Site icon nuga.co

Instagram Mengubah Cara Orang Berlibur

Laman “pop sugar,” hari ini Rabu, 13  September, menurunkan laporan panjang tentang p[engaruh Instagram terhadap kebiasaan berlibur seseorang.

Lewat sebuah pertanyaan yang mencolek, Instagram menulis, apakah liburan Anda “dihitung” jika belum mengunggah fotonya di Instagram?

Foto dengan geo-tagged kini menjadi postcard modernInstagram sendiri diluncurkan tujuh tahun silam memang tak terbantahkan berdampakt besar pada destinasi liburan  dan cara orang membagikan pengalaman itu pada teman dan keluarga.

Sebut saja hotel dan restoran yang memahami kebutuhan foto para turis kini memilih desain yang ” instagramable” untuk interiornya, mempercantik satu dinding khusus untuk latar foto, dan dalam prosesnya membiarkan foto-foto yang diunggah ke Instagram itu sebagai alat marketingnya.

Ketika merencanakan sebuah liburan, seorang traveler biasanya akan melakukan riset tempat mereka makan dan mengingap.

Tapi, berkat Instagram, kini para turis juga memasukkan unsur estetika dalam liburan mereka.

Instagram menawarkan inspirasi tak terbatas untuk mendukung hal itu, dan fitur bookmarking membuat kita dengan mudah menyimpan destinasi incaran yang bisa kita lihat kembali saat merencanakan liburan.

“Sekitar sembilan puluh sembilan persen riset perjalanan kini dilakukan lewat Instagram,” kata travel influencer Georgia Hopkins dari Melbourne, Australia. Ia memiliki blog dan akun Instagram It’s Beautiful Here.

Ketika memilih sebuah tujuan liburan, Hopkins mengaku selalu mencari tanda pagar spesifik di Instagram.

“Saya banyak melakukan pencarian dan belum memutuskan sampai menemukan sesuatu yang unik, menarik, dan belum terlalu populer,” kata wanita yang memutuskan berhenti menjadi banker untuk menjadi pelancong penuh waktu ini.

Bar, hotel, dan restoran dengan interior yang memanjakan mata, merupakan tempat yang wajib dikunjungi karena dianggap memiliki kualitas yang dicari para pelancong seperti Hopkins

Jika Anda sedang ke kota London, mampirlah ke restoran pink Sketch untuk minum kopi sore.

Di sana Anda akan melihat para blogger yang dipenuhi rasa bahagia karena bisa datang ke restoran yang sedang hits di media sosial ini.

Tak mengherankan jika Sketch banyak dikunjungi para millenial pecinta Instagram.

Sketch memiliki semua kriteria: tema warna yang menarik, ada unsur kejutan, sesuatu yang bergerak untuk boomerang, makanan dengan penataan yang cantik, dan pesan-pesan cerdas di dinding dan cangkirnya.

Berkat Instagram pula, toilet restoran itu juga kini menjadi destinasi yang wajib dilihat oleh pengunjung, dan tentunya wajib diposting.

Di Los Angeles saat ini juga ada tren “viral museum” yang menjadi daya tarik baru para turis. The Museum of Ice Cream di New York dan Los Angeles ini merupakan pameran yang terinspirasi film “The Willy Wonka”.

Pada saat museum ini dibuka, terjual tiga puluh ributiket dalam lima hari

Atraksi utamanya, selain es krim, adalah kolam renang berisi “sprinkle pelangi”.

Karena tujuan utamanya adalah untuk berfoto, tentu saja sprinkle itu bukan asli, melainkan terbuat dari plastik. Yang penting semua ruangan pameran terlihat menarik untuk difoto.

Resep yang sama kini dipakai oleh berbagai hotel, restoran, cafe, dan juga tempat-tempat wisata, di seluruh dunia.

“Pemilik bisnis bisa berasumsi bahwa para pelancong akan membagikan foto-foto dari perjalanan mereka di media sosial, sehingga mereka bisa membantu memberikan pengalaman yang dibutuhkan,” kata Sean O’Neill, editor di Skift, yang menganalisis tren di industri travel.

Dari pengamatannya, menurut O’Neill, media sosial cukup sukses dimanfaatkan hotel dan restoran untuk mendongkrak pendapatannya.

Misalnya saja Hotel Virgin yang membuat video singkat bagaimana cara membuat cocktails menggunakan bahan-bahan di kulkas kamar hotel.

Video itu ternyata mampu meningkatkan penjualan mini bar di hotel itu sampai tiga ratus persen.

Hasrat untuk mendokumentasikan setiap momen dari perjalanan ternyata bisa menjadi sebuah candu, terutama jika Anda sedang berada di tempat yang populer di Instagram.

Karena ingin membuktikan pada follower di media sosial kita ada di tempat berlibur impian, saat ini banyak destinasi turis yang berubah menjadi lautan ponsel dan “tongsis”.

Terus-terusan terhubung dengan ponsel bisa mengurangi kemampuan kita untuk rileks dan mendapatkan pengalaman baru. Padahal itu adalah tujuan utama kita berlibur.

Kebutuhan untuk terus meng-update perjalanan kita juga membuat kita kurang menikmati perjalanan itu sendiri. Buat apa jauh-jauh ke Paris jika Anda hanya akan melihat Mona Lisa melalui layar Android Anda.

Ketika Anda lebih peduli pada followers dan teman-teman, tentu sulit untuk bisa terhubung dengan lingkungan lokal yang kita kunjungi, bahkan seringkali hal itu membuat Anda jadi turis yang tidak sopan.

Baru-baru ini Milan, Italia, menjadi salah satu kota yang mulai melarang penggunaan “tongsis” sebagai usaha untuk melawan perilaku anti-sosial. Lucu bukan, media sosial ternyata membuat kita jadi individu yang kurang sosial.

Lebih mementingkan unggahan di Instagram juga membuat banyak tempat menjadi homogen. Setiap restoran, hotel, dan cafe yang kita kunjungi menjadi campur aduk, tak jelas lagi lokasinya di mana.

Wall paper dengan tulisan menggelitik, misalnya, bisa kita temui di Bandung atau Melbourne.

“Belakangan ini kita melihat terlalu banyak foto sempurna di media sosial, dan tidak menunjukkan sesuatu yang nyata dan otentik dari perjalanan kita,” kata O’Neill.

Dia juga mengkritik foto-foto yang dipamerkan tersebut karena menunjukkan konsumerisme.

Seberapa sering Anda melihat foto di Instagram berupa boarding pass pesawat kelas bisnis di atas sampul kulit untuk pasport, atau kolam renang infinity di pinggir laut.

O’Neill juga menganggap percuma traveling jika kita hanya mencari sesuatu yang selama ini sudah kita anggap nyaman dan tidak mau mencoba pengalaman baru.

Tapi, menurutnya masalahnya bukan hanya pada Instagram. “Bisa jadi ini adalah cerminan gaya hidup kita yang terbiasa meniru,” katanya.

Walau begitu, menurut Hopkins, Instagram tetap memiliki dampak positif. Terutama jika kita menggunakannya untuk membuat perencanaan liburan dan bukannya mendokumentasikan setiap hal yang dilakukan saat berlibur.

Exit mobile version