Site icon nuga.co

Ia Masih Komandan

Saya tak tahu apa yang ia kerjakan lagi usai tulisan pendek ini blass… Yang paling tahu tentu dia sendiri. Apakah jalan ditempat.. jalan gerak.. atau berlari..plus berlari kencang

Terserah dia saja. Kan dia yang pegang komando. Saya tak ingin menerka-nerka. Karena ini bukan permainan  teka-teki silang. Apalagi menerka jalan pikiran komandan.

Saya juga tak mau berspekulasi untuk tugasnya sebagai penjabat. Penjabat yang kalau lurus jalan tugasnya bisa terus selama dua tahun lebih. Tapi bisa juga satu tahun. Atau entah berapa lamalah.

Namanya saja penjabat. Yang posisinya antara definitif dan sementara. Di atas pelaksana harian dan pelaksana tugas. Jabatan yang macam pasang naik dan pasang turun. Tergantung cuaca. Cuaca penugasan. Dan suasana hati pemberi tugas.

Yang saya tahu, usai dilantik, di enam Juli dua pekan lalu, ia banyak bermain di area seremonial. Mengukuhkan seabrek penjabat bupati dan walikota. Bupati dan walikota yang resend. Habis masa jabatan

Menghadiri acara festival nasyid plus mencorengkan tanda tangan keputusan, persetujuan dan entah apa lainnya. Seperti tanda tangan pembangunan venus pon dan rancangan anggaran.

Selain itu ia masih mempelajari medan. Medan sipil. Bukan medan tugas yang pernah diembannya di dua tahun silam. Sebagai komandan. Panglima.

Medan yang ia jalani kali ini beda. Tak ada kata siappp… yang diakhiri kata grakk sebagai ketakziman sebuah perintah.

Medan tugasnya sebagai penjabat adalah mendengar, mempelajari, sowan dan membuka ruang pendekatan. Baru kemudian action plan.

Seperti ruang pendekatan usai ia dilantik. Berselfi dan bergandengan satu mobil dengan orang-orang yang Anda sudah tahu siapa. Atau entah dengan siapa lagi yang Anda dan saya tidak tahu.

Kecuali, baru ketahuan, setelah membuka facebook, instagram atau twitter kalau di share. Ataupun bisa membuka youtube kalau ada podcast-nya. Kalau nggak? Ya jadi milik pribadi. Koleksi.

Kan di era digital dan informasi teknologi ini orang bisa menyimpan apa saja dikoleksi pribadinya. Di handphone.

Selain membuka ruang pendekatan ia juga sowan kebanyak komunitas dan person. Ke wali nanggroe ke media mainstream atau datang ke de-pe-er aceh. Itu yang bisa saya catat.

Yang nggak bisa saya catat tentu lebih banyak lagi. Sebab saya bukan ajudan atau staf pribadi yang mengagendakan kegiatannya.

Siapapun tahu kegiatan penjabat itu bertimbun. Berjubel. Banyaaakk.. Apalagi seorang penjabat gubernur Aceh. Achmad Marzuki.

Catatan saya untuk kegiatan seorang penjabat itu dalam bahasa jurnalnya, biasa disebut “footnote.” Catatan kaki. Nggak blas…lah. Sumir.

Karena terlahir sebagai jurnalis hingga menjadi sepuh,”the old journalist,” saya masih belum pikun untuk menelisik yang terang atau gelap disetiap penampilan dan ucapann sang penjabat.

Termasuk seorang Achmad Marzuki yang penjabat gubernur Aceh. Seorang tentara professional.dari trah infantri. Yang pensiun dini secara mendadak. Lantas disipilkan. Terus ditugaskan jadi penjabat.

Diujung terusnya: ups.. penjabat gubernur.

Jalannya ke penjabat gubernur bagai toll aja. Jalan bebas hambatan. Dalam hitungan hari.

Sampai disini Anda bisa berandai-andai dengan jalan tugas Achmad Marzuki ini. Sebab “tak ada makan siang gratis” dalam hidup ini.

Anda boleh saja mengatakan: bayarannya adalah pengabdian.

Ya, pengabdian Achmad Marzuki. Yang sangat cepat mengubah penampilan. dari balutan baju hijau ke baju putih atau abu-abu. Yang dulu emblemnya berjibun. Bergelantungan. Kini  cuma secuil. Lambang garuda di dada.

Ucapannya?

Belum berubah amat. Masih memadukan gestur fisik dan oral bernada datar. Khas komandan. Langsung kepersoalan. Nggak memutar lewat preambul yang nyinyir.

Paling tidak itu yang bisa saya catat di dua pertemuannya dengan komunitas sebangun tapi nggak sama. Komunitas media mainstream di restoran gubernuran dan pertemuan dengan de-pe-er Aceh di jalan Daoed Beureuh.

Di komunitas media mainstream ia langsung menohok.

“Banyak persoalan di aceh yang harus diselesaikan bersama. Beri masukan. Anda bisa menulis apa saja,” begitu penggalan ucapannya yang saya dapat dari bacaan di google search.

Bacaan yang saya salin karena tak hadir di jamuan itu. Penggalannya membuat komunitas media dipertemuan tertunduk. Sedikit lesu karena beda gaya dari sang pendahulunya yang banyak janji.

Jika komunitas itu tak setuju dengan tulisan saya ini, biar aja. Sebab perjalanan kewartawan saya  beda dengan mereka. Saya jadi wartawan dulu digodog oleh Sarlito Wirawan.

Sarlito yang psikolog kondang yang mengajarkan kami menangkap suasana dan mood pembicara dan narasumber. Di setiap acara atau wawancara. Menangkap mood kala face to face.

Wawancara yang bisa memancing narasumber kecut, berang, atau pun senyum dan tertawa untuk kemudiannya menuliskan dalam narasi di “news feature.”

Mungkin penulisan sekarang beda. Saya tak tahu. Cuma yang saya tahu kitab penulisan itu nggak pernah berubah.

Entahlah..

Entah juga kala ia bertemu dengan de-pe-er aceh. Disana ada tatakrama. Tatakrama letak duduk dan pemakaian podium. Yang Ia dingatkan lewat interupsi tentang posisi ini. Ia mengikuti. Gaya infantrinya blass..

Tapi ketika ada interupsi lain tentang sekretaris daerah gaya komandannya muncul. “Itu tanggung jawab saya sebagai penjabat gubernur,” katanya.

“Persis,” gumam otak saya. Persis gaya komandan. Tak ada kesalahan anak buah dalam kesatuan. Tanggungjawabnya di pundak komandan yang siap untuk semuanya. Dicopot sekalipun. Itu kan garis komando.

Disipil?

Bedalah. Ada evaluasi dan banyak pertimbangan lainnya. Ukurannya beda dengan penugasan komando yang garisnya lurus. Garis sipil kan banyak belok, simpang dan bisa memilih jalan.

Seperti yang mulai dijalani Achmad Marzuki. Di jalani selama di dua pekan terakhir. Dua pekan seremoni, setengah seremoni atau interupsi.

Ini baru awal. Permulaan. Yang lanjutnya Anda terka sendirilah.

Terkaan  menyangkut anggaran. Yang penggunaannya sangat sulit dikendalikan, Sebab banyak godaannya, Dari kiri, kanan, atas, bawah, depan dan samping. Semuanya berebut kesatu sumber. Anggaran belanja daerah.

Yang sapihannya bisa proyek dan rutin.

Proyek dan rutin ini masih membelah lagi dalam bentuk infrastruktur dan kegiatan. Perebutan ini bisa datang dari eksternal maupun internal. Bisa ditiup untuk menjadi gelembung. Bisa juga digeser-geser. Diubah-ubah.

Anda dan saya tentu mafhum yang namanya perubahan anggaran. Yang aturannya membolehkan dan dibolehkan.

Saya tak tahu cara perubahanya. Bukan ahlinya. Bukan juga pengamat. Hanya mendengar sayup-sayup.

Dan saya tak tahu apakah sang penjabat gubernur juga tahu cara main ini. Mungkin sudah tahu atau sudah diberitahu. Baiklah..

Namun begitu, seorang guru besar ekonomi, mantan rektor disebuah perguruan tinggi negeri di sebuah provinsi miskin dulunya, pagi tadi menelepon saya. Ia menanyakan tentang kondisi aceh usai pelantikan penjabat gubernur.

Saya menjawab pendek: nggak tahu bang..

Nggak tahu saya jujur saja. Karena tidak berada di belangong gule-nya.

Ia mengatakan akan ada krisis pengurangan dana otonomi khusus dari sapihan dana alokasi umum. Dari dua persen jadi satu persen. Yang telah dinikmati Aceh selama lima belas tahun usai dipangku jakarta sebagai anak baik.

Krisis itu, lanjutnya, Aceh akan kehilangannya enam hingga tujuh triliun rupiah dari yang seharusnya diterima aceh selama ini. Untuk satu tahun. Yang besarannya itu, menurut,  ampun…

Tentu sang penjabat akan memulai hari kerjanya dengan pekerjaan berat. Yang pikulannya berada di anggaran tahun depan. Yang  draftnya mungkin telah di “clear” kan oleh Tapa. Tapa yang tim anggaran Aceh

Lantas bagaimana dengan konflik vertikal?

Pertanyaan ini saya teruskan ke seorang pejabat  di area itu.

Tahu jawabannya!

“Potensinya relatif kecil. Sangat kecil. Kalau pun ada macam hujan gerimis. Cukup berteduh di bawah pohon besar, Nggak perlu payung. Pohon dan payungnya kan udah jelas,” ujarnya tertawa ngikik.

Saya tahulah payungnya. Dan Anda juga tahu juga walaupun saya tak tanyakan ke sang pejabat. Tahu juga konfliknya hanya sebatas apa. Paling lembaran usang. Isu memorandum of understanding. yang terus diusung-usung. Itu pun hanya dikalangan elit.

“Elit, yang mayoritasnya, sudah terkooptasi dengan dasi merah dan jas hitam. Yang belanjanya harus ke sana juga,” sembari mengarahkan telunjuknya ke langit. Anda tahu langitnya kan.

Saya terperosok ke lobang otak sang guru besar dan berupaya keluar dari tanya konflik dan lebih fokus ke kerja sang penjabat.

Ia langsung menyambar,”nyali”  Dan saya balas,” kan tentara” Lantas kami terbahak. tertawa geli dan ia menambahkan,”perlu juga “nurani.”

Usai ber say hello dengan sang guru besar. Saya menghubungi seorang teman peneliti. Ia sebaya dengan saya. Sekarang punya podcast yang bulan lalu meminta saya untuk subcribe

Pembicaraan kami langsung kepersoalan. “Aceh itu perlu ditundukkan dengan “hati” Bukan hanya dengan otak dan otot.  Perlu duduk di kupi saring. Apapun masalahnya keude kupi sebagai “palanta” duduknya,” ujarnya

“Kalau udah di keude kupi pasti nyaman. Duitnya kan masih ada sisa dana otsus satu persen,” ujarnya terus menendang bola dengan gaya kick off.

Memang pengurangan dana ini memerlukan kerjaan spesialis. Bukan pekerjaan dokter umum yang nggak tahu teknik bedahnya yang bisa menimbulkan komplikasi bagi pasien.

Tapi jalannya tetap ada.  Salah satu kerjaan si penjabat gubernur adalah kebijakan rekalibrasi dan rasionalisasi anggaran berikut penyederhanaan lembaga satuan kerjanya.

Baik melalui penghapusan, ataupun penggabungan yang ditujukan untuk efisiensi dan efektivitas kinerja pemerintahan. Kebijakan, seperti dikatakan adik umur saya di kampus usk bisa membuat wajah baru satuan kerja pemerintah

Dan saya tambahkan, bangun saja landskap baru. Landskap smart. Hantamkan lewat informasi teknologi. Bangun mindset baru.

Persoalannya lainnya. Aceh miskin. Itu semenjak pascaperdamaian sampai hari ini

Yang angkanya sangat tinggi. Lima belas koma lima puluh tiga persen atau delapan ratus lima puluh ribu jiwa dari penduduk Aceh yang sama jumlahnya dengan penghuni Kota Bekasi.

Atau  jauh di atas rata-rata nasional tujuh koma enam puluh persen. Menjadikannya provinsi termiskin di Sumatera.

Dan inilah yang menjadi pe-er nya seorang Achmad Marzuki…..

Exit mobile version