Site icon nuga.co

Habiba! Tolong Tenteramkan Hati Saya

Catatan: Tulisan ini merupakan pesan terakhir seorang Ibu untuk putrinya, seorang wartawati, sebelum tewas dalam pemberangusan kamp pendemo di Raiba, Kairo, Mesir di Rabu pagi. Ditulis kembali oleh Darmansyah dari berbagai sumber

Kairo di pagi menjelang bergolak. Angin dingin medeternian menusuk pori-pori, menjalar hingga ke tulang dan membuat penghuni kamp Rabia, lokasi pendukung Mohamad Morsi bermukim selama lebih sebulan terakhir, menggigil. Pagi itu adalah pagi ultimatum. Pagi terakhir bagi pendemo untuk bisa bertahan sebelum “dibersihkan” tentara.

Di pagi itu pula Habiba Ahmed Abd Elaziz, reporter surat kabar “Xpress,” merasakan dingin bercampur harap tentara tidak akan “membunuh.” Ia hadir di Rabia memanfaatkan cutinya sebagai simpatisan Ikhwanul Muslim pendukung presdien terguling Mohamad Morsi.

Selama di Rabia, Kairo, Habiba “menghanguskan” cutinya dan tetap mengirim laporan ke surat kabar tempatnya bekerja di Uni Emirat Arab. Habiba tak ingin secuil pun pergerakan peristiwa luput dari pengamatannya. Ia mengirim reprtase, berita dan tulisan dari garda terdepan kerusuhan Mesir.

Pagi itu pula ia telah memberitahu kepada “senior editor”nya di “Xpress” bahwa perang hampur dimulai. Ia memprediksi aka nada kematian berdarah. Dan ia tidak tahu siapa yang akan terkena peluru tajam militer.

Dan dipagi itu pula ia menelepon ibunya di Qatar dan mengatakan,” “Di sini sangat dingin dan saya menggigil!”

Siapa yang tahu, itulah pesan terakhir Habiba Ahmed Abd Elaziz sebagai reporter surat kabar mingguan Xpress kepada ibunya dari Kairo. Pesan di Rabu, 14 Agustus 2013, Dan siapa pula yang tahu, Habiba merupakan salah satu dari sedikitnya 300 lebih orang yang tewas, berdasarkan laporan terakhir, dalam bentrokan antara massa pendukung presiden Mohammad Morsi, yang terguling dengan pasukan keamanan kemarin.

Habiba dan ibunya, Sabreen Mangoud, bertukar pesan teks bernada kecemasan pada Rabu pagi ketika pasukan keamanan Mesir bergerak maju dan memblokade jalan-jalan yang mengarah ke perkemahan para pengunjuk rasa di Kairo.

Sang ibu, yang di tinggal di Sharjah, Qatar, sebuah emirat di Uni Emirat Arab, kemudian menyebar pertukaran pesan teks mereka dalam postingan-nya di Facebook yang kemudian dikutip harian The National. Kami mengutip pesan ini dengan utuh. Pesan dari seorang wartawati yang tak peduli dengan desingan peluru hanya untuk satu tujuan, mengabarkan berita kebrutalan tentara karena mereka punya senjata.

Jaringan televisi CNN juga menayangkan dialog antara Habiba dan ibunya itu dalam program “in memorium habiba.” CNN memastikan keaslian pesan teks yang dramatis itu setelah mengonfirmasinya ke adik Elaziz, Arwa Ramadhan.

Habiba berada di Mesir, negara asalnya dalam kapasitas pribadi, setelah merayakan libur Lebaran. Dia sedang membantu orang-orang yang terluka di perkemahan itu. Demikian kata Ramadhan.

Pukul 06.19

Ibu: Habiba, apa yang terjadi di sana? Saya pergi tidur pukul 01.30, itu berarti pukul 11.30 di tempatmu. Apa yang terjadi dengan serangan itu? Ceritakan padaku.

Habiba: Tentara dan polisi memang bergerak di sekitar gerbang. Media center berubah menjadi sebuah rumah sakit lapangan dan alun-alun dalam siaga tinggi.

Ibu: Kamu di mana?

Habiba: Hanya wartawan yang diizinkan tetap berada di dalam gedung. Saya harus meliput monumen itu kalau pertempuran dimulai.

Ibu: Monumen itu agak jauh dari Rabia.

Habiba: Pasukan keamanan ada di setiap gerbang sekarang. Saya di media center. Itu sama sekali tidak jauh, dan pintu besar dapat ditembus dengan mudah.

Ibu: Apakah ada banyak pasukan polisi dan tentara?

Habiba: Ya, tapi gerakan mereka juga bisa hanya taktik “perang urat saraf”.

Ibu: Bagaimana kamu akan pergi ke monumen?

Habiba: Saya akan berjalan seperti orang-orang lain, atau lari. Itu bergantung pada situasi.

Ibu: Tuhan tolong kami.

Pukul 07:33

Ibu: Apa ada yang baru?

Habiba: Para wartawan asing baru saja ke (pergi) pusat.

Ibu: Maksud saya apa yang baru dengan orang banyak itu? Bagaimana kabarmu?

Habiba: Saya meminum tiga jenis obat. Di sini sangat dingin dan saya menggigil. Massa luar biasa banyak dan waspada tinggi. Doakanlah kami, ibu.

Ibu: Tuhan, semoga kami teguh dan beri kami kekuatan. Saya menyerahkan kamu kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

Habiba: Saya sedang menuju ke platform dalam beberapa saat. Ada tank di sana.

Itulah pesan terakhirnya. Habiba, 26 tahun, tewas ketika pasukan keamanan menyerbu perkemahan Rabaa al-Adawiya yang penuh dengan pendukung Muhamad Mursi. Tidak jelas siapa yang menembakkan peluru dalam bentrokan antara kedua belah pihak itu.

Elaziz bergabung dengan Xpress sebagai karyawan magang pada September 2011 dan kemudian mengambil posisi karyawan penuh. Demikian lapor The Gulf News yang berbasis di Dubai. “Sulit untuk percaya bahwa dia telah meninggal,” kata Wakil Editor Xpress, Mazha Farooqui. “Dia sangat menyukai pekerjaannya dan memiliki karier yang menjanjikan.”

Tanpa mengetahui apa yang telah terjadi, sang ibu, yang tinggal di Sharjah, mengirim pesan doa kepada putrinya dan menulis pesan dukungan bagi para pengunjuk rasa di Mesir.

Ibu: Tuhan beri kami keteguhan. Tuhan anugerahi kami kemenangan. Ini adalah apa yang saya tulis pada halaman saya: Tuhan, saya memercayakan kepada-Mu semua saudara-saudaraku, putra dan putriku di Rabia dan Al Nahda, dan semua orang yang melakukan protes di seluruh Mesir. Tuhan saya memercayakan kepada-Mu suami saya dan anak saya Ahmed Habiba. Semoga kami tidak berduka atas salah satu dari mereka. Tuhan berdayakan mereka dan dukung mereka dan jaga mereka tetap teguh pada momen pertemuan hari ini.

Pukul 12:46

Ibu: Habiba, tolong tenteramkan hati saya. Saya telah menelepon ribuan kali. Tolong, sayang, saya khawatir. Ceritakan bagaimana kabar kamu.

Sang ibu menelepon ke telepon Elaziz sekitar tengah hari itu. Seseorang akhirnya mengangkat telepon itu dan mengatakan bahwa wartawan muda tersebut telah tewas.

Sang ibu yang berduka dijadwalkan tiba di Mesir pada Rabu malam.

Exit mobile version