang langsung menarik perhatian banyak orang dari berbagai kalangan usia.

Serial ini tidak hanya sukses di Amerika Serikat, melainkan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Bahkan, Spongebob Squarepants telah dialihbahasakan ke dari 60 bahasa.

Pakar kesehatan menyebut penyakit ALS sebagai gangguan neurologis progresif yang tidak bisa diobati.

Penyakit ini bersifat degeneratif karena membuat sel-sel saraf yang ada di dalam otak serta sumsum tulang belakang yang berpengaruh besar dalam gerakan otot mengalami kerusakan secara bertahap.

Penderitanya pun akan secara perlahan mengalami kelumpuhan. Lambat laun, penderita penyakit ini pun akan terkena kematian.

Sebenarnya, penyakit ALS ini menyerang sel saraf lower motor neuron yang mengendalikan gerakan anggota badan, termasuk gerakan menelan atau mengendalikan sistem pernapasan. Penyakit ini cenderung lebih sering menyerang pria alih-alih wanita, khususnya yang sudah berusia lebih dari empat puluh tahun.

Belum jelas apa penyebab pasti dari ALS. Hanya saja, pakar kesehatan menyebut faktor genetik atau keturunan bisa berpengaruh hingga lima sampai sepuluh persen.

Mereka yang memiliki riwayat keluarga dengan kondisi ini memiliki gen yang sudah mengalami kerusakan sehingga membuat tubuh kesulitan untuk memproduksi superoxide dismutase.

Sebagai informasi, enzim ini berperan besar dalam melawan radikal bebas dan sisa metabolisme yang tidak sehat. Tanpa adanya enzim ini, maka jaringan tubuh bisa mengalami kerusakan.

Beberapa hal lain yang bisa menyebabkan ALS adalah racun yang berasal dari lingkungan atau gangguan pada neurotransmitter glutamate.

Gejala ALS yang patut untuk diwaspadai adalah mulai kesulitan berjalan seperti sering tersandung dan mudah terjatuh, kaki dan tangan yang mulai melemah, sulit untuk menelan, sering mengalami kedutan dan kram otot di lengan, bahu, serta lidah, berbicara tidak jelas atau meracau, hingga kesulitan untuk memegang kepala dan menyeimbangkan tubuh.

Meskipun begitu, penderitanya tetap bisa berpikir dan tidak mengalami gangguan fungsi indera.

Badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat  menyebut satu-satunya obat yang bisa digunakan oleh penderita ALS adalah obat riluzole atau rilutek.

Obat ini bisa menghambat perkembangan penyakit ini dengan cara menurunkan kadar glutamate di dalam otak.

Hanya saja, setelah mengonsumsi obat ini penderita ALS akan mengalami gejala seperti pusing kepala, gangguan pencernaan, dan menurunnya fungsi hati.

Mengingat penyakit ini bersifat degeneratif, maka penderita ALS bisa saja mengalami kesulitan bernapas karena semakin melemahnya fungsi otot.

Jika sampai hal ini terjadi, mau tidak mau mereka harus memakai alat bantu pernapasan. Bahkan, terdapat sebagian pasien ALS yang harus memakai ventilator mekanik atau paru-paru besi.

Selain mengonsumsi obat, penderita ALS juga diminta untuk melakukan terapi fisik, terapi okupasi, dan terapi berbicara.

Terapi fisik dimaksudkan untuk tetap membuat gerakan anggota badan tetap normal.

Dengan melakukannya, diharapkan tubuh penderita ALS tetap bugar dan menjaga kekuatan otot jantung. Gerakan terapi ini juga bisa mencegah munculnya rasa nyeri.

Terapi okupasi dilakukan untuk mengatasi gangguan tangan yang semakin melemah demi mendukung aktivitas sehari-hari penderita ALS.

Sementara itu, terapi bicara ditujukan untuk melatih otot-otot yang berperan dalam membantu penderita ALS tetap bisa berbicara dan berkomunikasi dengan baik.

Exit mobile version