Site icon nuga.co

“Phang” Kopi

Mandatory Credit: Photo by Dezo Hoffmann / Rex Features ( 133333MV ) '2 IS' COFFEE BAR, OLD COMPTON STREET, SOHO, LONDON, BRITAIN - 1959 VARIOUS

Sebuah share note masuk ke gawai saya tadi pagi.  Menjelang dhuha. Sehari setelah “byar” tulisan “khatam kupi.” Tulisan “ngawur” tentang makrifat kopi.

Makrifat yang telah menimbun gelar kota “kota serambi makkah” menjadi “kota seribu kedai kopi.” Makrifat yang saya tak pernah khatam hingga pagi tadi itu.

Share note itu disertai dengan “voice.”  Di “voice” itu si pengirim tertawa ngakak. Menertawakan tulisan saya.  Ngakaknya saya saya balas. Tak kalah intensitasnya.

Pengirimnya saya tahu. Sering saya sapa dengan “phang.” Lengkapnya “phang gayo.”  Ia memang berasal dari negeri gayo.  Dataran tinggi penghasil arabica. Arabica gayo mountain coffe.

Arabica yang posisinya sejajar dengan ethiopia, costa rica maupun brazillia. Secara khatam so pasti si “phang gayo” berada di tataran atas. Soal makrifat entahlah.

Tumben, nggak biasanya saya dapat kiriman seperti ini. Ada apa ya?

Penasaran, saya dengarkan pesannya. Setelah mendengarkan pesannya yang cukup panjang itu saya tawaduk saja. Saya merasa mendapatkan pencerahan. Luar biasa indah itu.

Saya tak menyebut identitas lengkapnya si “phang gayo.”  Itu pesannya dalam “voice note.” Tapi saya ngotot ingin buka tabir dirinya. Saya dan si “phang” terlibat tarik ulur, Kesepakatannya lonjong.

“Boleh tulis identitas latar belakang saya. Tapi hindari nulis nama,” katanya. Ya sudah…

Si “phang” profesinya idem dito saya. Jurnalis. Tapi sudah lama hijrah sebagai bisnis. Bisnis kopi. Punya kebun kopi di kawasan bener meriah. Tahu tentang kopi. Plus sejarahnya.

Sejarah awal kopi menjadi minuman “candu.”  sejarah awal keude kopi.

Agar lebih klop saya memuat literasi yang ditulis si “phang” dengan editor  sederhana agar gak membosankan.

Ini dia tulisan lanjutannya.

Masih ingatkah bagaimana sejarah munculnya warung kopi di dunia?

Ya, ia muncul lebih awal di Eropa.

Di Prancis, orang menyebutnya sebagai salon; dan di Inggris, coffee house. Di dalamnya memang menjual kopi siap minum. Oleh karena itu, di negeri ini, tempat-tempat tersebut bernama warung kopi.

Awalnya, warung-warung itu menyediakan teh dan minuman lain. Namun, karena negara-negara Eropa berhasil membawa kopi dari negara jajahan seperti Indonesia, maka dengan cepat kopi menjadi popular

Banyak orang menggemarinya, dan menjadi minuman orang-orang kaya.

Mari kita lihat penikmat kopinya. Tempat ini mulai populer bukan karena kopinya saja, tetapi juga karena fungsinya.

Para penikmat kopi menggunakan tempat ini bukan sekadar untuk minum kopi, mereka juga memanfaatkannya sebagai tempat berdiskusi.

Bahkan, menjadi sentral bagi diskusi-diskusi kultural waktu itu.

Banyak hal yang mereka diskusikan. Pada awalnya, hanya masalah sastra dan seni, termasuk musik. Namun, kemudian dengan diskusi-diskusi ilmiah dan politik.

Bahkan, setiap penulis buku selalu mendiskusikan tulisannya di warkop-warkop sebelum terbit, begitu pun dengan para seniman.

Di negara lainnya, meskipun ada perkumpulan semacam ini, namun tidak menggunakan warkop sebagai alat. Perkumpulan masyarakat di negara ini adalah himpunan masyarakat meja dan sastra

Sama seperti warung kopi, mereka awalnya fokus pada sastra dan ilmu pengetahuan. Tapi, pada akhirnya menjadi politis juga.

Perkembangan diskusi di warkop kemudian tercium oleh pemerintah sehingga sempat dalam pengawasan dan terlarang karena pemerintah takut kegiatan itu akan mengganggu stabilitas politik.

Bukan hanya karena isi diskusinya saja, masyarakat penggemar warung kopi yang makin besar juga menjadi pertimbangan pemerintah

Karena mustahil pemerintah memperhatikan sebuah diskusi dengan kualitas tinggi jika kelompok mereka hanya sedikit.

Sejarah mencatat bahwa perjalanan warung kopi memiliki andil besar dalam perubahan sistem pemerintahan di  dunia.

Sistem pemerintahan monarki yang kini berganti dengan sistem demokrasi  merupakan hasil diskusi dan pergerakan para penikmat warung kopi.

Fungsi warung kopi yang tidak hanya sebagai tempat berkumpul, tetapi juga sebagai tempat pengeraman kegelisahan politik, menciptakan kondisi politik yang berbeda.

Dari diskusi di warung kopi, kemudian mengubah pemahaman dan kesadaran masyarakat.

Bahkan, hingga menggerakkan mereka untuk memperjuangkan hak individu yang sudah sejak lama menjadi dambaan setiap warga masyarakat.

Pemerintahan yang awalnya berjalan berdasarkan perhambaan, karena pengaruh warung kopi, semuanya berubah menjadi pemerintahan yang menjunjung tinggi hak-hak individu, yaitu demokrasi.Sekarang, hampir seluruh negara di dunia menggunakan demokrasi sebagai sistem pemerintahan.

Namun, fungsi warkop yang mampu memengaruhi pemerintahan tidak akan dapat berjalan lancar jika hak individu terbatas. Di negeri ini pun, kejadian yang sama pernah terjadi. Di era lalu

Era otoriter. Semua hal yang menyangkut negara harus mengikuti kehendaknya.  Kehendak monoloyalitas. Kebebasan individu ditekan dengan alasan stabilitas.

Akibatnya, warkop  waktu itu tidak mampu berbicara banyak dan tampil heroik memperjuangkan hak-hak rakyat. Semua dibatasi dan diawasi dengan ketat. Bahkan anarkis

Namun, sedikit demi sedikit, masyarakat  menyadari pengaruh otoriter. Mereka menyadari efek dari sikap otoriter ini

Sebut saja sebuah grup lawak yang dalam pengawasan tak kuasa menahan kegelisahan politik tersebut sehingga para penikmat warung kopi mulai mengekspresikan kegelisahan mereka.

Awalnya, kegelisahan-kegelisah itu terekspresikan dengan samar-samar.

Masih segar di ingatan kita bagaimana grup lawak itu keluar kandang mengkritik pemerintahan dengan sangat jenaka dan lucu sehingga tetap eksis di tengah-tengah kondisi politik otoriter.

Nama ‘warkop’ sendiri sebenarnya merupakan kependekan  dari “warung kopi”, sebuah tempat bagi tiga orang pelawak ini sering berkumpul.

Mereka tidak akan saya gambarkan di sini, tapi bisa Anda tonton dan analisis sendiri. Ada beberapa faktor penyebab warung kopi kehilangan fungsinya. Campur tangan pemerintah.

Kali ini, campur tangan bukan berbentuk pembatasan kegiatan diskusi, namun lebih pada hal-hal yang bersifat legal.

Pemerintah sering menganggap hasil-hasil diskusi masyarakat tidak kompeten karena tidak memiliki informasi memadai dalam suatu masalah.

Akibatnya, hasil diskusi masyarakat tidak dapat legal di dalam undang-undang dan aturan lainnya. Sikap malas, individualis dan peniru menjadi karakternya.

Semua karakter ini dibawa ke dalam warung kopi sehingga warung kopi tidak lagi menjadi tempat berdiskusi, tetapi menjadi tempat pamer penampilan dan materi yang dimiliki.

Warung kopi macam ini telah banyak ditemukan. Setiap orang sibuk bermain laptop, hp, gitar, kartu, atau sekadar lucu-lucuan.

Semua fungsi warung kopi yang menjadi tempat diskusi intelektual, kini menjadi panggung iklan dan penampilan individu hingga kelompok

Kalau hari ini….

Anda yang tahu…

 

Exit mobile version