Site icon nuga.co

Antrian Blasshh…

Kemarin Jokowi menceburkan antrian panjang penantian banyak syedara di tanah asok lhok tentang nama pejabat gubernur Aceh.

Keceburnya blas….Kuyup

Kuyup dengan berita yang saling berhimpitan. Berhimpitan antara nanar dan kebingunangan. Tentang sebuah nama. Surprise.

Lantas bersilang sengketa pra kata di facebook, whatsapp, twitter dan instagram. Pra kata yang  sebelumnya berisi teka teki, prediksi dan entah apalah lainnya.

Berganti dengan caci maki, tunjuk idung yang habanya bercampur aduk. Terkadang bunyinya berdetak kalau dibaca cut nek dan teuku apa. Kalutnya ya ampun ketika di eja seorang “ngon” saya yang trahnya dari “badek kamanak.”

Isiannya?

Anda sendiri lah paling tahu arti letterlijk-nya.

Bagi saya nggak ada masalah antrian panjang yang blasss.. kecebur itu. Namanya saja media sosial. Yang pengisinya bisa siapa saja. Dari buzzer, bajak laut, preman hingga peneliti dan ilmuwan ambisius yang aksesnya mampat.

Cuma, yang saya sedihkan, kecebur dan kuyup juga media mainstrem. Media online, radio, podcast, tv local berbayar yang bermain di garis abu-abu yang menyalin isian kepala pengamat, politisi dan tokoh tentang pejabat gubernur itu.

Pejabat gubernur, yang usulan namanya kala itu dibawa terbang Jokowi ke jerman, kiev di ukraina hingga ke moskow, rusia. Dan begitu mendarat di Jakarta  awal pekan lalu langsung di teken.

Achmad Marzuki

Nama yang nggak pernah masuk garis lurus, garis bengkok dan garis menaik-menurun sebuah grafis yang menjadi bacaan para ahli. Ahli ekonomi atau pengamat bursa saham. Bacaan untung rugi.

Padahal nama usulan mereka sebelumnya jelas. Tunjuk langsung.

Saya sendiri juga terseret di barisan yang diceburkan. Tapi tak sampai kuyup. Karena masih di pinggiran. Pinggiran kata-kata.

Kata-kata yang  saya tulis tanpa menyebut pangkal dan ujung nama  calon pejabat gubernur itu Saya juga tak menyebut akronimnya.

Dan, seingat saya, sebelum kecebur pernah menyindir diri sendiri tentang seseorang yang banyak disebut syedara.

Biasalah. Saya tahu batas antara abu-abu dan terang. Abu-abu di prediksi. Terang di layak sumber. Yang terukur akurasinya. Kecuali ada kecelakaan. Atau karena dicelakakan.

Lantas.. tentang Achmad Marzuki yang sudah sahih pejabat gubernur itu?

Ini tentu Jokowi yang punya cerita. Bukan Tito Karnavian sang pengusul.. Pengusul tiga nama, Yang duanya Anda sudah tahu dan saya juga. hanya apit awe.

Lantas saya coba mencari tahu. Anda harap maklum ya. Ini mencoba. Bukan uji coba seperti sebuah produk yang muatannya setengah advertising. Iklan atau promotion.

Mencoba mencari tahu tentang Achmad Marzuki yang saya tahu dari wikipedia. Kelahiran Bandung itu. Kok dia yang dikolom Jokowi untuk dibuat eskanya oleh Mensesneg Praktiknyo sebagai pejabat gubernur.

Pencarian saya kepentok. Tak satupun dari tiga nama yang saya tanya bisa memberi keterangan sahih. Saya hanya bisa bergumam. Ini kejutan. Kejutan ala Jokowi. Seperti kejutan stop ekspor batubara dan stop produk sawit.

Seperti juga stop gelindingan tiga periode.

Kalau memang kejutan, ya sudah.

Pencarian saya pun berbelok mencari tahu tipikal sang pejabat gubernur. Achmad Marzuki. Yang acara pelantikannya membuat kejutan. Kejutan ini khas Tito yang Mendagri.

Kejutan perubahaan seremoni pelantikan. Dari sasana kemendagri ke ruang de-pe-er Aceh. Yang harinya ikutan berubah. Dari Selasa sore ke Rabu pagi.

Yang menyebabkan adanya kekosongan jabatan gubernur Aceh dari dentang tengah malam saat Nova Iriansyah “soh” ke waktu duha dilantiknya Achmad Marzuki.

Yang mengenai perubahaan ini diketawakan oleh seorang sahabat politisi saya dengan candaan. “Orangnya kan nggak berubah ngon.”

Nggak berubah juga ketika ada demo kecil ber”loadspeker” corong tiga di kemendagri seperti ditulis adik saya Fikar W Eda. Juga tak berubah oleh protes “Kontras” yang sejak dulu alergi dengan militer.

Bahkan tak berubah oleh gertak media sosial yang mengajak anggota dewan “walkout” ketika hari pelantikan. Entahlah..Saya nggak paham lagi dengan gaya gertak yang tak berbunyi gemeretaknya.

Ya sudah. Pencarian tahu saya tentang Achmad Marzuki bisa lanjut.

Dari seorang sahabat muda yang berada di areanya langsung menjawab tanya saya.”Ia seorang yang low profil. Sederhana. Jejak penugasannya tuntas”

Walaupun ia berada di area yang sama, saya nggak mudah percaya dengan salinan otak yang lurus itu.

Sebab otak saya berpilin tanya. Yang alirannya mengalir ke hulu tak menderas ke hilir karena pengaruh pasang.

Saya tahu hulunya sang pejabat gubernur tentara. Berumur lima puluh lima. Belum  seharusnya pensiun. Tapi mengambil jatah pensiun dini. Untuk mendapatkan predikat sipil. yang hitungan hari.

Yang kemudiannya di karyakan sebagai pejabat gubernur.  Yang draft eska pensiun dan eska pejabat gubernur pasti disiap sekali jalan. Macam jalan toll yang ada lingkar luar dan lingkar dalamnya. Yang laju kenderaannya bisa bareng.

Saya nggak tahu apakah kajiannya sudah diplot dalam usulan ke Jokowi lewat banyak jenjang. Bisa jadi lewat jenjang senyap.  Jenjang ala intelejen. Yang kerjanya dalam senyap tak pernah membuat gaduh.

Kalau gaya senyap ini saya tahu sedikit-sedikit. Tak jauh benar dari gaya senyap para reporter. Namanya investigasi. Bisa investagi intel negara. Atau pun investigasi polisi yang verloping onderzook.

Atau pun juga investigasi report ala jurnalis. Report yang kemudian ditambah dengan “ing.”  Lengkapnya investigasi reporting.

Gaya menjadikan Achmad Marzuki sebagai pejabat gubernur pun mirip seperti style eranya skarda-staf kekaryaan- dulunya Skarda di era dwifungsi. Era monoloyalitas..

Itupun kalau Anda berkenan mempercayainya. Kalau nggak tuding saja otak saya saja yang sungsang . Sungsang trauma era siupp. Yang diidap anak-anak media ketika itu.

Ketika media dicabut izin terbit dan izin cetaknya lewat isu nggak pancasialis Lantas menganggur atau mencari lowongan baru di media lain sebagai tenaga free lance.

Sahabat muda itu terus bercelotoh disela-sela kata o..iya.. oo iya saya tentang sang pejabat. Ooo iya.. dari pengalaman panjang saya tentang kata yang ia salin dari entah siapa..

Kata oo..iya yang kemudian putus karena sang sahabat kehabisan isian tentang sang pejabat gubernur

Yang kemudiannya saya ganti dengan corong lain nun dari tanoh asai. Dari seorang wartawan senior. Yang saya  tentu lebih lebih senior dari seniornya. Ahh… mbong.

Sehingga ia bisa saya pakai sebagai corong baru. Masih aktif dan sering mengedit tulisan juniornya kala Achmad Marzuki berstatus pangdam

“Ia orang supel. Mudah bergaul. Adaptasinya dengan lingkungan bagus bang,” katanya yang menyebabkan saya memalingkan muka ke arah kanan. Mendenguskan hirupan nafas dari hidung . Uuuhhh.

Anda pasti tahu kalau bunyi dengus begitu. Pertanda apa…. Coba.

Udahlah… Saya nggak ingin mengecewakannya. Dan ia melanjutkan habanya dengan takzim karena nggak melihat ekspresi saya yang menyepelekan. Kalau tahu style saya pasti ia cemberut atau tergagap.

Lantas  ia pun melanjutkan cerita. Sang pejabat sebelum jadi pangdam pernah menjalani penugasan atas nama operasi militer di era konflik. Setahun sebelum tsunami.

Itu berarti penugasannya sebagai pejabat adalah untuk ketiga kalinya berkiprah di Aceh.

Saya hanya mencatat ucapan si senior itu. Yang mengatakan, ketika mengakhiri penugasannya sebagai pangdam setahun lalu ia mengatan, “Aceh akan selalu ada di hati saya. Saya pernah bertugas di sini, Sebelumnya.”

“Waktu itu, saya bawa istri saya yang ragu dengan kondisi  disini yang rawan saat itu.”

Itu kiriman ucapan si pejabat usai pisah oleh si senior di pesan whatsapp saya.

“Tiga minggu sebelum tsunami kami mendapat tugas ke Papua. Dan, istri saya menangis, sedih karena harus meninggalkan Aceh”

Sang wartawan yang senior itu melanjutkan tentang takzimnya si pejabat. gubernur. Yang ia beri foot note “agar Aceh lebih maju”

Saya  agak malas menuliskan lanjutannya. Kutipan ucapannya sang pejabat macam judul sebuah news saja. Ada kutipan lain, tentang potensi dan harapan sejahtera.

Entahlah kata batin saya..

Sebab dalam status pejabatnya yang panjang nantinya, kalau lancar, hampir tiga tahun, ia akan kecebur dengan keyakinannya itu. Tentang Aceh sebenarnya.

Kecebur, seperti kata teman saya yang lain, seorang guru besar ekonomi, yang menelepon saya kemarin, sebagai gubernur yang sesungguhnya di periode krisis anggaran.

Krisis pengurangan dana otonomi khusus dari sapihan dana alokasi umum. Dari dua persen jadi satu persen. Yang telah dinikmati Aceh selama lima belas tahun usai dipangku jakarta sebagai anak baik.

Yang komentar liarnya bak harimau mengamuk. Seperti disemburkan Azhari “Gagee.”

Yang kehilangannya enam hingga tujuh triliun rupiah dari yang seharusnya diterima selama ini. Untuk satu tahun. Yang besarannya itu ampun itu… kalau untuk investasi

Tentu sang penjabat akan memulai hari kerjanya dengan pekerjaan berat. Yang pikulannya berada di anggaran tahun depan. Yang  draftnya mungkin telah di “clear” kan oleh Tapa. Tapa yang tim anggaran Aceh

Lantas bagaimana dengan konflik vertikal?

Pertanyaan ini saya teruskan ke seorang pejabat  di area itu.

Tahu jawabannya!

“Potensinya relatif kecil. Sangat kecil. Kalau pun ada macam hujan gerimis. Cukup berteduh di bawah pohon besar, Nggak perlu payung. Pohon dan payungnya kan udah jelas,” ujarnya tertawa ngikik.

Saya tahulah payungnya. Dan Anda juga tahu juga walaupun saya tak tanyakan ke sang pejabat. Tahu juga konfliknya hanya sebatas isu.  Isu memorandum of understanding. yang terus diusung-usung. Itu pun hanya dikalangan elit.

“Elit yang sudah terkooptasi dengan dasi merah dan jas hitam. Yang belinya harus ke sana juga,” sembari mengarahkan telunjuknya ke langit. Anda tahu langitnya kan.

Saya terperosok ke lobang otak sang pejabat  dan berupaya keluar dari tanya konflik dan lebih fokus ke kerja sang pejabat.

Ia langsung menyambar,”nyali pak”  Dan saya balas,” kan tentara” Lantas kami terbahak. tertawa geli dan ia menambahkan,”perlu juga “nurani.”

Aceh itu perlu ditundukkan dengan “hati” Bukan hanya dengan otak dan otot.  Perlu duduk di kupi saring. Apapun masalahnya keude kupi sebagai “palanta” duduknya.

“Kalau udah di keude kupi pasti nyaman. Duitnya kan masih ada sisa dana otsus satu persen,” ujarnya terus menendang bola dengan gaya kick off.

Memang pengurangan dana ini memerlukan kerjaan spesialis. Bukan pekerjaan dokter umum yang nggak tahu teknik bedahnya yang bisa menimbulkan komplikasi bagi pasien.

Tapi jalannya tetap ada.  Salah satu kerjaan si penjabat gubernur adalah kebijakan rekalibrasi dan rasionalisasi anggaran berikut penyederhanaan lembaga satuan kerjanya.

Baik melalui penghapusan, ataupun penggabungan yang ditujukan untuk efisiensi dan efektivitas kinerja pemerintahan. Kebijakan, seperti dikatakan adik umur saya di kampus usk bisa membuat wajah baru satuan kerja pemerintah

Dan saya tambahkan, bangun saja landskap baru. Landskap smart. Hantamkan lewat informasi teknologi. Bangun mindset baru. Seperti Luhut mambangun mindset covid yang sudah sukses dan akan sukses lagi dengan minyak goreng.

Dan akan berlanjut dengan mindset pertalite untuk memotong rantai subsidi ke pertamina karena gelontorannya pajak ekspor sawit berkurang dan rusia mengatur ritme untuk membangkrutkan ekonomi dunia. Eeee.. Amerika dan eropa.

Yang dampaknya menyebabkan  sri lanka kehabisan cadangan devisa dan india mengganti cpo dengan minyak jagung. Dan indonesia terseret ke langkanya impor gandum

“Ya tidak begitu juga,” kata sang teman dari kampus “tekad bulat” itu. Persoalannya  Aceh miskin tetap nyata. Itu semenjak pascaperdamaian sampai hari ini

Yang angkanya sangat tinggi. Lima belas koma lima puluh tiga persen atau delapan ratus lima puluh ribu jiwa dari penduduk Aceh yang sama jumlahnya dengan penghuni Kota Bekasi.

Atau  jauh di atas rata-rata nasional tujuh koma enam puluh persen. Menjadikannya provinsi termiskin di Sumatera.

Lainnya, ya kerjaan persiapan penyambutan paska pelantikan si pejabat. Yang, sepertinya saya baca di press release agenda udah ditangani perwakilan pemda aceh yang di jalan indramayu.

Lantas bagaimana profil  jenjang karir Achmad Marzuki?

Ah… saya menganggap tak penting. Itu cerita lalu. Sangat biasa untuk perwira tinggi angkatan darat.

Perwira tinggi yang datang dari perwira bawah. Yang mengenyam banyak pendidikan berjenjang. Ya karir militerlah.

Biasalah…..

Exit mobile version