Site icon nuga.co

Berpolitik dengan Etika

TINDAKAN penyelamatan partai yang diambil SBY selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, sekaligus presiden yang masih berfungsi dari Republik Indonesia, adalah drama politik yang perlu direnungi para intelektual dan kaum terdidik negeri ini.

Isu ini sangat serius karena mencerminkan kebajikan idealistis yang kini raib dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang dulu sangat dihayati oleh tokoh-tokoh pendiri negara-bangsa Indonesia, penggerak revolusi kemerdekaan kita. Bung Karno, misalnya, dulu pernah mengutip diktum Nehru—intelektual-pejuang kemerdekaan India dan Presiden Partai Kongres—yang ia ucapkan sesudah dilantik menjadi Perdana Menteri India: ”when my loyality to my country begins, my loyality to my party ends”. Kutipan ini diucapkan Bung Karno di depan para undangan, termasuk para elite Partai Nasional Indonesia, organisasi politik yang dia dirikan sejak zaman kolonial, beberapa hari setelah dia dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia.

Ucapan yang diterapkan secara konsekuen oleh kedua negarawan tersebut menunjukkan mereka beretika dalam berpolitik. Etika yang dengan sadar dipasang dalam politik merupakan kendali terhadap kecenderungan alami berpolitik menjadi politicking yang serba liar dan rakus. Mereka sadar bahwa begitu disumpah menjadi PM (Nehru) dan presiden (Bung Karno), mereka menjadi pejabat dari negeri yang menghadapi aneka ragam masalah. Mereka dituntut bekerja penuh 24 jam sehari menangani masalah-masalah itu karena pada ketepatan solusinya itulah bergantung perbaikan nasib jutaan warga bangsanya.

Untuk kinerjanya ini, mereka mendapat imbalan aneka fasilitas dan keistimewaan protokoler yang tidak diberikan kepada pejabat lain. Mereka tidak dituntut mengurusi partainya karena dalam sumpah jabatannya hal itu tidak tercantum secara eksplisit. Dengan kata lain, mereka bukan lagi fungsionaris partai yang telah dibentuknya atau membesarkannya atau mengusungnya ke jabatan yang terhormat di negerinya.

Kedewasaan berpolitik

Banyak tindak-tanduk elite partai tidak menunjukkan sikap kedewasaan berorganisasi. Alih-alih duduk bersama di markas, bertatap muka dan berdialog secara kolegial, para politikus itu justru membeberkan pendirian masing-masing tentang masalah intern kepartaian di depan publik. Padahal, pendirian yang dibeberkan itu bukan merupakan solusi masalah, melainkan ungkapan ”kebersihan diri” belaka.

Politikus Jero Wacik, yang juga pejabat negara (menteri) dan fungsionaris partai (Sekretaris Dewan Pembina PD), misalnya, merasa perlu mengadakan konferensi pers hanya untuk menyatakan bahwa dia telah meminta SBY turun tangan secepat mungkin. Sebenarnya, itu lebih elegan bila dia lakukan lewat SMS atau telepon langsung kepada Presiden yang sedang bertugas di luar negeri. Ketika langkahnya itu menuai reaksi luas, dia berkilah antara dirinya dan Anas tak ada apa-apa (perseteruan), bahkan sering saling SMS-an.

Putusan Majelis Tinggi PD, yang notabene diketuai SBY, telah ”membebaskan” Anas dari tugas esensial, yang melambangkan kepemimpinan riil dari partai, yaitu mengambil keputusan final. Putusan yang meminta Anas fokus pada masalah hukum yang ditangani KPK secara implisit menyiratkan tudingan bahwa keterlibatannya dalam kasus hukum itu biang keladi kekisruhan partai. Bagaimana sikap Anas? ”Saya masih ketua umum,” katanya, sebelum bertolak ke Banten menghadiri pelantikan pimpinan anak cabang PD se-Kabupaten Lebak, Sabtu (9/2). Bukankah jauh hari sebelum ada keputusan majelis tinggi partainya, dia sudah menyatakan bersedia digantung di Monas kalau terbukti bersalah (korupsi)?

Benar SBY punya kewajiban moral untuk terus memupuk kewibawaan partai, termasuk menjaga elektabilitasnya di mata rakyat. Keberhasilan tugas ini menuntut kerja dan perhatian penuh 24 jam. Begitu juga keberhasilan menyelesaikan urusan negara, bangsa, dan rakyat. Memimpin partai dan memimpin negara adalah bagai memimpin bahtera yang berlayar antara Scylia dan Charybdis, yang demi keselamatan, menuntut perhatian penuh dari sang pemimpin.

Rangkap jabatan

Kalau mau jujur, penertiban agar tak merangkap jabatan pertama-tama harus dimulai dari sini, terutama terhadap mereka yang dengan sadar ”merangkap jabatan” yang tak mungkin dituntaskan pelaksanaannya dengan perhatian terbelah. Sejak pulang dari luar negeri, Kamis (7/2) malam hingga Jumat (8/2) malam, SBY lebih memusatkan perhatian dan kemampuan pribadinya pada penyelesaian kemelut partainya. Kepergian ke luar negeri adalah untuk melaksanakan kunjungan kenegaraan, atas biaya penuh dari perbendaharaan negara.

Mengingat Presiden bepergian selaku kepala negara dan kepala pemerintahan yang masih berfungsi, sepantasnyalah, begitu tiba di Tanah Air, Presiden mengumpulkan anggota kabinet dan pejabat negara terkait untuk menerima penjelasan dari kinerja diplomatisnya di luar negeri guna ditindaklanjuti secara efektif oleh mereka selaku para pembantunya yang terdekat. Hal itu demi kemanfaatan hidup rakyat banyak dan pembayar pajak.

Kita mencermati, banyak politikus dan parpol sekarang ini sama-sama berpolitik tanpa beretika. Mereka terang-terangan mengeksploitasi ketidaktahuan rakyat dalam berpolitik dan berdemokrasi. Politikus seperti ini ada di hampir semua partai. Banyak ”bajing lompat” yang dengan cekatan pindah ke parpol yang sedang naik daun. Fenomena yang tak sehat ini hanya dianggap sebagai ”dinamika politik”. Parpol umumnya tak punya ideologi, kecuali opini yang sama sekali tak mengikat orang-orang yang mengutarakannya. Apa gunanya politik tanpa etika? Apakah nasib Indonesia harus dipercayakan kepada elite politik yang belum dewasa seperti ini?

* Artikel ini di Tulis Oleh Daoed Joesoef Alumnus Universitas Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonn

 

Exit mobile version