Site icon nuga.co

Penayong Xi Jin Ping

Sepekan terakhir  saya hadir di dua perhelatan teman tionghoa. Dua-duanya heboh. Hebohnya khas tionghoa kutaradja.

Satunya perhelatan suku “hakka.” Pertemuan biasa. Kongkow. Ramai dan gaduh. Gaduh dengan cang ..cing…cong..

Muasal suku hakka ini untuk anda tahu merupakan kelompok tionghoa han yang sebarannya paling besar di cina. Dari utara hingga ke selatan. Dan lebih ke selatan dan selatan lagi.

Sebaran besarnya di selatan memintas ke malaya terus ke hindia belanda dalam bentuk migrasi berkelompok dan perorangan.  Yang selatan lagi itu termasuk ke aceh.

Di cina sendiri migrasi hakka ini terjadi sejak abad ke empat masehi, Dari utara ke selatan dan selatan lagi dan lagi lebih selatan…..hingga penayong…..kutaraja  yang lebih selatan lagi

Menurut sahibul hikayat migrasi ini dicatat oleh banyak tareh karena bencana alam, perang dan konflik

Babad sejarah aceh mencatat, suku hakka sudah datang ke aceh kutaradja dan mendiami  penayong, yang kala itu bernama peumayong,  di abad kedelapan belas, Hingga sekarang,

Dan entah hingga kapan lagi saya tak bisa menjawab. Terserah pada sejarah

Perhelatan lain teman tionghoa yang saya hadiri adalah “walimah” anak teman sesama grup senam isteri. Kali ini saya ada di tengah berbagai  suku. Ada hokkian, ada khek, ada tiociu bahkan canton.

Lebih heboh lagi cang..cing..congnya, Saya hanya tergagap. Terasing dan diasingkan. Penyebabnya saya satu-satunya keluarga cina hitam yang ikut perhelatan.

Kedua perhelatan itu lokasinya di resto “imperial.” Jalan teuku umar, Kawasan kampung keeling-setui. Persisnya, samping komplek intendan, Kaurinya bukan jenis “blang.”

Sebab tak ada  kuah beulangong, pliek u, keumamah dan sie reuboh.

Kauri di di imperial khas hakka. Ada ikan kakap tauco, tahu kuah bakso dan lain-lain. Semuanya halal, Karena gak ada “bak”nya. Para undangan gak makan bak. Bak ini tentu anda mafhum.

Di dua perhelatan itu saya menyelipkan sebuah agenda kecil. Riset terbatas, Tentang populasi tionghoa di banda aceh. Yang sejak tahun-tahun terakhir menjadi keprihatinan saya.

Keprihatinan makin menipisnya warga tionghoa sebagai penduduk banda aceh. Penipisan pupulasi ini bukan kata saya. Tapi datang dari kata sepakat warga tionghoa itu sendiri.

Kata Mimi, misalnya. Mimi yang bernama lengkap sio u mie. Ia tak memakai ejaan tionghoa lagi sejak lahir. Mimi yang pelatih senam punya anak tiga. Ketiganya blass… hengkang dari kutaradja

Selain Mimi ada A Kiok. Punya anak empat, Empat-empatnya sudah membuat kesepakatan akhir. Gak akan pulang ke penayong. Gak mau melanjutkan dan mewarisi toko cat ayahnya.

Kesepakatan lain, mereka sudah janjian akan memboyong sang ayah dan mamanya ikut mereka. Bisa ke taiwan, singapura atau jakarta. Keempatnya sudah jadi orang.

Tidak hanya riset di “imperial.” Saya terjun ke lapangan. Singga di sebuah toko swalayan. Mei baru. Acin sang pemilik saya wawancarai. Temanya populasi cina kutaradja.

Jawaban sama dengan Mimi dan A Kiok. Dari empat anaknya hanya satu yang tersisa di penayong. Tiganya hengkang.

Alasannya gak mau kembali ke kutaradja: ekonominya sudah stagnan. Gak akan bisa lebih berkembang, Sudah mentok.

“Biarlah orang aceh yang menjalankan ekonominya sendiri,” kata Alex anak A kiok di pertemuan saya dengan suku hakka itu,

Saya tak berhenti riset pupulasi penduduk. Melebar ke jumlah pertokoan yang masih di kuasai cina di jalan yani, sisingmangaraja hingga ke perumahan gampong mulia dan laksana.

Dua gampong yang dulu dominan cinanya. Saya gak ingin menurunkan jumlah hitungannya di tulisan ini. Terlalu panjang. Bisa membosankan. Biarlah anda bikin hitungannya sendiri.

Dari dua sample riset itu saya komparasikan dengan penurunan populasi penduduk negeri cina sana Negeri Xi Jin Ping. Hari-hari ini.

Menurut bacaan saya dari banyak kajian, penduduk cina dalam dua tahun terakhir terus menurun.

Bahkan di tahun lalu, menurut laporan biro statistik mereka,  populasinya turun dua juta orang. Tahun sebelumnya juga turun sembilan ratus ribu orang.

Memang, secara keseluruhan penduduk cina masih berada di sekitar satu koma empat miliar orang.

Anda pun sudah tahu: jumlah penduduk cina tidak pernah turun. Sejak awal tahun enam puluhan silam Sejak era mao ze dong. Maka apa yang terjadi dua tahun terakhir sangat bersejarah.

Apakah cina gelisah dengan penurunan jumlah penduduk itu?

Ya.. gelisah. Itu berarti jumlah anak mudanya ikut menurun.

Kalau Anda membalik tesis akademis pasti menemukan kata muda itu sebagai terjemahan  produktif. Maka ke depan jumlah yang produktif berkurang banyak.

Sedang yang sekarang muda akan menjadi tua –baca: kurang produktif.

Bukankah tesis lain menyangkut kajian demografi lima orang produktif membiayai dua orang yang kurang produktif. Nah kedepannya pasti akan terjadi pembalikkan

Dua orang produktif membiayai lima orang tua.

Saya tak menyesali kasus cina. Itu hasil dari kebijakan lamanya: hanya boleh punya satu anak. Tanpa itu cina tidak akan mencapai kemajuan ekonomi seperti yang kita saksikan sekarang.

Yang saya sesali justru penurunan populasi cina kutaradja. Penyebabnya bukan kebijakan harus punya anak satu.  Cina kutaradja secara populasi kelahirannya berbiak. Rata-rata tiga anak.

Saya memang tak mendapatkan angka populasi ini dari biro statistik atau kantor kependudukan. Saya tahu mereka gak pernah melakukan kajian atau riset.

Gak mau bikin proyek untuk itu. Gak ada “kam sen”nya. Komisinya. Kalau pun dianggarkan pasti akan di”cut.” Gak layak “pe-el.” Penunjukan langsung. Apalagi tender,

Soalnya, saya pernah cari tahu pada dua instansi itu. Mendatangi pejabatnya. Jawaban mereka: “gak tau.” Bengong. Hang…

Mereka tak peduli dengan penurunan populasi itu. Gak peduli dengan Tingkat kelahiran. Gak diharuskan oleh aturan Gak juga ada larangan untuk hengkang. Untuk apa bikin urusan.

Bagi mereka komposisi enduduk tidak relevan lagi di masa depan. Proporsi berapa cina penayong yang tersisa: masa bodoh.

Hanya saya saja yang kurang kerjaan. Menghitung populasi turunan. Termakan racun teori thomas robert malthus tentang kependudukan perlu di revisi.

Ekonom yang mengatakan bahwa pertambahan penduduk dibanding dengan pertambahan pangan. Seperti deret ukur dibanding dengan dengan hitung.

Artinya kalau dibiarkan manusia selalu kekurangan pangan. Untuk itu perlu ada pencegahan dengan menunda perkawinan atau membatasi kelahiran.

Teori yang yang tidak terbukti. Perlu di revisi. Termasuk revisi otak saya yang sering ngawur hingga menghitung populasi cina kutaradja. Hahaha…..

Exit mobile version