Site icon nuga.co

Edaran “Part” Dua

Sepanjang hari kemarin saya absen menulis. Hanya buka gadget. Klak.. klik… cari tahu tentang nasib keude kupi yang kena “prank” surat edaran penjabat.

Tahunya kebanyakan kalimat yang diapit tanda dua kutip. Kalimat langsung dari yang gembur ala media online. Yang judul dan isinya tak mampu keluar dari “release

Anda kan tahu “release.” Release melepas, melampiaskan, meloloskan, membebaskan dan lain sebagainya sebagai kata ganti untuk memberikan informasi ke publik. Sepihak. Satu corong.

Kepentingannya? Gak perlu dijawab. Namanya aja pendekatan.

Selain itu saya juga meminjam haba untuk update penulisan ini dari seorang sopir bis jarak jauh tentang pengalamannya sepanjang lintasan Banda Aceh – Medan usai surat edaran itu di “up”

Pengalaman tentang warung kopi di tengah malam. Usai hari bersalin, Tentang nasi goreng Idi dan kopi Trienggadeng di “jula” malam. “Jula” malam kala sopir melepas penat dan penumpang menambal perut.

Lainnya, saat ber “car free day” di flyover summarecon, usai shalat subuh pagi tadi ada getar disertai kring… berulang-ulang di handphone.

Memaksa saya minggir sembari rehat di sebuah gerai kopi di kawasan pusat kuliner bandar jakarta untuk menyambut sebuah “say hello.”

“Say hello” kejutan. Yang sempat membuat saya kepentok mencari meja kosong di kerumunan antrian pengunjung

Ramainya pengunjung ampun.. Mereka semua memakai kaos bergambar lelaki berambut putih dengan muka tirus. Tulisan di bawah gambar itu:ganjarisme.

Oo ala… dari bisik seorang antrian di keramaian warung kopi itu karena kedatangan bakal calon presiden ganjar. Biasalah …. Kampanye jual tampang

Sembari celingak celinguk untuk nabrak meja kosong tiba-tiba  “say hello“  itu berubah menjadi hub video call. Berdurasi panjang. Bak webinar.

Webinar warung kopi. Dari keude kopi beurawe. Dari sebuah meja panjang yang saya hitung peserta ada sebelas orang. Kalau ditambah dengan saya jumlahnya persis satu lusin. Dua belas.

Keude kupi “wajibun” saya ketika “wobaksot” sekalian untuk “meuhambo carita sulet” Hahaha….

Anda tahukan apa itu webinar. Semacam seminar. Sebutan keren untuk web-based. Seminar yang menggunakan jaringan online. Seminar tanpa profit.

Webinar ini penuh dengan horee… temanya gak salah lagi: keude kopi “prank” edaran.  “Prank” salah satu poin aturannya membatasi jam buka warung kopi, dan meminta warung kopi, kafe dan usaha sejenisnya

Pembatasan jam buka ini otomatis  dapat mematikan usaha mikro kecil dan menengah yang menjalankan aktivitas usahanya di malam hari seperti warung kopi, kafe dan usaha kuliner sejenisnya.

Dari jumlah peserta yang satu lusin itu ada mantan pejabat, dokter, pengamat, dosen dan ada juga preman tukang kompor. Kerjaan yang terakhir ini tukang kipas agar bara apinya liar.

Semuanya dari kaum sarungan. Cuma pecinya yang beda. Ada putih, hitam dan bersongkok. Walau pun dari kaum sarungan jalan pikirannya humble. Terbuka.

Karena humble seminarnya juga longgar. Gak pakai kesimpulan. Ada kritik dan otokritik. Ada yang bersuara gemeretak dan ada yang melambai. Penuh warnalah. Tapi satu pemikiran.

Kok warung kopi yang di”palak” Anda tahu kata “palak.” Kalau gak tahu cari saja di kbbi lewat google search. Pasti ketemu. Kalau udah ketemu tambah awal me. Ia akan berbunyi “memalak.”

Anda pasti tahu pengertian “memalak” itu dalam konteks preman. Seperti premannya surat edaran pemberlakuan jam malam bagi warung kopi.

Jam malam yang sehari sebelumnya saya tulis di sebuah kolom sebagai lanjutan dari virus corona. Virus yang membuat sengsara. Sengsaranya warung kopi usai pergantian hari di tengah malam.

Di webinar ala keude kupi itu ada kesepakatan peserta. Edaran itu tidak dilandasi akal sehat. Cenderung mengedepankan emosional dan lemah pikir tanpa visi, bukan berlandaskan pengetahuan pemimpin

Salah seorang peserta malah mengangkat jari telunjuknya sembari menempelkan di sisi kanan kening dan berujar: penjabat yang gak paham bagaimana kebijakan publik.

“Alasannya gak masuk ke jaringan otak,” ujar yang lain.

Alasan keamanan? Tolong update data apa ada warung kopi dan usaha kuliner lainnya yang buka hingga larut malam punya catatan kriminal dan kejahatan berisiko bagi pemilik usaha dan juga bagi pelanggan.

Tugas penjabat bukan “larang-melarang”  atau boleh gak boleh. Jaga ketertiban dan kenyamanan masyarakat dan pelaku usaha kapanpun usaha itu dilakukan.

“Konyol,” timpal seorang peserta webinar dari sisi kiri meja panjang. Surat edaran konyol yang menyirat wilayah ini bermasalah. Tidak aman. Macam negeri kriminal aja

Saya sendiri gak ingin menyempal. Jarak sempalannya terlalu jauh. Selain itu gak “update” data dan kondisi untuk mem-valid-asikan.

Ya… asik aja. Apalagi cerocosannya masuk wilayah syariat. Bicara tentang dugaan pelanggaran syariat  di warung kopi yang masih buka hingga dini hari sebagai landasan edaran poin kafe warung kopi.

“Kalau itu bukan solusi, seharusnya jika ada warung yang melanggar yang ditindak kan bukan  warung kopi.”

Bla..bla.. webinar terus lanjut. Bla..bla… tentang pokir, toke bangku peng grik tambah bancak anggaran. Persoalan pemberantasan korupsi.

Persoalan korupsi di negeri inih semakin leluasa dilakukan pejabat, kenapa yang diatur hanya terkait soal orang mencari rezeki sementara perilaku korupsinya makin tinggi dan semakin sangat leluasa dilakukan

Aturan pembatasan waktu operasi tempat usaha, so pasti bertentangan dengan karakteristik warga  yang merasa selama ini warung kopi yang jadi tempat berkumpulnya

Bahkan sekarang banyak pengajian dilakukan di warung kopi, diskusi dan berbagai kegiatan positif tempatnya itu di warung kopi.

Keude kupi di aceh memang merupakan arena yang paling mampu menjelaskan betapa persinggungan antar elite. Sebuah ruang publik yang pas untuk melakukan apa saja.

Diskusi, negoisasi, lobi atau pun deuk pakat untuk hidup seperahu. Yang gak boleh mungkin hanya bikin akad. Perlu wali atau …..

Seperti kata Lidlle  warung kopi menjadi tempat dimana segalanya dapat dibahas tanpa ada batasan apapun. Belum ke Aceh bila gak duduk di warung kopi.

Fenomena warung kopi ini yang kemudian berkesan bagi  seorang teman saya Don Sabdono, wartawan kompas, menulis himpunan cerpen dengan nama “rex.”

Rex  sepetak taman di kawasan peunayong yang menjadi inspirasinya melahirkan buku yang sangat terkenal.

Baginya seorang Don Sabdono warung kopi di Aceh seperti cafe-cafe di Eropa abad kesembilan belas yang menjadi ruang publik yang penting bagi masyarakat di sana.

Keberadaan warung kopi ditahun-tahun terakhir ini yang semakin bertabur. Ini dipengaruhi oleh terbukaan aceh usai reintergrasi politik pasca mou dengan jakarta.

Ketika Aceh aman yang kemudian bertemu dengan dunia di luarnya yang warung kopinya memainkan perannya secara secara sentral.

Maaf, saya sendiri bukan  peminum kopi. Sebenarnya gak hafal betul warung kopi kecuali dua legendnya: solong dan taufik. Yang dua-duanya hanya sepelemparan batu dari rumah.

Yang menyebabkan banyak teman menyeret saya untuk hore…hore… berbagi carita. Berbagi cerita  untuk memahami wajah wajah nanggroe.

Dan disana juga ada pertemuan antar generasi dalam suasana yang damai. Tidak terbatas dari yang muda hingga yang tua, pria maupun wanita, miskin maupun kaya, semua berbaur tanpa sekat-sekat pembatas

Keude kupi yang menawarkan tiga variasi penyajian, yaitu kopi hitam, kopi susu dan sanger. Kopi hitam dan kopi susu mungkin sudah sering kita temui di daerah-daerah lain, tapi sanger adalah racikan yang orisinil.

Meskipun era telah berubah dan ada jam malam menghambat virus lewat vaksin syariah budaya minum kopi di tengah masyarakat tetap terjaga. Terjaga hingga jula malam.

Terjaga dengan tata ruang yang nyaman dan fasilitas internet hotspot menarik banyak kalangan untuk betah berlama-lama di kedai kopi.

Berlama-lama menghempas edaran cilaka yang bisa mendegradasikan budaya terbuka atas nama eleganitas negeri istimewa

Exit mobile version