Site icon nuga.co

Wadah Tumpul

Teman, persisnya junior saya, sudah lebih dua tahun jadi ketua persatuan wartawan indonesia di sebuah provinsi.  Sibuknya ampun…

Macam-macam. Ke dalam ke luar .. ke samping kiri-kanan juga ke atas-bawah. Tiap kali share whatapp-an ia balas dengan share lokasi.

Bisa nagan raya, sabang, tapaktuan atau pun sedang ngopi di idi dan langsa. Sesekali ia kirim gambar makan siang di medan. Wuahh…. Sibuknya macam Jokowi…..

Dua tahun lalu sewaktu ia dihakikahkan jadi ketua saya menulis untuk posisinya itu. Ada satu kata saya sampirkan di judul. Kata : berkibar….

Eeehh.. ternyata ada kibarannya. Bukan organisasinya. Tapi dirinya. Organnya masih seperti dulu. Seperti dua puluh empat tahun lalu. Ketika giginya dicabut. Tak bisa mengunyah lagi.

Organ itu bukan lagi wadah tunggal. Sudah jadi wadah tumpul Mendingan wadahnya kuah belangong. Isinya macam-macam. Bisa dikunyah di kauri blang.

Wadah wartawan isiannya juga bak beulangong gule. Macam-macam juga. Ada aliansi, ada yang wartawan-wartawannya. Kalau Anda pun mau menjadi isian belangongnya juga bisa.

Sayangnya isian itu tak bisa mengunyah. Hanya bisa dikunyah Saya sendiri terkaget-kaget isiannya

Di provinsi tempat si teman di “peumulia jamee” jadi ketua isian belangongnya juga banyak Ada berbentuk koran dan mayoritas online.

Jumlahnya banyak. Terdaftar dan tidak. Semua minta “diayomi.”

Yang mengayomi bukan hanya organisasi tempat si junior saya jadi ketua. Bisa banyak pihak.

Cerita dari ponakan saya yang jadi biro umum dan protokol di sebuah kabupaten perlu juga disimak. Anggaran yang dikelola cilik sekali. Di level kerjanya ada media. Semuanya minta “diayomi”.

Kalau dicuekin, atau merasa dianaktirikan, mereka bikin aksi unjuk rasa di depan ruang kerja bupati.

Ngadu macam-macam. Minta pak kabag dicopot karena tidak sejalan dengan misi bupati untuk penyebarluasan informasi pembangunan.

Ada juga yang menulis berita negatif, tapi mereka sadar itu tidak efektif karena tidak ada yang baca. Lha, dia yang nulis berita, di medianya sendiri, yang baca cuma dia sendiri juga.

Apakah jumlah wartawannya sebanyak itu juga, yang memang bertugas meliput kegiatan pemkab? Ternyata tidak. Satu wartawan kadang membawa tiga bendera media online.

Kok nggak ditertibkan? Pusing. Lha, banyak dari sekian media itu milik oknum. Oknumnya sendiri Anda yang tahu. Satu oknum bisa punya dua atau tiga media.

“Bagaimana kita mau tertibkan, mereka galak di rapat anggaran, mereka yang bahas anggarannya kok,”

Apakah persatuan wartawan indonesia bisa menertibkannya?

Saya bisa langsung menjawab. Dan gol. Bak tendangan dua belas pas. Kalau Anda tanyakan ke junior saya itu pasti jawaban gak akan bergeser.

Kan gigi organisasinya sudah lama copot. Atau dicopot. Gigitannya gak lagi gemerutuk seperti era wadah tunggal dulu.

Tentang wartawan masa kini, utamanya wartawan media online. Bahkan saat membaca berita di portal media kelas kakap saya sering uring-uringan.

Etika seperti melawan Tuhan. Padahal kode etik wartawan itu pasal satunya menyebut bahwa mereka beriman dan  bertaqwa kepada Tuhan,”

Lantas apakah perlu tangan tuhan kalau mereka melanggar kode etik itu?  Kalau bukan tangan tuhan apakah  organisasi wartawan, perusahaan media, atau dewan pers.

Saya tak tahu bagaimana caranya.

Setahu saya, dulu… persatuan wartawan satu-satunya organisasi wartawan. Sangat bergigi. Menjadi wartawan harus menjadi anggotanya

Untuk jadi pemimpin redaksi harus mendapat rekomendasinya. Pun status keanggotaannya harus level tertentu.

Bahkan, waktu itu, ada persyaratan tambahan. Tidak tertulis tapi terucapkan.

Mengucapkannya pun tidak jelas,  tapi harus didengar baik-baik: rekomendasi baru keluar kalau calon pemimpin redaksi tersebut, sssttttt…., pro golongan berlambang beringin. Asas tunggal.

Dulu banyak pengalaman teman-teman yang ditindak organisasi ini. Buntutnya panjang mereka bisa  bisa kehilangan pekerjaan.

Itu berubah total sejak organisasi si junior pimpin  bukan lagi satu-satunya organisasi wartawan. Untuk menerbitkan koran juga tidak perlu lagi izin, apalagi sekadar rekomendasi.

Wartawan itu diakui karena tulisannya, bukan sertifikatnya

Kini pun dewan kehormatan masih bisa menindak wartawan. Tapi tidak membawa dampak apa-apa. Wartawan bisa kehilangan pekerjaan hari itu, tapi besoknya sudah bisa bekerja di media yang lain lagi.

“Bahkan bisa bikin medianya sendiri

Yang bikin saya mbulet dengan media sekarang justru beritanya ngacau. Gak ada selesainya. Tak bisa membedakan kronologi dan kronologis, simpati dan simpatik, emosi dan emosional.

Manteman pasti sering menemui kata “tolak ukur” yang mestinya “tolok ukur”. Tapi, eh, pejabat saja ada yang menyebut “tolak ukur” ding.

Kalau lebih dalam lagi pembahasannya muncul kesan news yang mereka tulis gak selesai. Coba perhatikan “lead” berita di media online.

Payah! Yang lebih payah lagi berita di media abalabal yang biasa menaruh judul clickbait. Judulnya tentang kera membunuh simpanse, eh, isinya kera makan pisang.

Seharusnya menulis itu kan boleh  sembarangan Harus pakai data dan fakta, serta cover both stories. Tapi, zaman sekarang, data atau fakta bisa diplesetkan. Bisa dimanipulasi persepsinya.

Data memang ditampilkan, namun dibaca sesuai niat dan kehendak sendiri. Dengan data dan fakta yang sama, bisa ditulis seenal udelnya.

Seperti gelas setengah kosong, atau terisi setengah. Tergantung siapa yang ‘bayar’. Tergantung ‘niat’ kelompoknya.

So what? Ya, begitulah adanya. Tidak bisa kita mengatur pendapat dan pemahaman semua orang khan.

Walaupun bukan lagi wartawan lapangan, saya ingin curahkan, romantisme tentang wartawan yang tetap hidup dibenak saya.

Jika jujur dengan diri sendiri, wartawan tak perlu kode etik, bahkan tak perlu kartu absensi, ditelepon atau diuber redaksi karena belum setor tulisan atau liputan.

Seiring waktu mana loyang mana emas, dari para wartawan sekalian pasti akan ketauan.

Wartawan yang baik, saya andaikan seperti gunung yang ada di foto artikel, ia tak bergeming, kokoh dan teguh pada fungsi profesinya.

Seperti benih padi yang ringkih di foto artikel, ia peka pada lingkungan sekitar, tumbuh dan berkembang dengan pupuk nilai kebajikan, kemudian matang membawa manfaat kepada masyarakat.

Kode etik tak akan bisa ciptakan wartawan yang ideal, karena idealisme tak bisa dipaksa, idealisme harus sukarela, alami dari hati.

Sikap filosofis stoikisme, kayaknya paling cocok dianut wartawan.

Aliran pikiran filosofis asal Yunani kuno  ini cocok sekali dengan sifat profesi kewartawanan, yang butuh sifat kepekaan pada situasi, keteguhan keyakinan pribadi pada nilai universal kebenaran dan kebajikan.

Seperti yang sudah dicontohkan oleh banyak wartawan legendaris kita juga dunia. Yang menguji wartawan adalah waktu.

Waktu jua yang akan menunjukkan,paparkan capaian personal seorang wartawan.

Dari keteguhannya, sikap moralnya yang berpihak pada kebenaran, juga tentu yang terpenting; intensitas dan kualitas karyanya.

Baidewai, wartawan juga bisa jadi hartawan, sudah ada contohnya hehehe.

Ya… jenis media seperti paparan awal saya begitu dominan saat ini. Dan kalau manteman membacanya pasti akan mengumpat-umpat setelahnya.

Apalagi di zaman medsos ini. Semua orang bisa menjadi wartawan. Siapa saja bisa punya media.

Maka organisasi wartawan praktis lumpuh. Memang masih banyak yang berambisi menjadi ketua. Seolah organisasi itu sangat penting. Padahal sudah bukan apa-apa lagi.

Organisasi profesi seperti ini sepertinya  punya program banyak. Terutama terkait dengan peningkatan mutu wartawan.

Malaha da kerja tambahan: meningkatkan kesejahteraan wartawan. Sampai ada wakil ketua bidang kesejahteraan. Sampai pun mengurus fasilitas perumahan wartawan.

Rasanya hanya organisasi  profesi yang mengurus kesejahteraan anggotanya. Seolah profesinya tidak bisa membuat sejahtera.

Tidak menulis sembarangan, pakai data dan fakta, serta cover both stories. Tapi, zaman sekarang, data atau fakta bisa diplesetkan. Bisa dimanipulasi persepsinya. 

Exit mobile version