Site icon nuga.co

Ketika Agen Berita Melawan Jadi “Kuno”

Ketika internet dan teknologi digital menjadi “wabah” dalam akses informasi global, tak banyak orang yang mengingat peran kantor berita semacam “reuter, associated pers atau “ap” atau pun “agence france presse” yang lebih dikenal dengan “afp.” Tentu masih ada kantor berita semacam “mena, tanjug, xhinhua maupun antara milik Indonesia.

Masa kejayaan agen berita itu makin disudutkan oleh akses portal atau media social semacam “facebook.” Tapi, peran kantor berita itu belum lagi berakhir. Mereka kini berubah menjajal teknologi digital dengan mengembangkan “content product” yang sangat kreatif.

Ditengah lebatnya hutan media social dan peran teknologi digital, agen berita ternyata belum “rest in peace.” Mereka terus menantang zaman, menyalin teknologi dan menyajikan informasi siap saji di awal waktu.

Itulah tantangan yang dijawab oleh salah satu dari agen berita itu, “agence french presse” milik Perancis dan bermarkas di Paris. Mereka datang dengan tema yang sesuai dengan zamannya untuk bisa tetap eksis.

Dan inilah yang disuarakan mereka.“Tantangan zaman digital memang luar biasa,” demikian pidato Emmanuel Hogg, CEO Kantor Berita Perancis AFP, dalam “Konferensi Jurnalisme dan Sosial Media” yang digelar Canal Francais International (CFI), di Montpellier, Prancis, Jumat 14 Juni 2013. “Begitu luar biasanya sehingga sebagian orang khawatir, akankah agensi kantor berita seperti AFP akan jadi kuno seperti dinosaurus?”

Kantor Berita AFP, berdiri 1835, kini memiliki 1.500 jurnalis yang tersebar di seluruh dunia. Setidaknya satu dasawarsa lalu, apa pun berita yang dirilis AFP akan dimuat di ribuan surat kabar di seluruh dunia. Seiring dengan revolusi Internet dan dunia digital, kantor berita mana pun tak bisa lagi berlaku sama.

Terlebih dengan semakin menguatnya jejaring sosial media, siapa pun di mana pun, bisa mendapatkan dan sekaligus menyebarkan informasi. Konferensi yang dihadiri 135 profesional jurnalis, blogger, praktisi IT, dari 35 negara ini membahas dinamika yang terjadi di zaman digital, yang terkait antara media tradisional (cetak dan elektronik) dan media yang menyatukan berbagai format online, radio, video, dan sosial media.

Perubahan paling nyata, menurut Hogg, adalah cara orang mengkonsumsi media. Dahulu, pagi diawali dengan membaca koran, lalu menonton televisi berita, dan mendengar radio. Kini, dengan gadget dan telepon pintar, semuanya berubah. Facebook, Twitter, blog, juga segenap isi Internet, menjadi sumber informasi utama.

Situasi makin kompleks dengan adanya krisis ekonomi di Eropa dan Amerika. Media cetak, Hoggs menjelaskan, dibiayai sebagian besar oleh iklan. Konsumen disubsidi untuk mendapatkan selembar koran atau majalah. Begitu pula media online, biaya operasional juga disubsidi iklan. Hogg melanjutkan, “Dengan ekonomi yang tergerus, hal ini menimbulkan pertanyaan baru. Apakah di masa depan, orang harus membayar untuk setiap berita yang digunakan?”

Sudah tentu, di tengah situasi semacam ini, media dan kantor berita perlu mencari jalan tengah. Model bisnis baru perlu ditemukan. “Saya belum tahu jawaban yg pasti, mungkin berbeda-beda untuk tiap situasi,” kata Hogg. “There is no silver bullet for this.”

“Adakah zaman digital lantas membuat kita putus asa? Tentu tidak,” kata Hogg menegaskan. “Kita harus mencari keseimbangan baru, dengan lebih interaktif dan engagement pada publik.”

Beberapa tahun terakhir, AFP berusaha menerapkan beberapa jurus untuk menemukan keseimbangan baru tersebut. Pertama, membuat berita yang lebih solid, dengan pilihan angle yang tidak generik, dan dilengkapi analisis. “Hal-hal seperti ini yang bisa membuat klien kami membeli dari AFP, di tengah kompetisi ketat dengan berbagai kantor berita,” kata Jocelyn Zablit, Editor Desk Eropa-Afrika AFP, dalam kesempatan terpisah.

Jurus kedua yang juga penting, Emmanuel Hogg menambahkan, adalah konten multimedia. Tiga tahun lalu, AFP mulai serius menggarap konten multimedia dengan memproduksi 20-an video setiap hari. Ternyata, video justru menjadi penarik iklan yang cukup besar. Oleh karena itu, divisi multimedia terus berkembang dan saat ini AFP memproduksi 200-an video setiap hari.

“Multimedia, foto, video, infografik, secara total menyumbang 25 persen pendapatan kami tahun lalu. Ada peningkatan 5 persen dibanding tahun 2011,” kata Hogg. Peningkatan ini tergolong bagus mengingat peningkatan kontribusi berita teks dalam setahun kurang dari satu persen. “Jadi, kami cukup yakin bahwa multimedia adalah masa depan,” kata Hogg.

Jurus ketiga di AFP, menurut Hogg, adalah engagement dengan publik sosial media. Blogger, Twitter, Facebook, menjadi partner utama AFP untuk mencari dan mengembangkan konten lokal. Hal ini penting terutama karena biaya menerjunkan reporter di seluruh dunia sangatlah mahal, dan sering tidak mungkin. “Kita tak bisa ada di mana saja dan kapan saja, seperti di Syria atau Turki,” kata Jocelyn Zablit.

Maka, yang dilakukan adalah menggunakan informasi dari sosial media, dengan verifikasi terlebih dahulu. “Kami meminta blogger memotret kejadian dengan memasukkan landmark daerah itu dalam foto. Bisa juga dengan menampilkan selembar koran lokal lengkap dengan tanggal kejadian,” kata Zablit. “Dengan begitu kami bisa memverifikasi.”

Adakah ketiga jurus utama tersebut berhasil membuat AFP bertahan secara bisnis? “Ya,’ kata Emmanuel Hogg. Secara nominal, jumlah klien bertambah meskipun nilai kontrak per klien tidak lagi sebesar dahulu. “Saya rasa, ini bagian dari pergulatan mencari keseimbangan.”

Sebagian tulisan ini di kutip dari TEMPO

Exit mobile version