Site icon nuga.co

Narasi Hoaks

Ciutan….itu terus datang,,  Saya delate…datang lagi … delate lagi…. lagi .. dan lagi..

Sangat menganggu. Bikin tidak nyaman. Tapi saya nggak mengutuk apalagi memblokir nomor handphone si pengirim. Abis pengirimnya teman … teman… dan teman. Teman-teman.

Teman komunitas. Teman personal dan teman dari berbagai profesi. Sehingga saya mafhum mereka tidak ingin bermaksud jahil atau menjahili lewat ciutan itu.

Mereka kan bukan kaum jahiliah Makkah seperti Abu Lahab dalam surah al makiyah: Al Lahab. “tabbat yada abilahabil watab….”

Mereka orang baik. Sahabat  Seperti sahabat lingkar muhajirin.  Yang ikrarnya  persaudaraan. Saudara lewat sapaan abang. Abang yang ia ucapkan dengan takzim.

Walaupun labelnya sahabat mengenai ciutan yang bak waduk jebol itu saya terpaksa menggerutu. “Mumang.”

“Mumang” karena tak punya jawaban. Iya atau nonsen. Kalau di-iya-kan cari kerjaan. Kalau nonsen lebih “cilaka” lagi. Saya bisa disapa nggak abang lagi.

Lantas otak, hati dan kalbu saya berbisik. Pilihannya jalan damai. Damai setelah  menghitung kancing baju. Iya.. nonsen.. iya… nonsen..

Plash… “out sider”

Selesai?

Ternyata nggak.

Posisi “out sider” itu bak orang tak punya pendirian. Sebelum era sekarang posisi “out sider” itu milik golongan putih. Golput. Penggagasnya Anda mungkin nggak ingat. Arief Budiman. Soe Hok Gien.

Kalau era sekarang golput itu diplesetkan sebagai kaum sorbanan. Saya sendiri tak mau masuk golongan ini. Golongan yang di”prank” buzzer sebagai pembawa bendera identitas.

Saya tak tahan “prank” seperti si Ngabalin yang sorbanan. Ngabalin yang nggak peduli ‘prank.” Yang menggunting setiap ngomongan lawan bicaranya di televisi.

Sedangkan saya sendiri sejak dulu sudah punya identitas. Identitas jurnalistik,

Dimasa “injuri time” sebelum memutuskan posisi apa yang saya ambil pesan di whatsapp makin menyemak. Tidak hanya ciutan tapi sekalian ‘share” masalahnya. Saya seperti ditimpuk beban berat.

Karena terlalu berat beban yang harus dipikul lantas saya berdamai bak piagam Madinah. Yang salah satu itemnya: kebebasan menyatakan pendapat.

Dan inilah pendapat saya. Tulisan saya. Terhadap jawaban ciutan dan share masalah itu. Masalah polemik di sebuah tag opini media online mainstream yang isiannya narasi akademis setengah hoaks

Narasi dari tulisan tentang sebuah partai lokal di negeri berlabel otonomi khusus yang sedang mambangun jalan inklusif usai kehilangan “touch” sebagai “the modern party.”

Yang menyediakan hamparan empuk bagi politisi kutu loncat dan kutu lainnya. Kutu yang Anda tahu rekam jejaknya. Yang menurut salah satu ciutan di handphonenya menyebut “avanturir.”

Anda nggak usah saya ajari makna seorang avantour. Dari penggalan kata “tour”nya saja orang buta warna sudah ngerti. Apalagi yang macam saya “buta politik.

Isian polemik itu warnanya abu-abu. Sulit dibaca dengan kacamata netral. Secara narasi ceritanya runut, teratur dan koheren.

Juga ada karakter atau tokoh. Plot atau alur cerita, konflik, dan pengembangan tema yang berkaitan dengan kejadian atau cerita tersebut aktual. Penulisnya bukan ilmuan abal-abal. Ada sederet gelar yang melekat.

Latar keilmuannya juga sosiologi.

Tapi, sebagai jurnalis saya nggak ngah dengan narasi tulisannya yang setengah esai berbau akademik dan ada hoak-nya karena bukan mengalirkan gagasan atau kontra gagasan.

Usai membacanya saya skeptis terhadap terhadap masalah yang dikemukakan. Informasi yang disajikan  membuat  saya tidak tertarik

Judulnya pakai bla-bla-bla faktanya; nyesel tidak tahu bla-bla-bla; fakta-fakta mengenai bla-bla-bla; dan seterusnya.

Bahkan kehendaknya untuk menjelaskan secara tirik-tirik duduk masalahnya terjebak dalam hoaks yang dalam… makin dalam dan berada di kedalaman. Saya kehilangan minat.

Mending dengerin syair yatim piatu milik Rafli Kande.

Puluhan tahun kerja di institusi pers yang punya niat pikiran mulia bahwa tulisan hendaknya mampu menjelaskan duduk soal kini saya sering berpikir apa sebetulnya makna duduk perkara.

Apakah tanya sana-sini, mengutip semua pihak lalu dianggap menjelaskan duduk perkara sebuah peristiwa?

Menggelindingkan gosip tentang seseorang, tak pernah meminta konfirmasi dengan orang bersangkutan dan langsung menjelaskan tentang gosip atau desas-desus tersebut.

Bukankah itu hoaks….…

Saya berpikir jangan-jangan tanpa peduli atau mendengar informasi pikiran orang malah akan kian jernih.

Bagi saya, yang cuma pensiunan pekerja pers, kasus seperti ini dikenal  sebagai metainformasi. Jangan pedulikan informasi. Bikin otak keruh, korslet, hang.

Era seperti ini memang sudah diramal kedatangannya di mana teknologi menempatkan otak atau isi kepala manusia dalam satu jaringan.

Tesisnya adalah supremasi medium—bentuk medium yang menentukan, bukan content alias  isinya—kini otak kita diseragamkan oleh medium digital. Medium yang dipergunakan oleh mereka yang berpolemik.

Anda pasti tahu jenis penulis begini. Kita disuruh mencerna segala hal yang seolah-olah perlu padahal sama sekali tidak perlu; digerojok segala informasi agar jadi cerdas

Padahal kecerdasan tak lagi dibutuhkan.

Saya mengingatkan Anda tentang kabar atau pun tulisanyang tampak runtut, logis, masuk akal, tapi sejatinya tak pernah terjadi  Lantas saya bertanya: kenapa media mendistribusikan kebohongan

Ya itulah zaman hoax. Narasi akademis pun sudah menjadi jualan hoax. Padahal, seharusnya, media hanya boleh mendistribusikannya atas nama kredibilitas

Media yang mendistribusikan laporan berdasar niat mulia ingin menempatkan peristiwa pada duduk perkaranya.

Problemnya, dunia tidak seberes dikira orang. Banyak orang kelewat lugu. Tak terkecuali perkauman saya. Kaum jurnalis.

Kondisi dunia entah dikarenakan pengkondisian politik, sosial, agama, keluarga, dan lain-lain membuat orang bisa mengarang cerita, runtut, dengan mengarang-ngarang

Terlebih jika ditempatkan dalam konteks zaman ini. Banyak orang telah kehilangan kepekaan dan kekuatan intuisi. Dikarenakan perkembangan teknologi membuat orang menjadi halu.

Ditambah sedikit kecerdasan, manusia halu berpotensi menjadi “a plausible liar”.

Maksudnya orang yang mampu berbohong dengan meyakinkan, penuturannya lancar, koheren, masuk akal, kekurangannya cuma satu: yang ia tulis tidak benar atau bahkan tidak ada sama sekali.

Apakah orang seperti ini hanya bisa mengelabui media massa ecek-ecek dan tidak kredibel?

Percayalah pada saya: media massa yang berwibawa sekali pun bisa jadi kuda tunggangan a plausible liar.

Terima kasih……

Exit mobile version