Site icon nuga.co

Ingin “Fresh?” Jangan Banyak Teman di Facebook

Banyak teman di Facebook?

Lebih dari tiga ratus orang?

Nah, bersiap-siaplah untuk stress.

Apa iya?

Tulisan di laman situs “ Independent,” yang mengutip para peneliti dari Montreal University, menjawab iya.

Berdasarkan hasil studi terhadap ratusan orang remaja yang mempunyai banyak teman di media sosial, terutama Facebook, menyatakan stress memiliki banyak teman.

Selama penelitian ini mereka juga diperiksa kadar hormon kortisolnya selama empat hari berturut-turut.
Hormon kortisol adalah hormon yang bisa menunjukkan kadar stres seseorang.

Terbukti mereka yang punya teman Facebook lebih banyak memiliki kadar kortisol yang lebih tinggi pula.
Para peneliti menyimpulkan hal ini menjadi depresi di kemudian hari.

Meski tak ada satupun responden yang mengidap depresi, Profesor Sonia Lupien yang memimpin penelitian itu mengatakan, “Meski faktor eksternal lain juga berperan, kami menduga efek Facebook pada kortisol bisa berkisar antara delapan persen.”

“Kami bisa memperlihatkan bahwa dengan teman lebih dari tiga ratus orang di Facebook, remaja bisa menunjukkan kadar kortisol yang tinggi.”

“ Maka kami bisa membayangkan bagaimana dengan mereka yang memiliki teman sampai ribuan di Facebook. Bisa jadi mereka berisiko lebih besar mengalami stres,” Lupien menambahkan.

Melalui empat faktor pengukuran ini, tim peneliti mengumpulkan sampel kortisol dari para partisipan.
Sampel ini diambil empat kali sehari selama tiga hari. Tingkat stres dari sampel kortisol ini tentu saja tidak seluruhnya disebabkan oleh aktivitas di media sosial.

Studi terpisah memperlihatkan, kadar kortisol tinggi di pagi hari pada anak usia 13 tahun akan meningkatkan risiko menderita depresi di umur 16 tahun sebesar 37%.

Namun tidak ada satu partisipan pun yang menderita depresi pada saat penelitian dilakukan. Lupien dan timnya tidak bisa menyimpulkan bahwa mereka terbebas dari risiko berkembangnya depresi.

Partisipan yang memperlihatkan tingkat hormon stres tinggi tidak seketika menjadi depresi. Dikatakan Lupien, ini bisa terjadi di kemudian hari.

“Beberapa studi memperlihatkan, butuh 1sebelas tahun sebelumnya untuk ‘menyiapkan’ seseorang menjadi depresi, pada anak-anak dengan kadar kortisol yang konsisten selalu tinggi,” simpulnya.

Hasil survei ini membantah anggapan positif yang selama ini terlanjur melekat dengan media sosial, bahwa banyak teman bisa memicu rasa segar.

Hasil studi ini memang mengaitkan kebiasaan memakai media sosial dengan perilaku narsistik, perselingkuhan, hingga rasa depresi karena kita melihat kehidupan orang lain lebih menyenangkan.

Lewat berbagai saluran media sosial, kita bukan hanya mengetahui kabar-kabar bahagia dan humor yang beredar, tapi terkadang juga kabar tak menyenangkan dari teman.

Misalnya saja, ada teman yang kehilangan anak atau pasangannya, anggota keluarga yang bercerai, atau mantan teman sekantor yang dipecat dari kantornya.

“Saat kita mengetahui kemalangan yang sedang dialami teman atau keluarga, hal itu juga bisa menambahkan stres pada diri kita. Stres memang bisa menular,” kata Keith Hampton, kandidat profesor komunikasi dan peneliti yang melakukan survei ini.

Media sosial dan teknologi digital lainnya memang didesain untuk membuat orang dengan cepat mengetahui apa yang terjadi pada hidup orang lain, bukan hanya kabar yang membahagiakan tapi juga kesedihan.

Itu sebabnya kita juga bisa merasa ikut stres atau sedih.

“Wanita sebenarnya lebih peka pada situasi yang dihadapi orang lain, ini membuat mereka lebih rentan mengalami stres yang menular tadi,” kata Hampton.

Teknologi memang bagaikan dua sisi mata uang.

Tinggal bagaimana kita secara bijak menyikapinya dan memanfaatkan media sosial untuk melakukan gerakan sosial.

Salah satu contohnya adalah gerakan pengumpulan dana untuk membantu bayi yang sedang menghadapi penyakit langka.

Ben Marder, penulis laporan itu mengatakan, “Facebook digunakan untuk menjadi sebuah pesta besar untuk semua teman-teman Anda.

Tetapi secara khusus ini mengakibatkan kecemasan yang besar bagi karyawan dan orang tua.

Kehadiran ibu, ayah, atau bos dalam pesta itu memiliki potensi ‘ranjau’ sosial yang menjadi peristiwa penuh kecemasan.

Banyak pihak, orang tua, bos, atau pengguna Facebook sendiri akan mengatur foto atau komentar atas status mereka. “Mereka mengatur perilaku offline mereka untuk keberadaan online”, kata Ben Marder.

Jadi misalnya jika pengguna Facebook itu seorang perokok, maka bisa saja ketika di jejaring sosial mereka tidak akan memperlihatkan perilaku tersebut.

“Orang-orang akan mencoba dan menyajikan versi terbaik dan membosankan dari dirinya untuk menyenangkan ‘penonton’ karena mereka begitu peduli dengan yang orang lain pikirkan,” Marder.

Exit mobile version