Site icon nuga.co

“Rex Benar Lho…Bang”

“Saya datang ya bang. Sedang otw.”

Ia memanggil saya abang,  Sejak menjadi sahabat. Teman. Sudah lama. Lebih tiga puluh tahun lalu.

“Kita ketemu di es-em-be,” Ia menyebut nama sebuah mall.

Mall di sebuah kluster “kota” baru bergaya perumahaan residence.

Janji ketemu ini didahului oleh pertanyaannya lewat whatsapp disebuah petang tentang keberadaan saya.

“Masih di Jakarta kan bang?”

Tentu saya menjawab: masih.

Lantas dia mengirim pesan tambahan: dari Ciawi satu setengah jam.

Saya tahu dari Ciawi ke mall tempat kami bertemu itu satu setengah jam. Paling apes dua jam.

Hari itu di ujung pekan minggu ketiga bulan ini. Dari Ciawi mobil akan meluncur cepat tanpa hambatan. Tak ada kemacetan. Kan lewat toll. Sang teman tahu jam macet dan dimana simpulnya.

Saya tahu di hari-hari pensiunnya ia banyak berada di Ciawi. Walaupun ia  punya rumah di Bintaro. Yang saya nggak tahu lokasi persisnya.

Tapi ia memperlihatkan rumahnya di Bintaro dengan arsitek unik dari galery foto di handphone nya. Bisa sebagai sanggar sekalian ada ruang untuk latihan silatnya.

Ia memang penggemar silat sejak dulu. Ketika awal saya ketemu. Gerakan silat sudah dijajaran suhu. Itu yang menyebabkan badannya kekar. Ramping. Jalannya tegak dan otaknya masih encer hingga di usia manula.

Cerita tentang rumah Bintaro-nya ini bisa panjang. Sejak ia membeli tanah tiga ratusan meter hingga bagaimana membangunnya. Bahkan arsitekturnya disalinnya dari Norway. Gratis. Ia salin dari sebuah kunjungan.

Uniknya, tanah Bintaro itu sempat hilang dari radar ingatannya. Maklum terlalu asik dengan kerja…kerja dan menulis …menulis.

“Betul bang. Lantas teringat masih ada aktanya. Saya urus semuanya. Beres,” katanya. Sembari menyebut teman untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan. Yang saya merekam namanya.

Rumahnya di Ciawi?

Saya juga tak tahu arahnya. Ia pun nggak menceritakan detilnya. Seperti rumah Bintaro.

Yang saya tahu Ciawi bisa disampiri lewat jalur segi tiga menuju Puncak dari arah Bogor. Lurus ke Puncak dan kanan Ciawi. Entah betul entah tidak saya nggak ingat-ingat amat.

Sejak pesan otw singgah di whatsapp, saya menghitung waktu. Sebab kami janjian dia akan call begitu sampai.

“Saya udah di depan food hall, bang,” callingnya ketika hitungan saya pas dengan perkiraannya.

Saya bergegas.

Dari tempat saya tinggal hanya lima menit ke mall itu. Lima menit yang terasa lamaaa….sekali. Karena saya tak ingin membiarkannya dikesendirian,

Saya rindu dia. Dan dia rindu saya. Sebab pertemuan kami terakhir di kawasan Pal Merah sudah berusia empat tahun. Pertemuan di sebuah acara budaya. Tak sempat tukar kata. Sebab ia tokoh penting di acara itu.

Pertemuan yang saya hadir itupun karena digaet teman sebagai apit awe.

Anda tentu tahu tentang apit awe. Tentu ingat tentang apit awe yang dulunya mengisi sudut kolom sebuah koran di Aceh dalam bentuk box di sisi kiri halaman satunya.

Apit awe yang sang teman tahu. Dan sering ngakak kalau tulisannya berada di area kritik menggelitik.

Apit awe  yang milik si kriting krempeng Hasyim KS. Yang telah berpulang. Apit awe terkadang sentimentil. Tetapi bisa juga bikin ketawa atau menyebabkan senyum di kulum

Begitu turun mobil dan menuju loby utama berjalan gontai ke arah food hall di mall yang ramainya ampun…

Saya celenguk melihat tulisan food hall seperti foto yang ia kirim. Pandangan saya lurus. Takut godaan lalu lalang perempuan berbaju you can see bercelana satu jengkal. Yang kalau di negeri saya pasti sudah jadi urusan we-ha.

We-ha yang polisi syariat

Mereka bisa digiring ke mobil pickup terbuka dan menjadi tontonan orang ramai. Syukur.. syukur nggak dicambuk. Cukup didenda. Dipakaikan sarung dan kepalanya dibalutkan hijab.

Nah di mall tempat saya ketemu teman pandangan mata harus ditebus dengan “tobat lahum.”

Begitu langkah saya arahkan ke pintu food hall ia menyapa.

“Bang Darman!”

Saya melengos ke kanan. Oo.. alah..

Rupanya ia ingin bikin kejutan. Membiarkan saya melangkah untuk kemudian memanggil.

Kami berpelukan. Ia masih seperti yang dulu. Berambut panjang, memakai topi, berkaca mata dengan postur tak pernah berubah.

“Saya tahu. Bang Darman.  Belum berubah,” katanya. Saya kenal amat setiap kata yang ia ucapkan. Yang jowo-nya tawar amat. Walaupun ia thok produk merbabu. Seperti kumpulan cerpennya “blues merbabu.”

Produk asli Salatiga enam puluh lima tahun lalu. Itu berarti saya lebih duluan dari dia tujuh tahun.

Nama aslinya Tri Sabdono kemudian bermutasi jadi Don Sabdono. Yang bermutasi lagi jadi Bre Redana.

Tapi apalah arti sebuah nama. Mawar bisa disalin namanya oleh siapa saja. Yang harum itu tetap mawar yang bunga.

Untuk namanya ini saya sering mencandai Ketika ia bermukim di Aceh.

Bre Redana yang nggak jadi masuk rumah sakit jiwa holland matschapay  karena bernama Don Sabdono.

Setelah cas cis cus pendek ia mengajak saya untuk mencari tempat sepi di tumpukan padat barisan kuliner. Tempat yang bisa untuk kami saling berbagi keindahan hidup.

Saya ikut aja kemana arah langkahnya mencari outlet kuliner. “Ke starbuck yang bang?”

Saya anggukan.

Begitu memesan minuman dan memilih makanan saya memberitahu: jangan kopi. Cukup roti.

Ia memilihkan dan saya mengiyakan untuk kemudian duduk disudut jauh dan ia memulai tanya.

“Barlian bagaimana sekarang bang?”

Saya sempat tersendat. Kok di awal percakapan ia langsung tanya Barlian. Barlian AW. Yang dulu menjadi kolega kerja kami. Yang orangnya, menurut Mas Don, sangat unik dan menyenangkan.

Anda pasti kenal dengan Barlian AW. Aktifis, seniman, wartawan dan politisi. Kalau ada profesi lainnya dari Barlian mungkin Anda yang tahu.

Saya nggak tahu apakah Barlian membaca tulisan ini. Kalau ia sempat membacanya tentu dia berujar: Oya Mas Don Sabdono.

Saya surprise saja. “Kok Barlian yang duluan ditanya”

“Dia menyenangkan,” ujar Mas Don. Don Sabdono yang kami selalu menyapanya dengan Mas Don. Yang namanya telah bersalin dengan Bre Redana karena sesuatu. Sesuatu yang datang di sebuah era kehidupannya.

Era yang pahit. Tapi ia  menikmatinya. Tidak mengutuk. Menjalani tanpa mengubah jati dirinya.

Jati diri seorang penulis hebat. Penulis cerpen. Penulis feature dan reportase di media besar “kompas.” Yang punya link ke hampir semua orang yang stempel kemanusiaan melekat dikeningnya.

Tidak hanya Barlian yang ia tanya. Mas Don juga membuka lembaran emas sebuah generasi. Generasi emas di sebuah media yang saya ikut sebagai koeli bangunannya.

Generasi emas yang mengantarkan Mustafa Gelanggang, Akmal Ibrahim dan Amru serta Ibnu Aban GT Ulma menjadi bupati.

Ada Nasir Jamil, Amir Hamzah, Aidi Kamal dan Jamaluddin menjadi anggota legislatif.

Saya hanya mendengarkan celoteh khasnya yang humble. Celoteh bagaimana ia masih menyimpan duka tentang kepergian Erwiyan Safri dan Muharam M.Nur serta Ridwan bersama ombak tsunami.

Ombak tsunami yang membuat Bedu Saini mencuat sebagai fotografer hebat.

Tak lupa Mas Don menanyakan tentang Syamsul Kahar. Yang saya sendiri tak pernah bertemu dan saling sapa ditahun-tahun terakhir. Saya hanya mendengar Syamsul dari kejauhan. Dari banyak orang, Yang saya maklum.

Kejauhan juga seperti media yang saya pernah bersamanya dulu.

Banyak yang ditanya Mas Don. Banyak yang diceritakannya.  Cerita tentang bagaimana ia “jatuh cinta” dengan Aceh. Karena ia pernah menikmati masa indah hidupnya di negeri serambi itu.

Saya maklum. Tanpa ia ceritakan pun saya tahu ketika masih bersamanya. Juga dari banyak tulisannya. Dan tulisan banyak penulis.

Untuk kemudian percakapan kami terperosok ke sebuah pusat kuliner Banda Aceh.

Rex.

Rex yang “presiden”nya pernah dijabat oleh Hasbi Burman. Rex yang juga menjadi judul buku kumpulan cerita pendek Bre Redana yang Don Sabdono.

Hasbi Burman yang “presiden rex” seorang tukang parkir plus penyair. Yang empat tahun lalu tampil di panggung pekan kebudayaan aceh membacakan puisi “daun daun jatuh di tanah pusaka.”

Rex yang setengah fiksi dalam cerita pendek Bre Redana tentang sebuah bioskop yang dirubuhkan dan Donna gadis yang hari kematiannya bersamaan dengan hilangnya Rex.

Saya selalu mengulang-ulang membaca cerpen itu untuk mengenang Rex yang tidak fiksi. Rex yang menjadi tempat saya dan Mas Don, bukan Bre Redana, menghabiskan malam usai deadline past up koran yang kami penjaga gawangnya.

“Saya melihat Rex itu sebagai Aceh yang utuh Bang Darman,” katanya. Aceh plural. Bukan Aceh yang dipersonakan oleh banyak komunitas sebagai “pemberontak.”

Rex yang heterogen. Di sana ada baur kehidupan malam. Baur kehidupan pecinaan dengan kulinar campur aduk.

Untuk itu pula dalam sebuah hasil penelitian ia menulis “indonesia dalam prespektif aceh muda.”  Kala itu Don menjadi murid di lembaga penelitian ilmu-ilmu soial  unsyiah… ee.. salah lagi usk tahun seribu sembilan ratus delapan puluh tujuh,

Lembaga prestise yang pernah dipimpin oleh doktor Alfian dan Ibrahim Alfian.

Don sempat juga menikmati pendidikan di Inggris tentang journalism selama setahun.

Sampai kami mengakhiri perjumpaan itu Mas Don masih berjanji. Nanti kita ketemu lagi.

Keesokannya kami berjumpa lagi.

Berjumpa lewat sebuah cerpen terbaru “Bre Redana.” Yang ia tulis malam itu juga. Tentang seorang perempuan yang bernama Bre Redana. Perempuan yang diberitahu keberadaannya oleh pemilik kafe langganannya.

Sebelumnya Mas Don juga mengirim cerpen “Malam Lebaran” ke saya sebagai salam takbir kehidupan di hari raya. Salam takbir tentang sebuah pemakaman mewah.

Exit mobile version