Sehari sebelum mudik saya janjian buka puasa bareng dengan seorang teman. Teman yang telah menyatukan kami dari sahabat-saudara- hingga keluarga. Keluarga benaran.
Yang kata “keluarga” -nya telah kami kunci dengan ucapan: “ anak lu anak gua. Katakan dengan …nya.. sampai kapanpun dia tetap anak gua.”
Kata-kata kunci itu sama-sama kami tahbiskan di hari anak-anak kami menjalani ritual nikah. Baik akad maupun ketika sakramen. Nggak ada tambahannya bini lu bini gua… Itu cilaka namanya.
Hingga buka bareng itu kami juga mempersatukan keluarga hingga ke cucu maupun menantu.
Kami beda keyakinan. Bedanya sejak ketemu awal. Melewati waktu yang panjang. Panjang sekali.. sejak masing-masing belum punya gandengan hingga punya gerbong dan menjalankannya dengan loko “lakum dinnukum walaiaidin”
“Agamaku adalah agamaku dan agamamu adalah agamamu..” Sebuah penggalan dari ayat terakhiri surat “al kafirun.”
Ayat yang dulunya menjadi sebuah traktat bagi penduduk Madinah. Menjadikan keindahan dalam perbedaan. Indah sekali.
Lebih indah dari pertemanan ahmad albar dengan ian antono yang juga beda keyakinan.
Nama keluarga saya itu sigit suryanto. Posisinya sekarang salah seorang direktur di kompas grup. Sebuah grup media sangat besar… sebesar gajah… yang kini oleng terpaan badai digital.
Badai yang melanda media cetak. Apa pun jenis medianya. Surat kabar, majalah, tabloid atau atau entah apalah nama jenis media cetaknya yang Anda dulu pernah menjadi temannya di kopi pagi.
Olengnya media cetak itu, tak terkecuali Kompas, disebabkan oleh putting beliun media sosial yang menggerogoti eksistensinya. Eksistensi media manstream
Buka bareng kami di sebuah sudut lantai tiga plaza senayan hampir saja bubar. Berantakan.
Penyebabnya, di sore itu, lalu lintas Jakarta benar-benar berantakan. Lumpuh. Terkunci. Tak ada lagi istilah lambat merayap.
Saya aja yang keluar dari pintu tol becakayu pada jam tiga sore baru bisa plas ke senayan jam delapan malam. Wajar saja, ukurannya jauh-sedang.
Istri sang teman yang rumahnya sepelemparan di permata hijau terkunci abis di senopati hingga dua jam.Saat buka lewat kumandang azan maghrib saya masih di setiabudi. Dua jam….
Ampuunn Jakarta. Jakarta di hari ganjil itu. Kalau saja diblas..ganjil + genap saya nggak tahu apa kejadiannya.
Saya hanya bergumam dan melupakan pesanan sate senayan, pecal madiun, bakso pak min, soto Jakarta dan cah tumis kangkong yang telah di order sigit. Orderan tambahan menu buka.
Melupakannya untuk berdamai kemacetan yang berpilin dan mengarahkan ke satu kata di batang otak saya kasus ini adalah terma mudik. Mudik yang sama dengan sawoe gampong.
Mudik yang semua jenis angkutan banjir penumpang. Melimpah. Seperti juga di hari saya mudik kemarin. Ketika bandara soeta di berjajal dan melimpah.
Begitu juga dengan pesawat garuda type boeing tujuh tiga tujuh yang saya tumpangi tak menyisakan kursi kusing hingga ke batas closetnya.
Padahal dihari-hari lainnya saya sedih melihat kursi garuda terisi oleh uap angin. Hanya sepertiga,
Mudik saya tahu tak terpisahkan dari lebaran. Diamini sebagai upaya “kembalinya orang yang sudah berhasil dari perantauan dan memamerkan keberhasilannya kepada keluarga dan orang sekampung”.
“Mayoritas orang membeli baju baru sebelum mudik. Membeli baju baru yang salah satu setelannya dipakai pada saat mudik. Lainnya? Disimpan untuk hari lebaran.
Ada cilakanya dari terma mudik ini. Banyak diantara mereka sudah tidak peduli lagi dengan puasa.
Makan bebas selama mudik di sana-sini. Ini menunjukkan bahwa ketika orang mudik sesungguhnya sudah berlebaran.
Yang ketika makan di restoran atau di warung setiap orang berlomba-lomba untuk membayar duluan, mentraktir teman-temannya. Itu untuk menunjukkan bahwa dia berhasil.
Ya, lebaran dan mudik seperti dua hal yang tidak bisa terpisahkan dan merupakan momen yang sangat ditunggu-tunggu khususnya oleh para perantau muslimm.
Di indonesia, “tradisi” mudik dan momen menjelang ramadhan ataupun lebaran merupakan suasana dan momen yang sangat dinanti dan meriah.
Pekan terakhir ramadhan banyak bermunculan pasar atau toko yang menawarkan berbagai makanan dan minuman “khas” Lebaran seperti kue-kue kering, ketupat, opor ayam, rendang, sirup, dan lain sebagainya.
Selain bersilahturahmi dengan berkumpul dan menyantap makanan bersama keluarga, lebaran juga identik dengan berziarah.
Namun, siapa sangka tradisi mudik ini bukan hanya terjadi di Indonesia?
Faktanya, tradisi mudik juga terjadi di belahan dunia lain. .
Di malaysia lebaran idul fitri diistilahkan dengan hari raya puasa. Mereka mudik dengan nama “balek kampung”. Umumnya, masyarakat malaysia balik kampung sejak seminggu sebelum hari raya puasa tiba.
Tradisi mudik juga bisa kita temukan di turki. Idul fitri di turki popular dengan istilah seker bayram. Momen seker bayram ini selain bersilahturahmi juga untuk berziarah yang dilakukan secara besar-besaran.
Bahkan, dengan adanya tradisi berziarah saat mudik ini, membuat banyak bermunculan pasar bunga di berbagai daerah di turki menjelang datangnya arus mudik.
Ada juga nih yang memiliki tradisi mudik tapi idul adha di mesir. Di negeri sungai nil itu idul adha dirayakan lebih meriah. Idul fitri sendiri dianggap hari raya kecil.
Di Saudi perayaan lebaran menyebabkan banyak perantau yang mulai pulang ke kampung halamannya
Lebaran di saudi sangat meriah. Rumah-rumah banyak dihiasi dengan dekorasi meriah. Berbagai festival yang meriah kerap diselenggarakan seperti pergelaran teater, pertunjukan musik, dan kesenian lainnya.
Negara berikut ini memiliki perayaan Lebaran yang juga meriah meskipun jumlah umat muslimnya tergolong minoritas, yakni negara India.
Tradisi mudik di india lebih heboh dan perayaan hari lebaran di negeri ini.
Transportasi umum seperti kereta api akan penuh sesak hingga banyak masyarakat yang bergelantungan di jendela, pintu, hingga atap kereta.
Mudik di india mencapai puncaknya ketika hari fetival of light atau dikenal dengan Diwali Diwali g merupakan hari besar umat hindu yang memang dirayakan secara besar-besaran
Bahkan di cina tradisi mudik akan terjadi di tahun baru Imlek. Momen imlek juga merupakan momen untuk bersilahturahmi yang identik dengan kebersamaan keluarga.
Di amerika serikat hari thankgiving juga dihebaohkan dengan mudik. Thanksgivingadalah hari pengucapan syukur dimana masyarakat berkumpul bersama keluarga.
Saya ingin mengutip satu cuplikan pendek dari delapan kumpulan tulisan mudik doctor umar kayam, essais, cerpenis, sastrawan dan budayawan terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini
Ini dia cuplikan utuh itu:
“Pada lebaran pagi itu, seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka makan hidangan khas yang dimasak eyang putri. Opor ayam, sambal goreng ati, dendeng ragi, dan lontong, beserta bubuk kedelai.
Mereka makan dengan lahap karena masakan eyang memang selalu enak.Yusuf selalu senang setiap kali dia datang menginap di rumah mertua perempuannya itu.
Selain dia senang dapat melepas rindunya kepada eko, anak tunggalnya itu, dia juga senang merasa ikut dimanja dengan berbagai hidangan dan penganan oleh mertuanya.
Seakan hidup, bagi mertuanya itu, hanyalah memanjakan cucu tunggal dan menantunya. Kenapa tidak, desah Yusuf.
Sejak Siti, istrinya, dan jauh sebelumnya mertua laki-lakinya, meninggal, apalah kesibukan dan perhatian ibu tua itu selain tertumpu kepada cucu tunggal dan menantu yang menduda itu.”
Itulah penggalan cerpen karya umar yang jadi favorit saya. Episode membincang “mudik”
Saya selalu tersihir mendengarkan berbagai hal mengenai umar kayam dan karya cerpennya yang banyak menyoroti tentang “mudik”
Bukan hanya tersihir, saya juga sering mengacungkan jempol kepada mereka yang punya kecakapan dalam story telling dalam menggali berbagai hal tentang mudik.
Mudik merupakan budaya yang mencerminkan banyak realitas. Yang tonjolannya paling manis justru aspek “penderitaan” bukan sebagai hari perayaan yang penuh “kebahagiaan”.
Mudik sebagai realitas sosial yang selalu dibumbui penderitaan bagi masyarakat bawah insan yang haus untuk kembali ke haribaan keluarga yang tak jarang dibumbui oleh beragam kisah-kisah pilu.
Cerpen mudik umar kayam berhasil menggambarkannya secara unik dan haru semuanya
Mudik dan lebaran digambarkan dengan banyak diksi penderitaan: kere-kere berderet di kuburan, berdesakan di kereta api dengan aroma bau apak dan penguk, sepanjang jalan sawah-sawah kebanjiran, jembatan-jembatan putus, dan jalan-jalan yang semerawut oleh bus dan mobil.
“Melepas rindu kepada anak tunggal, yang hanya sempat dikunjungi setahun sekali lewat perjalanan kereta api yang melelahkan dan untel-untelan, bukankah juga sangat, sangat penting.”
Paragraf dari cerpen itu meski singkat tetapi berhasil menggambarkan “perjuangan” mudik.
Lantas saya bertanya, sejak kapan terma “mudik” digunakan? Jujur, saya baru tahu jawabannya dari seorang teman Menurutnya, terma mudik baru digunakan pada era tahuntujuh puluhan
Menggambarkan aktivitas pulang kampung di saat lebaran yang dilakukan oleh para warga kota.
Budaya pulang kampung memang sudah ada sejak lama tetapi tidak terorganisir, tidak seperti yang terjadi sejak tahun Sembilan puluhan hingga kini di mana mudik diorganisir secara massif.
Pemerintah dan berbagai pihak melibatkan diri secara aktif dalam budaya mudik masyarakat.
Bahkan para pengusaha memfasilitasi mudik dengan beragam pernak-pernik: dari mulai memberikan fasilitas mudik gratis, membuka layanan service kendaraan sepanjang jalan yang dilalui oleh pemudik, dan banyak lagi.
Entahlah… saya juga terperangkap ke dalam terma mudik di hari kemarin. Terma mudik yang membuat saya alpa untuk menulis untuk kolom bang darman.
Hanya sehari….
Siaappp balas junior saya ketika pesan whatsapp saya layangkan…