Site icon nuga.co

Awas!! Depresi dan Stress Bisa Impoten

Apa yang membedakan laki-laki dari perempuan?

Jawaban pasnya, hormon testosteron.

Hormon testosteron berperan penting dalam faktor karakter laki-laki seperti suara, otot-otot besar, rambut khas lelaki, termasuk juga untuk sperma dan libido atau gairah seksual.

Laki-laki bisa memiliki karakter khas tersebut karena peran testosteron.

Namun pertanyaannya, apakah laki-laki yang kekurangan testosteron menjadi tidak laki-laki lagi?
Psikolog klinis dewasa Tara de Thouars menjawab ‘tidak juga’.

Menurut Tara, pada dasarnya ketika level testosteron berkurang akan ada dampak yang muncul, di antaranya adalah disfungsi seksual, disfungsi ereksi, dan penurunan libido.

“Disfungsi seksual sangat ditakuti laki-laki. Karena kejantanan laki-laki dilihat juga dari kemampuan berhubungan seksual, bagaimana dia memuaskan pasangan. Karena jika tidak bisa melakukan itu rasanya enggak jantan,” katanya.

Tara menjelaskan, penelitian oleh University of Maryland Medical Centre mengatakan bahwa hampir setiap laki-laki pernah mengalami disfungsi ereksi.

Namun, menurut Tara yang perlu menjadi perhatian adalah intensitasnya, apakah problem tersebut mengganggu lelaki tersebut, atau mengganggu pasangannya sehingga harus segera diatasi.

“Jika terjadi sesekali mungkin saja itu faktor psikologis, misalnya stres, banyak pikiran sehingga gairah hilang.”

“ Tapi jika intensitasnya besar, terjadinya tidak hanya sesekali berarti ada permasalahan yang lebih besar daripada sekadar masalah psikologis atau stres. Itu yang harus dicek, karena harus dituntaskan ke akar masalah.”

University of Maryland juga menemukan bahwa lima belas persen disfungsi ereksi disebabkan oleh faktor psikologis.

“Tapi kita harus lihat juga dari faktor fisik atau kesehatannya, apakah memang sudah usia, ada diabetes, atau penyakit lain.”

“ Kalau akar masalahnya dari masalah kesehatan berarti harus dituntaskan dari situ,” ujar lulusan Bachelor of Arts in Psychology dari University of Queensland Australia itu.

Tara menjelaskan beberapa penyebab disfungsi ereksi secara psikologis adalah stres, depresi, kecemasan, dan permasalahan dengan pasangan.

Orang yang stres sulit mengalihkan pikiran dari masalah-masalah dalam hidup, misalnya ketika ada masalah kerjaan dan masalah finansial.

“Pria punya peran sangat tinggi. Jika dia merasa gagal dalam pekerjaan, maka dia merasa harus berhasil dalam hal lainnya, seperti hubungan seksual, sehingga dia punya tuntutan yang sangat besar pada saat mau berhubungan seksual.”

“ Tanpa dia sadari tuntutan itu justru membuat dia jadi tambah stres lagi pada akhirnya menjadi depresi.”

Depresi adalah perasaan dan pikiran buruk mengenai diri sendiri dan sekitarnya dan ketidakseimbangan kimiawi dalam otak.

“Orang yang depresi biasanya mood-nya selalu low, perasaannya selalu enggak enak, mood selalu sedih, enggak nafsu ngapa-ngapain hilang minat, sehingga memengaruhi kegiatan seksualnya juga.

Lalu ada kecemasan, asumsi-asumsi yang diyakini terjadi.

Beberapa contoh kecemasan yang menyebabkan disfungsi ereksi adalah, berpikir posisi seksual yang bagus seperti apa nanti, bisa tidak menguasai pasangan, nanti pasangan bahagia tidak.

Semua pikiran kecemasan tersebut jika dipikirkan terus-menerus akan membuat gairah seksual otomatis menurun, kata Tara.

Banyak orang percaya bahwa semakin sering melakukan hubungan seksual semakin bahagia pasangan.

Namun ternyata bukan itu kuncinya. Sebuah penelitian terbaru menemukan bahwa ternyata hubungan seks yang sehat pada pasangan yang memang sudah berkomitmen adalah: satu kali sepekan saja.

Dikutip dari Today, berhubungan seks terlalu sering tidak membuat manusia lebih bahagia, kata pemimpin penelitian, Amy Muise, psikolog sosial dari University of Toronto-Mississauga.

Namun sebaliknya jika hubungan seks sangat jarang dilakukan, katakanlah bahkan tidak terjadi sekalipun dalam sepekan, kebahagiaan juga akan menguap.
“Sekali sepekan menurut saya masuk akan dalam berbagai cara karena saya pikir orang tetap akan memandangnya sebagai sesuatu yang reguler dilakukan,” kata Muise.

Muise dan para peneliti menggunakan data puluhan ribu orang Amerika untuk meneliti hubungan antara kebahagiaan dan frekuensi hubungan seksual.

Salah satu dari kejutan besarnya adalah, hal itu berlaku setara pada pria dan wanita, tua dan muda. Tak masalah apakah hubungan yang berlangsung lama atau baru.

Selain menghitung kebahagiaan dibandingkan dengan frekuensi berhubungan seksual, para peneliti juga melihat hubungan antara kebahagiaan dengan uang. Hasilnyapun cukup mengejutkan.

Ternyata lebih banyak orang yang berharap bisa melakukan hubungan seks yang teratur dan mencapai kepuasan dibanding sekadar kekayaan.

“Cukup menyenangkan mengetahui bahwa sekali sepekan saja sudah cukup. Para peneliti ini sudah menemukan termometer seksual untuk zaman modern ini,” kata Helen Fisher, peneliti senior dari Kinsey Institute.

Frekuensi sekali sepekan itu, menurut Fisher mempengaruhi sistem otak yang berbeda. Hal itu kemudian berefek pada kesehatan hubungan dengan pasangan dan kebahagiaan secara keseluruhan.

“Berhubungan seksual secara rutin akan mendorong testosteron kita yang akan menjaga gairah seksual juga,” jelas Fisher.

“Stimulasi apapun pada genital, akan mendorong sistem dopamin, yang akan menimbulkan rasa cinta yang romantis. Dan stimulasi orgasme sebagai produk dari kerja hormon oksitosin akan menciptakan perasaan keterikatan yang mendalam,” kata Fisher.

Sayangnya satu hal yang tak tercakup dalam penelitian ini adalah apakah orang yang jarang berhubungan seks akan jadi lebih bahagia jika mereka meningkatkan hubungan seks mereka? Inilah yang dipertanyakan Dr. Gail Saltz, psikiatris dari New York Prebysterian and Weill Cornell Medicine.

“Satu hal yang peneliti tidak masukkan ke penelitian ini adalah, jika seseorang terlihat tak bahagia apakah kita bisa memintanya untuk lebih banyak berhubungan seks dan itu akan membuatnya lebih bahagia,” kata Saltz.

Tentu saja, kata Fisher, jika berhubungan seksual dilakukan rutin tiap pekan ada trik yang harus dilakukan agar tak ada risiko malah tidak melakukan sama sekali. “Buat jadwal, jika Anda bukan orang yang spontan.”

Exit mobile version