Site icon nuga.co

Politikus Produk Lokal

Beberapa hari ini saya tidak dalam keadaan mood untuk menulis.

Ada gangguan yang datang. Yang pasti bukan kesibukan. Apalah kesibukan seorang saya yang usia saja sudah “peng-si-on.” Di atas pensiun dari pensiunan.

Gangguan itu berasal dari rasa sebal, rasa kecewa, rasa sulit percaya, yang terus datang silih berganti di pucuk akar sel serabut otak saya.

Anda pasti tahu. Kalau  akar serabut dari sel otak kiri tak mau nyambung dengan akar serabut sel otak kanan pasti akan mendatangkan mumet.

Mumetnya otak ini menjadikan jalan pikiran nggak bisa lurus. Buntu. Kondisi begini dalam  kajian tasauf-nya dinamai “heng.” Bukan.. bukan… hanya jengkel. Jengkel nggak ada juntrungannya. Tak ada sebab dan akibat.

Untuk mengembalikan mood ini saya mencari pelarian ke membaca. Buku apa saja saya baca. Saya lahap. Seperti melahap masakan “nasi” gurih Rasyid atau buk Ros. Uuee.. eenak. . Ada dendeng, telur asin atau balado ame-ame

Salah satu buku yang saya baca adalah biografi George Carlin.

Carlin yang ocehannya sulit tertandingi. Seorang “standup comedian” jenius “high class”  produk new york.

Untuk personalnya komedian ini sering disebut komika.

Negeri ini juga punya komedian stand up hebat. Kalau Anda penggemar standup pasti kenal dengan namnya Mongol. Yang kalau melihat wajahnya saja Anda bisa tersenyum mesem. Dan kalau udah ngomong tawanya bukan mesem lagi..

Mongol ini punya jargon “jomblo bukan homo”

Komika yang satu ini aslinya seorang pendeta, Benar lho.. seorang pendeta. Dengan latar ini ia punya keunikan. Yang bicara  dan jokes  bener-bener lucu dan gak sampe nyerempet sara.

Dan satu lagi, dia suka cowok kayaknya. Toh, dari dulu dia sering banget ngomongin tentang homo, banci, gay sesuai dengan jargonnya,

Selain Mongol ada deretan nama komika lainnya. Sebut saja Radhitya Dika, Kemal Pahlevi, Ryan Andry, Ge Pamungkas dan Sammy, yang gemuknya ampun… Sering menertawakan kegemukannya ini dengan nyerempet joke porno.

Tentu saja barisan komika kita ini tak bisa disetarakan dengan Carlin. Yang dalam pengantar bukunya saya baca sebagai pionir sekaligus stand up terbaik yang pernah dilahirkan jagat ini.

Ahh,, saya ngelantur. Seolah-olah semua pembaca tulisan ini tahu apa itu standup tambah comedian. Apa Anda tahu?

Kalau nggak tahu ini dia artian luas stand up comedian-komika itu. Yang bahasa sononya di tulis dengan ejaan stand up comedy.

Berarti, seni pertunjukan komedi yang dilakukan oleh seorang penampil. One man show. Seni ini biasa disebut komika.

Anda jangan dulu menuduh saya sebagai penulis yang sok hebat dengan tema ini. Sebab yang namanya stand up comedian ini bisa kita temui dimana saja.

Bisa di ujung gampong. Di keude kupi. Di terminal bus.. atau dimanalah. Juga bisa di gedung rakyat. Seperti yang di jalan teungku daud beureuh atau di senayan yang megah itu.

Gaya dan tipikal orangnya macam-macamlah. Kalau dulu di kampung saya ada tipikal si Apok. Ia kami anggap setengah gila. Ocehannya ngelantur tanpa arah. Tapi menghibur.

Bisa bikin ketawa yang gelinya menyebabkan celana basah yang ia sendiri nggak pernah senyum atau ketawa isi ocehannya itu. Mungkin diseputar Anda banyak si apok-si apok lainnya,

Nah… kan jelas apa itu standup dan comedy!

Yang kalau sekarang banyak orang menjalani gerak dan omongannya seperti Carlin ini. Apalagi dengan adanya online media sosial  seperti facebook, twitter dan instagram.

Nggak percaya?

Bukalah akses hape android Anda kesana. Lantas tonton di youtube. Jangan lupa baca tu;isannya dan silakan komentari. Dan Anda pasti menemukan comedian-nya. Yang Anda sendiri bisa juga jadi tokoh komedi-nya. dengan nama netizen.

Terserah.

Lantas apa isi dan ocehan si Carlin yang paling terkenal. Anda bisa yang menyangka: “sampah”

“Gerbage in. Gerbage out.”

Sampah akan menghasilkan sampah.

Saya sendiri sering menulis tentang kata sampah ini dalam kontek karya jurnalistik. Nggak pernah tahu bahwa mendiang si Carlin rajin juga mengucapkannya. Padahal dibanding Carlin saya tak ada apa-apanya. Keciiill…

Sampah yang saya umpat itu dekat dengan profesi saya. News, feature, reportase atau pun opini. Saya selalu merujuk pada isi dari karya itu. Yang kalau tidak layak selalu diumpat dengan: sampah

Tentu  saja contoh ucapan Carlin ini menyebut negaranya sendiri. Amerika. Bagi Anda dan saya bisa saja mengganti kata negara dengan negeri sendiri.

Silakan saja… Mungkin bisa bermanfaat

Yang jangan Anda pikirkan sampah itu adalah bakteri atau mikroba yang harus dipisahkan antara  “organik” untuk dijadikan pupuk dan plastik untuk menghilangkanya cuma bisa dibakar

Jangan…Seperti saya sajalah yang tidak akan pernah komplain politikus. Walaupun semua orang komplain tentang politikus. Semua orang bilang politikus itu brengsek.

Seperti juga istri saya, adik saya dan keponakan. Yang dia juga politikus.

Apalagi kalau dia politikus karbitan yang asal dan datangnya entah dari lembah, ngarai dan pucok nanggroe mana.

Kalau saya menyederhanakan pikiran saja ketika bicara seorang politikus.

Memangnya para politikus ini datang dari mana?

Mereka tidak jatuh dari langit. Mereka tidak menembus selaput pembatas dunia lain.

Mereka datang dari orang tua negeri ini, dari keluarga kita, dari rumah kita, sekolah kita, pesantren kita, meunasah dan masjid kita, bahkan dari toke bangku serta universitas kita.

Yang memilihnya?

Kita-kita juga. Aneuk aso lhok.

Merekalah orang terbaik yang bisa kita hasilkan. Merekalah orang terbaik yang bisa kita tawarkan. Merekalah hasil dari sistem yang kita buat.

Sampah akan menghasilkan sampah

Kalau kita punya warga yang semaunya sendiri dan tidak peduli, kita akan menghasilkan pemimpin yang semaunya sendiri dan tidak peduli.

Lantas batasan masa jabatan? Pasti… dan pasti  tidak akan menghalangi mereka. Pada akhirnya Anda dan saya serta kawan plus saudara kita akan terus mendapatkan orang-orang brengsek yang baru.

Anda menuduh politikus sebagai yang brengsek?

Jangan.. Mungkin… ini mungkin… ada hal lain yang brengsek disekitar kita. Kita sendiri. Masyarakatnya!

Ya, masyarakatnya yang brengsek.

Saya pun menertawakan diri sendiri dan berpikir kenapa nggak menghadirkan slogan kampanye yang baik untuk melawan kemumetan ini: “Masyarakat brengsek, lupakan segala harapan!”

Ketika menutup tulisan ini saya menarawang. ternyata saya terseret dengan Goerge Carlin.

Menjadi komika. Komedian amatiran

Komika amatiran ketika mood saya kembali terang hingga tulisan ini selesai juga.

Terima kasih Mongol “jomblo bukan homo” dan Sammy atas joke porno mu itu

Exit mobile version