Site icon nuga.co

KLH Tolak Konservasi Rawa Tripa Oleh PT SPS

Kementerian Lingkungan Hidup menolak proposal konservasi yang diajukan oleh PT Surya Panen Subur  atas penghancuran Rawa Tripa seluas 5.000 hektar dan tetap memilih jalur hukum, baik pidana mau pun perdata,  untuk menyelesaikan kasus lingkungan yang sangat pelik itu.

PT Surya Panen Subur yang memiliki hak guna usaha di atas Rawa Tripa, Kecamatan Tripa Makmur, Nagan Raya, Aceh, itu dituduh telah merusak lahan gambut di pesisir barat Serambi Mekah itu dengan cara membakar. Perusakan itu menyebabkan terjadinya malapetaka keseimbangan lingkungan dan tergusurnya habitat orang utan Sumatera.

Kasus kerusakan lingkungan di rawa gambut terbaik dunia itu telah memicu polemik panjang antara pemegang hak guna usaha dengan pemerintah. Masalah kerusakan ini juga menjadikan Stagas RED+ yang dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto bergerak cepat  dengan mengirimkan tim investigasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan ahli tanah dan tanaman dari Institut Pertanian Bogor untuk menghindarkannya penghancurannya secara secara total.

Tim bekerja cepat dan merumuskan dalam kesimpulannya telah terjadi penghancuran lingkungan seperti yang diatur dalam hokum lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup lewat pengacaranya mengajukan gugatan perdata dan pidana kasus ini ke Pengadilan Negeri Meulaboh dan Pengadilan Negeri Jakrta Timur.

Proses hokum di pengadilan, hingga kini, masih berlangsung walau pun ada beberapa materi yang sudah diputuskan dengan memenangkan pemerintah.

Rawa Tripa yang merupakan lahan gambut terbaik di dunia dengan ketinggian mencapai lima meter  semula mencapai luas 62.00 hektar. Kini luas lahan gambut yang tersisa Cuma 9.000 hektar lagi setelah di bagi-bagikan kepada pemilik hak guna usaha untuk penanaman budi daya perkebunan, kelapa sawit.

Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh hak guna usaha itu menyebabkan terjadinya kekeringan dan banjir sepanjang tahun akibat luapan Krueng Tripa. Penduduk di sebelas perkampungan yang berhampiran dengan rawa gambut, yang kini ditanamai dengan kelapa sawit itu,  sangat menderita.

Kepada wartawan di Jakarta,  pihak Surya Panen Subur, mengaku kecewa menyusul penolakan proposal konservasi di lahan Hak Guna Usaha  milik mereka seluas 5.000 hektare oleh Kementerian Lingkungan Hidup.

Kuasa hukum PT SPS, Rivai Kusumanegara mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan langkah dari KLH yang lebih memilih ganti rugi terkait gugatan melanggar hukum atas terbakarnya lahan gambut di Rawa Tripa, Nangroe Aceh Darussalam.

“Kami menyayangkan ditolaknya proposal konservasi hutan rawa bakau (mangrove) dan rawa gambut seluas 5.000 hektare di dalam HGU PT SPS. Padahal, itu bermanfaat nyata bagi kelestarian lingkungan hidup di Rawa Tripa,” kata dia dalam keterangannya, Selasa.

Rivai menjelaskan, proposal setebal 31 lembar dengan bantuan konsultan atau ahli konservasi tersebut, tidak menjadi pertimbangan bijak bagi pihak KLH yang klebih berorientasi pada ganti rugi uang.

PT SPS tetap meyakini bahwa lahan bekas terbakar di area HGU tidak terdapat kerusakan lahan ataupun kerusakan lingkungan. Lahan bekas terbakar itu pun tetap subur. Terbukti dengan tanaman sawit maupun pohon pakis yang tumbuh secara baik. “Kami siap membuktikannya dalam perkara pokok nanti dengan alat bukti yang kuat dan para ahli yang kredibel,” tegasnya.

Rivai menuturkan, dalam persidangan mediasi sebelumnya, pihak PT SPS sendiri telah mengajukan sejumlah jawaban yang dipertanyakan oleh tim kuasa hukum KLH.

Salah satu poin yang disampaikan ialah bahwa lokasi yang akan dikonservasi bukan meliputi lahan kebun yang pernah terbakar, melainkan areal yang disarankan dalam dokumen Amdal PT SPS tahun 2009 dan tidak dibuka menjadi lahan karena gambutnya setebal di atas tiga meter. Sehingga PT SPS menjadikan lahan ini sebagai percontohan konservasi.

PT SPS rencananya akan aktif melakukan konservasi hutan rawa bakau dan gambut, sekalipun masuk dalam kawasan HGU dan tidak akan mengusahakan lahan itu.

“Rencana konservasi ini telah didukung Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Aceh dan Unversitas Syah Kuala Banda Aceh, serta melibatkan penggiat lingkungan hidup dan kelompok masyarakat sekitar. Namun kiranya rencana ini urung terlaksana dengan adanya penolakan dari pihak KLH,” sesalnya.

Sebelumnya, tim kuasa hukum KLH menolak proposal permohonan lahan konservasi yang diajukan PT SPS dan lebih memilih ganti rugi terkait perkara gugatan melanggar hukum atas terbakarnya lahan gambut di Rawa Tripa, Nangroe Aceh Darussalam (NAD).

Hal itu disampaikan dalam persidangan mediasi yang dipimpin hakim mediator Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Sigit Supriyono Senin kemarin. “Sidang masih berjalan dan belum pada perkara pokok perkara. Masih tawar menawar,” kata kuasa hukum KLH, Bobby Rahman.

 

Exit mobile version