Laman situs “medical daily” mengungkapkan bahwa bila Anda termasuk orang yang suka menonton film pornografi, Anda tak sendiri.
Menurutnyha, situs pornografi memiliki lebih banyak penonton dibanding dengan kombinasi Netflix, Amazon, dan Twitter.
Hasil penelitian menunjukkan, tidak semua penonton pornografi itu sama.
Malah, ada tiga kelompok penonton, dan hanya satu yang masuk kategori “sehat”.
Menurut studi yang muat di Journal of Sexual Medicine online, ada tiga jenis penonton pornografi: tipe rekreasional, tipe kompulsif, dan tertekan.
Penonton yang masuk dalam kategori rekreasional adalah yang paling banyak, yakni mencapai 75 persen dari partisipan yang terlibat dalam penelitian ini.
Kelompok itu menonton film porno total sekitar dua puluh empat menit dalam seminggu, mayoritas perempuan, dan berada dalam sebuah hubungan (menikah atau berpacaran).
Kelompok kedua adalah yang “tertekan”, yakni memiliki tekanan emosional karena kebiasaannya menonton porno.
Mereka rata-rata menonton tujuh belas menit setiap minggu.
Terakhir adalah kelompok kompulsif, yang jumlahnya sekitar sebelas persen.
Walau jumlahnya lebih sedikit dibanding dua kelompok lain, tetapi kebiasaannya menonton jauh lebih banyak. Kelompok ini rata-rata menonton materi pornografi seratus sepuluh menit setiap minggu.
Dalam penelitian tersebut, tim dari Kanada meminta delapan ratusan sukarelawan mengisi kuesioner tentang kebiasaannya terkait pornografi, misalnya seberapa sering menonton, level emosionalnya ketika menonton, dan sebagainya.
Menurut tim peneliti, hanya kelompok rekresional yang masuk dalam kategori “sehat”, dalam arti sesekali menonton materi pornografi ternyata memberi manfaat.
Diingat pula kecanduan ini jangan sampai berlebihan
Menurut penelitian, salah satu hal yang membuat orang dengan adiksi seks sulit sembuh adalah akses yang mudah ke situs-situs pornografi.
Kecanduan seks, yakni ketika seseorang sulit mengendalikan pikiran, perasaan, atau perilaku yang terkait seks, bisa dialami siapa saja.
Diperkirakan satu dari dua puluh lima orang dewasa muda mengalami kecanduan jenis ini.
Peneliti dari Univeristas Cambridge mengklaim, kecanduan seks diperparah oleh mudahnya kita mengakses gambar-gambar porno di internet.
Kemudahan tersebut menjadikan seseorang dengan perilaku seks kompulsif lebih sulit mengendalikan hasratnya.
Dalam penelitian, para ahli menguji para pecandu seks dan pria sehat untuk membandingkan respon mereka saat melihat gambar porno.
Pemindaian otak mengungkapkan, pecandu seks mengalami perubahan perilaku berupa penurunan efek saat terus menerus ditunjukkan gambar porno yang sama.
Terjadi penurunan aktivitas di otak yang terkait dengan ganjaran.
Jika stimulus semakin berkurang, maka perasaan senang pun terus menurun sehingga seorang pecandu seks akan mencari gambar baru untuk mendapatkan rasa kesenangan yang sama.
Para ahli membandingkan hal itu dengan peminum kopi yang mendapatkan semacam “gebrakan” kafein saat minum kopi dan sensasi itu terus berkurang sehingga mereka harus minum kopi lebih banyak lagi.
Efek kebiasaan itu juga terjadi pada pria sehat yang terus menerus ditunjukkan video porno yang sama. Tetapi ketika mereka diperlihatkan video yang baru, level ketertarikan dan rangsangan kembali lagi.
Hal itu menunjukkan, seorang pecandu seks akan terus menerus mencari gambar porno baru untuk mendapatkan efek yang sama.
“Untuk orang yang memiliki perilaku seks kompulsif, hal ini menjadi pola perilaku yang sulit mereka kontrol, hanya fokus pada gambar porno,” kata ketua peneliti Dr.Valerie Voon.
Dalam penelitian lain, Voon mengungkapkan, ada tiga area otak pencandu seks yang lebih aktif jika dibandingkan orang yang normal.
Area otak itu, ventral striatum, dorsal anterior cingulate dan amygdala, juga akan aktif pada pecandu narkoba saat diberikan stimulus narkoba.
Dan apakah kecanduan pornografi ini membuat hubungan dengan istri akan berantakan.
Dua penelitian yang baru-baru ini diterbitkan dalam Archives of Sexual Behavior berupaya untuk menjawab pertanyaan ini, melampaui asumsi sederhana bahwa pornografi pasti merugikan suatu hubungan.
Penelitian pertama dilakukan oleh Taylor Kohut dan rekan-rekannya dari University of Western Ontario.
Mereka memandang bahwa penelitian sebelumnya dengan topik yang sama, terlalu mengarah dari “atas ke bawah”. Alias, terlalu berdasar pada teori-teori perilaku manusia yang menganggap pornografi berbahaya.
Metode tersebut sering gagal untuk mengidentifikasi efek positif dari penggunaan pornografi. Sebaliknya, Kohut memilih pendekatan dari “bawah ke atas”.
Dalam studi lain yang dilakukan oleh Samuel Perry dari University of Oklahoma menunjukkan, bahwa sebagian besar penelitian tentang penggunaan pornografi hanya bertindak sebagai snapshot.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan hanya berputar pada berapa banyak responden menghabiskan waktunya untuk mengakses situs porno dan seberapa baik hubungan mereka dengan pasangan.
Ini tidak ideal, kata Perry, karena mayoritas penelitian menganggap bahwa perilaku pornografi menyebabkan masalah pada pernikahan.
Namun, bisa jadi ada ketidakpuasan sebelumnya dalam pernikahan yang kemudian mengarahkan orang kepada perilaku pornografi.
Hanya ketika seorang peneliti melacak penggunaan pornografi dan kualitas hubungan dalam jangka lama, kita baru bisa mengetahui dengan pasti, apakah pornografi yang jadi penyebab rusaknya hubungan atau pornografi sebagai pelarian dari hubungan yang telah retak sebelumnya.
Nampaknya, dari hasil evaluasi ini, kita bisa menyimpulkan bahwa pornografi bukan merupakan efek samping dari hubungan yang buruk, tapi mungkin sebagai faktor pendahulu dari turunnya kualitas hubungan.
Namun, tetap tidak diketahui dengan pasti apakah pornografi adalah penyebab hubungan yang tidak bahagia atau bukan.
Bisa jadi, mereka yang bermasalah dengan hubungan pribadinya karena alasan yang tidak diketahui, cenderung lebih banyak berhubungan dengan hal-hal berbau porno.