Site icon nuga.co

“Video Game” Bisa Tingkatkan Kognitif Otak

Video gamekini menjadi wah bersamaan dengan dirilisnya hasil sebuah studi bahwa permainan itu bisa meningkatkan kemampuan otak..

Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Psychological Bulletin yang terbit pada  akhir  November lalu para peneliti menemukan bahwa game, khususnya yang bergenre aksi dan perang, mampu meningkatkan kemampuan kongitif otak seperti persepsi, atensi, dan waktu reaksi.

Kesimpulan ini didapat dari pengumpulan hasil penelitian selama lima belas tahun terakhir.

Pengerjaannya dilakukan bersama Universitas Jenewa, Universitas Columbia Santa Barbara dan Universitas Wisconsin.

Tim peneliti internasional lantas membedah berbagai literatur yang pernah dipublikasikan.

Mereka juga menghubungi lebih dari enam profesor untuk meminta data yang tidak dipublikasikan terkait game aksi.

“Kami memutuskan untuk mengumpulkan semua data yang relevan dari tahun dua ribu hingga dua ribu lima belas dalam upaya untuk menjawab pertanyaan ini, karena ini adalah satu-satunya cara untuk memiliki gambaran yang tepat tentang dampak nyata game aksi,” kata Daphné Bavelier, profesor Bagian Psikologi di Fakultas Psikologi dan Ilmu Pendidikan UNIGE.

Penelitian yang melibatkan delapan ribu sembilan ratus tujuh puluh orang berumur enam hingga empat puluh tahun, termasuk pemain game dan bukan pemain game, ini mencakup uji spasial seperti mendeteksi anjing dalam kawanan hewan, menillai kemampuan mengerjakan tugas ganda, dan mengubah rencana sesuai peraturan yang ditentukan.

Hasilnya, kognisi pemain game satu setengah kali lebih baik dibandingkan bukan pemain game.

Namun, belum semua pertanyaan para psikolog dapat dijawab.

Sebagai contoh, apakah kemampuan kognitif berkembang berkat bermain game aksi, atau para pemain membutuhkan kemampuan kognitif tertentu untuk memainkan game tersebut.

Penelitian pun berlanjut dengan studi intervensi yang melibatkan dua ribu delapan ratusan orang, baik pria dan wanita, yang bermain game maksimal satu jam per pekan.

Kemampuan kognitif mereka pun diuji, dan dipisah secara acak menjadi dua kelompok: kelompok game aksi dan kelompok game control

Kedua kelompok diminta bermain antara delapan hingga limapuluh jam dalam sepekan selama dua belas minggu.

Di akhir pelatihan, peserta menjalani tes kognitif untuk mengukur perubahan kemampuan kognitif mereka. Hasilnya pun serupa.

Kognisi pemain video game aksi meningkat sepertiga kali lebih baik dibandingkan dengan pemain gim kontrol.

“Penelitian yang dilakukan selama beberapa tahun di seluruh dunia membuktikan efek sebenarnya dari game aksi pada otak dan membuka jalan untuk menggunakan permainan untuk memperluas kemampuan kognitif,” kata Bediou.

Selama ini ada kesan yang  menyebut seseorang bermain game internet berjam-jam, sebagai perilaku kecanduan.

Namun penelitian terbaru membantahnya. Perilaku tersebut bukan kecanduan, tetapi orang tersebut tidak bahagia dalam hidupnya.

Perilaku bermain game internet dalam waktu lama, bagi para peneliti, masih harus diteliti lebih dalam. Asosiasi Psikiatris Amerika menyatakan bahwa butuh penelitian lanjutan untuk mengungkap fenomena perilaku penyuka game internet tersebut.

Namun demikian, ada beberapa hal yang harus diketahui terlebih dahulu sebelum menyebut seseorang mengalami perilaku tersebut.

Beberapa diantaranya seperti apakah berkata jujur saat ditanya berapa lama sudah bermain game?

Apakah itu membahayakan proses belajar atau karir?

Apakah bermain game untuk menghilangkan rasa cemas mereka?

Netta Weinstein, psikolog dari Universitas Cardiff menggunakn kriteria di atas untuk melakukan penelitian terhadap dua ribuan orang yang masih berumur delapan belasan tahun dan suka main game internet atau online.

Kemudian peserta diminta mengisi kuesioner tentang kondisi kesehatan, gaya hidup dan kondisi fisik mereka. Pada awal penelitian, hanya lima orang yang sesuai dengan kriteria.

“Kita tidak menemukan adanya kejanggalan secara klinis dalam jumlah besar dari peserta,” kata Weinstein.

“Hasilnya justru menunjukan bahwa perilaku kecanduan game internet masih perlu dikaji ulang. Kondisi perilaku para gamers tidak bisa disamakan dengan perlaku kecanduan obat,” katanya.

Sementara itu, penelitian tersebut juga menunjukan adanya ‘kekosongan jiwa’ dalam diri para peserta. “Ini berbarti mereka memiliki rasa tidak bahagia atau tidak puas dengan sesuatu di hidupnya, semisal terkait pekerjaan,” katanya.

Enam bulan setelah penelitian tersebut, ternyata para peserta yang sudah menemukan ‘kebahagiaan’ dalam hidupnya, jumlah bermain game pun ikut berkurang. “Ini pertanda awal bahwa disaat orang bahagia, mereka tidak akan terlalu lama untuk bermain game,” katanya.

Pendapat berbeda terkait hasil penelitian Weinstein pun bermunculan. Salah satunya dari Daria Kuss, peneliti bidang Psikologi Cyber di Inggris.

Menurut Kuss, menggunakan kuesioner dalam meneliti perilaku kecanduan game merupakan hal yang salah. Karena peserta akan cenderung menutupi perilaku buruk mereka.

“Jika seseorang bermain game hanya untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya, maka ini akan menjadi masalah besar apabila tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut di dunia nyata. Namun, untuk menjawab secara ilmiah, kita butuh orang yang mengalami kecanduan game internet,” kata Kuss.

Exit mobile version