Site icon nuga.co

Bukan Etika “Kurang Ajar”

Sudah lama saya ingin menulis tentang kode etik jurnalistik. Sudah lama sekali..sejak makin maraknya media online. Menyebabkan banyak orang menamakan dirinya wartawan.

Wartawan yang menulis apa saja. Apa saja yang ia mau. Suka-suka. Tanpa ada teguran dari media tempat ia memuat tulisan. Tempat ia bekerja.

Atau karena medianya sendiri yang tak becus. Tak punya aturan. Atau, aturannya ada dikepalanya sendiri. Kan siapapun kini bisa bikin media online. Yang mudahnya ampuunn..

Seperti media saya dengan nama website. Bikin sendiri dan kelola sendiri.

Tapi saya masih menggenggam teguh adagium tentang jurnalis yang menulis prestasi tanpa menjilat. Menulis cela tanpa menghujat. Seharusnya. Karena itu adalah etika.

Keteguhan menggenggam etika bukan kebanggaan.  Apa yang saya banggakan dari tulisan saya selama ini. Yang terbit dibanyak media. Justru saya merasa bersalah. Begitu banyak yang tidak saya tulis.

Karena takut melanggar kode etik.

Wouuww.. nggaklah. Saya kan tahu kode etik.  Sedikit mbong.. maaf.

Sore kemarin keinginan untuk menulis pelanggaran kode etik jurnalistik ini kembali membuncah. Usai saya kongkow dengan teman petinggi sebuah grup media.

Teman yang resah gelisah terhadap etika yang ambyar di lingkungan media. Terutama media online. Yang banyak wartawannya menganggap pelanggaran kode etik tidak bahaya.

Karena tidak ada resiko hukum. Wartawan lebih takut kalau tulisannya melanggar hukum ketimbang kode etik.

Seperti yang terjadi hari-hari ini. Ketika media berebut kapling menulis polisi tembak polisi atau polisi bunuh polisi. Tanpa peduli dengan kode etik.  Bahkan juga tanpa peduli dengan hukum.

Mereka mengabaikan etik jurnalistik.Tak peduli dengan etika profesi wartawan.

Padahal ciri utama wartawan profesional yaitu menaati kode etik, sebagaimana halnya dokter, pengacara, dan kaum profesional lain yang memiliki dan menaati kode etik.

Yang kalau mereka keluar dari tatanan etika itu bisa dinamai sebagai kurang ajar. Bukan kurang ajar makian. Tapi kurang ….  mungkin kurang isian. Atau cari sendirilah kata yang pas untuk titik-titik ini.

Saya tak tahu apakah isian kode etik jurnalistik masih menjadi hafalan di lingkungan jurnalis?

Kode etik sebagai jalan terang seorang wartawan. Independen, akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Saya tak ingin menuduh wartawan sekarang, tentu bukan seluruh, sudah kurang ajar.

Anda sendiri pasti tahu isian berita, Kalau kutipan lumayan. Kalau bebas entahlah. Kalau akurat pelototi strukturnya. Berimbang-jauh panggang dari api. Iktikadnya? Hati nuraninya yang bisa menjawab.

Menjawab apakah ia seorang professional. Profesional untuk menghormati hak privasi. Menyajikan tulisan faktual dan jelas sumbernya,  tidak plagiat dan menggunakan peliputan  investigasi bagi kepentingan publik

Apakah memiliki balances. Berimbang. Tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Selain itu tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.  Kalau itu sudah dimiliki jangan  menyalah-gunakan profesi dengan menerima amplop

Kalau harus dirinci tegakan kode etik ini bisa panjang. Panjang sekali. Bak sebuah tesis

Padahal dalam praktek jurnalistik ada tulisan yang melanggar hukum yang sekaligus melanggar kode etik. Tapi ada juga tulisan yang melanggar kode etik nggak melanggar hukum

Anda tahu tulisan yang melanggar hukum umumnya pasti melanggar kode etik.

Lantas!! Yang melanggar kode etik belum tentu melanggar hukum.

Beda ketika saya jadi wartawan dulu. Wartawan yang men”jargon”kan dirinya sebagai pekerja  professional. Bagi saya melanggar kode etik sama takutnya dengan melanggar hukum.

Itu sudah menjadi harga mati. Dulu sekali hingga udah se-gaek ini.

Tapi terlalu banyak wartawan yang berani melanggar kode etik. Mentang-mentang tidak ada hukumannya.

Hukuman bagi seorang wartawan yang melanggar kode etik adalah moral. Saya sering menyebutkan wartawan yang melanggar kode etik harus dihukum dengan gelar kurang ajar.

Saya pernah punya usul. Bagaimana wartawan yang melanggar kode etik bisa dihukum. Oleh perusahaannya.

Tapi saya nggak tahu apa usul itu diterapkan: lewat peraturan perusahaan.

Dalam peraturan perusahaan media tempat saya bekerja dulu, dicantumkan satu pasal: wartawan tidak boleh melanggar kode etik.

Jika  si wartawan tersebut melanggarnya dikenai sanksi. Bukan berdasar pasal kode etik jurnalistik. Tapi berdasar peraturan perusahaan.

Lantas bagaimana dengan kondisi hari ini?

Saya tak perlu menjawab. Anda tahu sendiri jawabannya. Tunjukkan ke saya perusahaan media yang k punya peraturan perusahaan. Apalagi perusahaan media online. Apalagi yang dijalankan secara pribadi.

Tanyakan kepada mereka apakah malu untuk mengakui kesalahan. Maukah meminta maaf secara terbuka atas kesalahan pemberitaan?

Ingat! Wartawan yang profesional adalah bukan yang tidak pernah berbuat salah.

Wartawan profesional adalah wartawan yang ketika berbuat salah tahu apa yang harus dilakukan. Misalnya: mengakui kesalahan, mencabut atau mengoreksi tulisannya, dan minta maaf.

Tapi, demi idealisme, tidak harus juga melakukan itu. Kalau sangat yakin isi tulisannya benar. Jangan dicabut. Jangan diralat. Jangan minta maaf.

Kode etik dibuat bukan untuk menjamin wartawan tidak berbuat salah. Kode etik menjamin agar wartawan tahu apa yang harus diperbuat kalau berbuat salah.

Baik karena menyadarinya sendiri maupun karena diberitahu pihak lain.

Kode etik dibuat sendiri. Oleh pelaku profesi: wartawan, pengacara, dokter dan hakim. Untuk mencegah arogansi. Yang berujung pada tindakan anarkhi.

Profesi punya sisi otonomi. Untuk berbuat atau tidak berbuat. Otonomi punya sisi arogansi. Arogansi punya sisi anarkhi

Unuk itu Anda sebagai wartawan jangan pernah memiliki sisi anarkhi ini.

Tapi celakanya kalau sudah mengalungkan kartu pers dilehernya si wartawan sulit mendepak arogansi di tubuhnya.

Arogansi sebagai …..

Exit mobile version